Lalu Neko dengan paksa mengambil ponselku. Membuka pesan yang dikirim darinya dan beberapa pesan dari teman-teman yang tidak aku perhatikan sebelumnya.
"Sungguh, semuanya memberi pesan duka tapi kamu tidak membukanya?" ucap Neko sambil menunjukkan layar ponsel. Lalu dia melanjutkan ucapan kasarnya, "Sudah. Lupakan Clara yang telah mati itu."
"Jaga ucapanmu!" aku langsung menepis perkataannya. "Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu! Bukankah kita bertiga teman dekat sejak SMP? Beraninya kamu kasar!" bentakku.
"Aku hanya memberitahu kenyataan!"
"Cukup!"
"Apa gunanya memedulikan Clara yang egois itu? Memang sudah sewajarnya dia mati-"
Angin berdesir sepersekian detik setelahnya. Tepat sebelum Neko keseimbangannya goyah. Kuharap dia merasakan rasa sakit yang pedih.
Mungkin sebaiknya aku harus lebih keras lagi menamparnya hingga tersungkur. Atau menambahkannya dengan tamparan tangan kiriku setelah tangan kanan melesat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tak bisa dimaafkan.Â
Sebagai teman lama, dia tidak memiliki empati sama sekali.
"Apa maksudmu menamparku seperti ini?" matanya nyalang.
Tatapanku tak kalah tajam. Aku juga sangat muak kepada Neko. Lalu aku mengancamnya dengan mendekatkan tubuh dan mataku di hadapannya. Berjarak tak lebih dari sejengkal.