Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Neko

4 November 2021   20:57 Diperbarui: 5 November 2021   21:36 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com (vdnhieu)

Aku melihat Clara mengulurkan dua buah karcis ke hadapanku. Sambil mengembangkan senyumnya yang hangat dengan tatapan yang menenangkan.

Pada keadaan seperti ini, masih saja kamu berusaha menghiburku, Ra. Membuatku tidak yakin apakah kamu benar-benar sudah meninggal.

Bisa-bisanya kamu berusaha membuatku tegar.

Aku menguatkan diri, melihat Clara yang masih berada di sampingku. Dia tetap menghiburku setelah tangisku dibuat pecah oleh teman kami sendiri, Neko sialan.

Lebih berusaha tegar lagi. Menarik napas dalam-dalam, lalu kucoba meraih karcis dari tangannya. Mungkin aku akan memyimpan pemberian terakhir Clara di tempat yang aman di almari paling atas.

Pada keadaan seperti ini tiba-tiba saja kenangan manis kami hadir lagi. Saat bersama-sama di sekolahan. Saat kamu selalu bisa memberi solusi setiap masalah yang kita miliki.

Bahkan saat-saat kita bertengkar menjadi hal yang sangat aku rindukan. Saat kamu menyuruhku membeli camilan ke kantin namun aku menolak karena takut, Ra. Lalu kita sama-sama marah dan berdebat panjang. Lalu akhirnya Neko yang pergi ke kantin.

Tidak hanya itu. Bahkan aku mengingat semua pertengkaran-pertengkaran lain yang pernah kita lakukan. Aku pernah sangat membencimu gara-gara kamu mendekati Widia. Kamu dekat dengan musuh bebuyutan kita. Penuh percaya diri. Dan ternyata tepat, kamu kembali kepadaku dengan tangis karena dirisak mereka.

Aku merindukannya.
Ya ampun.

Kenapa air mata ini tumpah begitu saja saat aku tak bisa meraih karcis yang kamu berikan. Dadaku kembali sesak, setelah melihat tanganku menembus karcis dan tanganmu.

Bukankah tadi aku bisa menyentuhmu. Apa gara-gara Neko sempat datang ke sini dan membuat keadaan menjadi seperti ini?

"Maaf ..., Shelly. Kamu harus kuat menghadapi kenyataan ini," kata Clara. Tak lagi menunjukkan senyumannya.

Kami saling sedih, menyadari jika sudah berbeda dunia. Sudah tidak seperti tadi lagi saat Clara dan aku bisa saling berpelukan. 

"Tunggu. Kenapa tadi bisa menyentuhmu dan sekarang tidak bisa?" ucapku.

Clara menggelengkan kepalanya. Terlihat pasrah dengan keadaan.

Tadi, saat kamu datang, aku bisa memelukmu. Bukankah kamu masih ingat? Kita bisa bersentuhan belum lama. Bahkan Neko sialan belum lama pergi dari sini.

Tunggu.

"Tadi Neko datang ke sini dan membawa kabar yang tidak aku harapkan. Sejujurnya, aku benci mengatakannya," ucapku.

Aku menampar Neko karena tidak terima dengan ucapannya. Tapi dia balas memarahiku. Membentakku dengan sebutan "bodoh" gara-gara aku tidak percaya dengannya.

"Coba lihat ponselmu! Bukankah aku sudah memberi kabar berita tentang kematian Clara? Bahkan mungkin teman-teman yang lain juga memberi kabar tapi kamu tidak membukanya. Kamu hanya peduli dengan Clara yang sudah mati itu!" kata Neko marah.

Saat itu, aku ingin balas memarahinya. Bisa-bisanya Neko berbicara aneh.

Lalu Neko dengan paksa mengambil ponselku. Membuka pesan yang dikirim darinya dan beberapa pesan dari teman-teman yang tidak aku perhatikan sebelumnya.

"Sungguh, semuanya memberi pesan duka tapi kamu tidak membukanya?" ucap Neko sambil menunjukkan layar ponsel. Lalu dia melanjutkan ucapan kasarnya, "Sudah. Lupakan Clara yang telah mati itu."

"Jaga ucapanmu!" aku langsung menepis perkataannya. "Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu! Bukankah kita bertiga teman dekat sejak SMP? Beraninya kamu kasar!" bentakku.

"Aku hanya memberitahu kenyataan!"

"Cukup!"

"Apa gunanya memedulikan Clara yang egois itu? Memang sudah sewajarnya dia mati-"

Angin berdesir sepersekian detik setelahnya. Tepat sebelum Neko keseimbangannya goyah. Kuharap dia merasakan rasa sakit yang pedih.

Mungkin sebaiknya aku harus lebih keras lagi menamparnya hingga tersungkur. Atau menambahkannya dengan tamparan tangan kiriku setelah tangan kanan melesat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tak bisa dimaafkan. 

Sebagai teman lama, dia tidak memiliki empati sama sekali.

"Apa maksudmu menamparku seperti ini?" matanya nyalang.

Tatapanku tak kalah tajam. Aku juga sangat muak kepada Neko. Lalu aku mengancamnya dengan mendekatkan tubuh dan mataku di hadapannya. Berjarak tak lebih dari sejengkal.

Kami marah.

"Shelly? Apa kamu marah kepadaku? Aku hanya memberimu kabar dan kamu memarahiku? Oh, tidak. Bahkan kamu menamparku. Panas. Mungkin pipiki sudah sangat merah. Terserah! Dan ingat, Shelly. Di antara teman-teman hanyalah aku yang repot-repot datang ke sini untuk memberimu kabar ini. Karena kamu tidak memberi jawaban. Tidak ada teman lagi yang peduli denganmu. Kamu harus sadar!"

"Clara ada di sini! Kamu tidak pantas berkata seperti itu!" ucapku. "Kalau kamu teruskan. Sama saja kamu dengan musuh-musuh kita di sekolahan yang lain. Bisanya menyakiti dan merisak!"

"Apa kamu sudah sinting? Di mana? Clara sudah mati dan tidak mungkin k-"

Tangan kananku melesat sempurna. 

Lalu aku menyeret Neko dengan paksa. Terserah. Dia harus diberi pelajaran karena berkata-kata dengan kejam di hadapan Clara. Padahal Clara belum lama sampai di rumahku.

"Clara ...! Neko berbicara aneh-aneh tentangmu!" teriakku, agar Clara mendengar kemarahanku.

Neko mengerang kesakitan dan hampir mengelak dari cengkraman tanganku. Namun aku tidak peduli dan tambah memperkuat tarikanku, hingga Neko sempat terseok-seok dan terjatuh. 

Tidak peduli.

Tidak lama kemudian aku sudah berada di tempat Clara berada. 

"Ini Clara! Clara sejak tadi ada di sini. Dia duduk di sofa apa kamu buta? Neko?!" teriakku.

Neko malah menunjukkan ekspresi bodohnya.

"Lihat! Lihat Clara! Bukan lihat aku!" bentakku padanya.

Saat itu malam sudah sepenuhnya bangkit dari tidur. Kegelapan mulai datang dengan lembut. Dan sepi mulai melahap semua yang ada di dunia.

Dengan gerakan semaunya sendiri. Tiba-tiba Neko duduk di tempat Clara. Aku mencegahnya karena kasian jika Clara tertindih tubuh Neko.

Tapi kenapa justru Neko menembus Clara? Mereka berdua bisa sama-sama duduk di satu kursi? Dengan sama-sama menatap wajahku dengan ekspresi berduka?

...

Aku mulai menggila.
Perasaanku kacau.
Bagaimana bisa hal itu bisa terjadi? Kenapa?
Sama sekali aku tidak mengerti.

...

Tubuhku langsung melemah, jantungku bergetar dengan kuat. Aku ketakutan. 

Perasaanku campur aduk. Hitam. Kelam. Mendadak tak bisa berpikir dan tak berdaya. Semuanya terlihat gelap.

Tidak. Tidak mungkin.
Tidak.
Bagaimana bisa ....

Ingatan-ingatan lama datang dengan sangat kuat kepadaku. Air mata tumpah untuk kesekian kalinya.

...

Bahkan aku sampai tidak sadar jika Neko telah pergi dari rumah.

Untuk waktu yang sangat lama. Hanya kesunyian yang aku rasakan.

Hingga berjam-jam kemudian setelah tangisku mulai reda. Saat tubuhku mulai kuat bisa bangkit dari keadaan yang pahit. Aku mulai mendengar suara-suara Clara yang sejak tadi mengajak bicara.

"Shelly, kamu pasti kuat. Tidak ada yang terjadi padamu. Semua akan baik-baik saja," suara Clara terdengar lagi.

Pada keadaan seperti ini, masih saja kamu berusaha menghiburku, Ra. Membuatku tidak yakin apakah kamu benar-benar sudah meninggal.

Aku berusaha menanggapi ajakan Clara berbicara. Setelah gagal mendapatkan karcis yang ia berikan padaku. Menatapnya dengan perasaan duka, yang tak mungkin bisa aku gambarkan.

Namun bukan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan sejak tadi. Bukan pula menanggapi kata-katanya yang berusaha menenangkan. Aku sudah sampai di titik tidak peduli selain satu hal.

"Siapa yang tega membunuhmu?" ucapku.

Hening malam sempat terasa lagi saat itu. Dengan teriakan jantung yang semakin keras saat aku menguatkan diri untuk bertanya. Bahkan bibirku bergetar begitu kuat, bersamaan dengan tubuh yang melemah perlahan. Sunyi dan berisik bersatu dalam sama waktu.

Tentu, Clara tidak langsung menanggapi pertanyaanku. Namun aku tetap mengarahkan tatap mataku padanya. Agar ia paham jika aku benar-benar butuh kejelasan. Sebelum akhirnya jawaban darinya benar-benar terdengar di kedua telingaku.

"Neko, yang tega membunuhku," kata Clara.

Dan aku menggila untuk kesekian kalinya mengetahui kenyataan yang tak pernah aku bayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun