Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kejanggalan dan Perilaku yang Aneh

7 Juni 2022   19:00 Diperbarui: 7 Juni 2022   19:02 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com by Jess Foami

Sejak tiga hari yang lalu, Lizz terlihat murung dan sulit diajak bicara. Ini aneh. Aku kira Lizz hanya sakit karena sempat muntah. Tapi semua rangkaian informasi yang kutemukan membuat kesimpulan ..., apakah Lizz sedang hamil? Apakah dia pernah tidur dengan seorang laki-laki tanpa sepengetahuanku?

Namun ini juga tidak mungkin. Karena yang kutahu Lizz adalah perempuan baik-baik yang sangat rajin belajar demi masa depannya. Dia juga pernah berkata ingin bekerja sebagai profesional setelah lulus kuliah. Tidak mungkin Lizz mengacaukan mimpinya sendiri. Namun kenapa ada alat tes kehamilan di tempat sampah?

"Tenangkan pikiranmu, Alisya. Bisa jadi ada hal yang tidak kamu ketahui tentangnya."

"Aku tidak percaya jika Lizz hamil. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal jika tanda-tanda orang hamil Lizz semuanya. Dia sering mual-mua. Dia juga seringkali tidak kuat saat mencium bau-bau yang menyengat. Sering pusing dan sebagainya."

"Mungkin kamu bisa menanyakannya baik-baik. Apalagi seperti yang kamu katakan jika Lizz adalah sahabat dekatmu dan sudah sejak lama bersamamu," kata Aurel menenangkanku.

"Mungkin kamu benar. Aku harus menanyakannya sendiri karena aku adalah sahabatnya yang paling dekat."

Seperti pesan sebelumnya yang dikirim, Aurel meminta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu yang membuatku kaget. Kakaknya yang stress menggangu kenyamanan di kos. Hari ini sengaja Aurel mengundang aku dan Lizz ke rumahnya untuk jamuan kecil sebagai ucapan maaf. Meski Lizz menolak untuk datang.

Aurel orang yang baik karena meminta maaf atas kesalahan kakaknya. Ia juga menceritakan kenapa kakaknya bisa stres. Selain itu, Aurel ingin aku memperhatikan Lizz, karena tidak ingin Lizz merasa tertekan atau bahkan hingga stress seperti kakak Aurel. Aku yang selalu ada di samping Lizz harus berusaha perhatian dan mendukung Lizz, sarannya.

Aku pulang dan menemui Lizz setelah semuanya selesai.

Saat membuka kamar kos, Lizz masih terlihat di depan laptop miliknya. Terlihat menyibukkan dirinya lagi mengerjakan desain yang entah kapan selesainya. Seperti tiga hari belakangan ini. Sikapnya masih terlihat berubah menjadi lebih pendiam, ditambah ia selalu terlihat murung.

"Aurel meminta maaf karena kakaknya sempat mengganggu kita. Kakaknya yang stres."

Lizz memandangku sejenak, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke laptop di depannya. Terlihat tidak terlalu peduli.

"Dia juga meminta maaf kepadamu. Aurel ingin aku menyampaikannya karena kamu tidak bisa datang," ucapku pada Lizzie.

"Tidak masalah," balasnya.

Jika Lizz tidak terlalu semangat kuajak bicara. Rasanya memang sulit untuk menanyakan tentang tes kehamilan yang aku temukan. Tapi Lizz sudah bersikap seperti ini terlalu lama dan aku tidak bisa diam terus.

"Aku ingin bertanya, Lizz," sedikit ragu, suaraku sedikit terbata-bata.

"Ya." Balasnya masih tanpa memandangku.

Kudekati lizz, lalu duduk di belakangnya sambil membelakanginya.

"Sejujurnya, aku tidak ingin bertanya. Hanya ingin mengetahui kebenaran yang mengganjal di pikiranku."

Kamar kami terasa hening, sama seperti sebelumnya. Dan pertanyaanku seakan membuat keheningan menjadi kebekuan yang mengerikan.

"Apa kamu hamil, Lizz?" ucapku pelan karena tidak ingin Lizz sakit hati. Aku juga berharap jika Lizz menjawab "tidak". Karena mana mungkin juga Lizz hamil.

Yang aku tahu, Lizz adalah sahabatku sejak lama dan dia perempuan yang baik. Dia selalu bisa meminta tolong saat kesulitan. Dan Lizz selalu menolongku saat aku memiliki masalah kuliah, hubungan, maupun kerjaan.

"Lizz?" tanyaku lagi karena ia tidak menjawabnya. "Apakah kamu hamil? Karena aku melihat alat tes kehamilan di tempat sampah. Saat itu tak sengaja ada anak kecil bermain bola dan mengenai kantong sampah yang kupegang, hingga lepas dari tanganku dan terpelanting beberapa meter. Semua isinya berceceran."

"Mana mungkin aku hamil. Aku tidak hamil." Lizz menjawab pertanyaanku dengan cepat.

Keadaan ruangan kami hening beberapa saat. Perbincangan kami begitu canggung. Terlebih, cara Lizz menjawab terdengar aneh bagiku.

"Lizz ...," tanyaku lagi, menginginkan jawaban yang meyakinkan.

Namun tidak ada suara yang keluar lagi dari Lizz. Beberapa pertanyaanku yang menyangkalnya sama sekali tidak Lizz pedulikan. Seolah Lizz ingin menghindar. Tapi Lizz sudah menghindariku lama. Aku ingin kebenaran. Toh aku tidak akan membenci apapun jawabannya.

Saat itu, sayup-sayup suara mulai terdengar. Pilu, dan membuat perasaanku semakin kacau. Jantungku semakin berontak apalagi saat suara itu semakin terdengar jelas di telingaku. Terdengar jelas jika Lizz sedang menangis sesenggukan di belakangku. Ia menyandarkan punggungnya ke punggungku.

Aku diam, dan tidak tahu harus berkata apa.

Tidak menyangka jika Lizz bisa hamil. Tes kehamilan di tempat sampah adalah milik Lizz. Tapi kenapa? Kenapa Lizz bisa menghancurkan masa depannya sendiri? Bukankah ada banyak hal yang perlu ia lakukan untuk menjadi profesional. Belum saatnya Lizz merawat anak.

"Siapa Lizz? Siapa yang menghamilimu? Ini bukan jalan yang kamu pilih!" Jujur, aku marah. Aku marah karena Lizz menodai cita-cita yang sering ia ungkapkan sebelum tidur. Lizz menghianati ucapannya sendiri kepadaku bahwa Lizz akan menjadi perempuan mandiri dan memiliki jabatan istimewa di perusahaan besar.

Dengan apa yang dilakukannya saat ini, justru Lizz menghalangi cita-citanya sendiri. Lizz belum kuliah paska sarjana. Masih banyak yang belum dilakukan Lizz.

Namun aku tak mampu menyalahkan Lizz di saat seperti ini. Tangisnya terlihat tulus akan penyesalan dari sesuatu yang telah diperbuat. Terlebih, kini tubuhnya memelukku erat-erat dan membuat punggungku terasa basah karena air mata.

Mengetahui alasan Lizz masih menjadi misteri hingga saat ini. Namun aku yakin, pasti ada jalan keluar lain untuk Lizz, sahabat yang paling dekat denganku untuk keluar dari permasalahan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun