Mohon tunggu...
Budi Wahyuningsih
Budi Wahyuningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 2 Temanggung dan mendapat tugas tambahan sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum

Hobi memasak, membaca novel petualangan dan misteri, traveling, dan bertanam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Upik Abu

23 Maret 2024   10:14 Diperbarui: 23 Maret 2024   10:23 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Namaku Diana Palupi Indah Sari, panggilanku simpel UPIK. Hmm....Si Upik Abu? Pernah baca dongeng popular itu khan? Gadis dekil yang bekerja siang malam melayani ibu tiri dan saudara-saudara tirinya. Gadis yang tak pernah merasakan kebahagiaan hingga datang Pangeran tampan ke rumahnya karena terpesona dengan bunga cantik yang ditanam Upik Abu. Cerita berakhir bahagia meski awalnya penuh derita. Ho..ho...

            Di dunia nyata, kisah sedihku tak beda jauh dari Upik Abu...penuh keprihatinan. Selepas lulus SMA, aku bertekad kuat untuk meneruskan pendidikan.

            "Bu...aku pingin kuliah...aku nggak mau jadi buruh. Aku ingin memperbaiki kehidupan kita. Izinkan aku kuliah ya Bu? Upik janji nggak akan menyusahkan Ibu... Upik bakal cari uang untuk biaya kuliah," pintaku pada Ibu.

            Dipeluknya tubuhku penuh kasih sayang sambil beruarai air mata. Anak semata wayangnya harus berjuang keras untuk dapat kuliah. Terbayang di pelupuk matanya peristiwa 12 tahun yang lalu. Suaminya meninggal saat perjalanan menuju ke Kalimantan untuk bekerja menghidupi Upik dan dirinya.  Upik baru berusia lima tahun ketika ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.  Berbekal mesin jahit dan keterampilan menjahit dia menghidupi keluarga kecilnya selama ini.

            "Pik, TV peninggalan ayahmu, Ibu jual ya untuk bekal kamu mendaftar di IKIP Semarang? Semoga saja uang hasil penjualan TV ini cukup untuk bekal awal kamu kuliah," pinta Ibu.

            "Terima kasih Buk....Maafkan Upik telah memaksa Ibu untuk melakukan ini semua," timpalku sambil memeluk erat Ibu.

            "Tak apa Nak, semoga kamu sukses ya  Nduk...Ibu akan bahagia jika kamu bisa meraih impian dan cita-citamu."

            Uang hasil penjualan TV-lah yang menjadi modal awal aku kuliah. Uang itu kami gunakan dengan hati-hati. Agar lebih irit, aku dititipkan di rumah bibi yang kondisi ekonominya tidak lebih baik dari kami.

            "Upik, makan seadanya ya? Bibi cuman punya nasi dan sambal tempe Nak," ungkap adik perempuan ayah itu.

            "Alhamdulillah Bi ...Upik biasa makan seadanya kok. Bibi tidak perlu sungkan, justru Upik yang harus minta maaf karena sudah merepotkan Bibi."

            Direngkuhnya tubuh kurusku dan elusan lembut di kepalaku menentramkan kegundahan batinku. Situasi itu membuatku semakin bersemangat belajar dan bekerja demi cita-citaku menjadi "guru". Cita-cita yang sederhana mungkin bagi sebagian orang tetapi tidak bagiku.

            Saat memandang Bapak Ibu Guru berdiri di depan kelas, aku begitu bersemangat membayangkan diriku seperti mereka. Saat mereka memberi wejangan kepada kami murid-muridnya, aku tanamkan betul wejangan mereka di dalam benak dan pikiranku. Saat mereka menghukum teman-temanku yang bandel, aku seolah ikut merasakan bagaimana perasaan Bapak Ibu guru. 

Ah... sosok-sosok yang sederhana tetapi berwibawa. Selalu memperhatikan anak didiknya, memberi dengan tulus tanpa mengharap imbalan apa pun. Keberhasilan kami adalah keberhasilan mereka. Betapa bahagia mereka ketika kami berhasil menguasai pelajaran, bersikap sopan dan baik.

            "Pik bisa minta tolong?"

            "Apaan ya Dea?"

            "Tolong gih ketikkan tugas Pak Eko, aku lagi banyak job di agency nih...!" pinta Dea teman satu kelas yang nyambi jadi model.

            "OK!" timpalku penuh semangat. Terbayang lembaran uang ribuan yang bakal kuperoleh dari jasa ketik.

            "Thanks ya Upik cuantik!! Muuah...muah...! Sahut Dea sambil melemparkan cium jauhnya. Aku pun tersenyum menahan tawa melihat tingkah laku gadis itu.

'Hmm... cantik dan baik hati semoga rejekimu lancar dan aku kecipratan rejekimu De.. Ha...ha...'

Lain waktu, sepulang kuliah, aku ke pasar loak untuk hunting baju bekas yang masih bagus dan modelnya trendi. Sampai di rumah Bibi, aku permak sesuai dengan postur tubuhku. Bakat menjahit ibu menurun kepadaku ternyata. Baju yang kukenakan menarik perhatian teman-teman kampusku. Alhasil order baju ala-ala aku pun laris-manis...

"Upik..pesan baju kayak yang kamu pakai dong, satu ukuran lebih gedhe ya coy!" pinta Erna teman dari jurusan Bahasa Inggris.

"Hmmm...boleh deh..besok aku cariin ya!"

            "Halo Upik...bisa nggak carikan gue model baju buat hanging out sama pacar gue? Kamu pasti bisa milihin yang terbaik. Soal harga nggak usah khawatir deh...gue pasti kasih bonus...!"

            "Oke Na, aku sempatkan waktu deh buat nyariin baju yang cocok buat elo!"

            Alhamdulillah sedikit demi sedikit uang buat kuliah bisa kuatasi tanpa perlu merepotkan ibu. Asal halal dan barokah, tidak perlu malu selama tidak mencuri atau merugikan orang lain, itu prinsipku. Ibu selalu menasihatiku agar tidak silau dengan harta benda yang bukan milik kita.

            "Kita memang miskin, tapi jangan sekali-kali kamu jual harga dirimu," kata-kata Ibu selalu terngiang-ngiang di telingaku.

            Waktu senggang kuhabiskan di perpustakaan atau di toko buku. Kuliah, belajar, berburu baju bekas, permak baju, jual baju, jasa ketik, kadang buruh cuci piring di warung makan adalah siklus hidupku sehari-hari.

            Kadang lelah menyergapku. Namun, lelahku hilang saat teringat ibu yang menjahit siang malam demi mengumpulkan rupiah untuk bertahan hidup. Ah...mataku memanas saat membayangkan tangan keriputnya memotong dan menjahit kain. Mata tuanya saat memasukkan benang ke dalam jarum jahit. Tungkai lemahnya yang menahan kaki agar mesin jahit tetap bergerak mengikuti tangan dan pola jahitan. Kerinduan pun menyeruak, memandang fotomu menjadi penawar bagi rinduku padamu.

     "Ya Allah, berikan kesehatan pada Ibuku. Lindungilah beliau, besarkan hatinya dan berilah kesempatan padaku untuk membuatnya bahagia," doa yang senantiasa kupanjatkan. Bulir-bulir bening mengalir deras dari pelupuk mataku seperti mata air yang tak pernah kering.    Ibu...masih panjang jalan yang harus kutempuh. Aku pun tertidur dalam tangis dan kerinduan.

Sebuah amplop merah jambu terselip di tasku. Buat Upik tertulis di amplop bagian depan. Kubalik tidak kutemukan tulisan apa pun. Kucoba menerka tulisan tangan siapa tetapi takkutemukan bayangan tentang dia. Kubuka pelan-pelan amplop surat merah jambu itu, degup jantungku makin kencang.

Semarang, 22 November 1998

Buat Upik

 Assalamualaikum Wr.Wb.

Semoga Upik mau membaca ungkapan hatiku yang kutuangkan lewat goresan pena ini.

JIka pun kau robek kertas ini aku tetap bertahan untuk tidak merobek namamu dalam hatiku. Sosok cantik, cerdas, pekerja keras itu yang aku tahu tentang dirimu. Maaf jika itu yang dapat kutangkap meski sebenarnya aku yakin kamu memiliki lebih dari 3 hal tersebut.

Upik... saat melihat sosokmu, jantungku berdegup lebih kencang, desiran di hatika tak bisa hilang. Saat tak melihat wajahmu, gundah gulana diriku. Upik izinkan  aku berbagi suka duka denganmu. Aku tak tega melihat sorot matamu yang tampak lelah saat kuliah. Aku ingin menjadi penopang saat kamu lelah berdiri. Aku ingin menjadi tempatmu belabuh saat kamu lelah mengarungi samudera kehidupan. Upik...maafkan aku jika aku terlalu naif. 

Kamu tak perlu menjawab suratku, cukup dengan senyuman saat kau bertemu denganku, sebagai jawaban bahwa kamu menerima cintaku.

 Assalamualaikum Wr.Wb.

 Penuh harap

 Dhimas Seto

 Seperti dilepas tulang belulangku, lemas tak berdaya...terbayang sosok Dhimas Seto mahasiswa jurusan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan kakak tingkat sesama senat mahasiswa. Atletis, tampan, jago voli, kaya, dan idaman mahasiswi seluruh kampus. Membayangkan menjadi pacarnya pun aku tak berani, siapalah diriku si Upik Abu dekil dan miskin. Sementara dia ibarat pangeran berkuda pujaan gadis seluruh negeri Antah Berantah.

Tubuhku menggigil, seperti mimpi tetapi nyata. Pangeran pujaan menyatakan cinta dan aku tak sanggup untuk mengiyakan hatiku. Sekian masalah pasti akan kuhadapi jika kuterima cintanya. Teman-temanku akan berubah menjadi musuhku karena kalah bersaing denganku. Kalau Aku seperti si Dea model cantik pasti mereka tak akan begitu benci saat aku tahu jadi pacar Dhimas. Wajarlah...Dea cantik, kaya pula...nah aku siapa...muka kucel persis Upik Abu begini jadi kekasih Dhimas yang so perfect! Alamak aku cukup tahu diri!

Sampai pukul 12 malam, mataku tak dapat kupicingkan. Aku bingung, bagaimana harus bersikap kepada Dhimas. Selama ini, aku bersikap biasa saja tak ada perasaan istimewa saat berpapasan mata dengannya. Besok ada rapat Sema dan aku harus membuat keputusan saat bersemuka dengannya. Senyum atau pasang muka hambar...aduuh...hatiku seakan meronta aku ingin menerima cintanya tetapi aku taksanggup dengan konsekuensinya...

'Ya Rabb...mengapa dia hadir di saat aku tidak ingin dicintai dan mencintai...."

Menjelang subuh aku pun terlelap dan tergagap saat kokok ayam jago bersahutan memenuhi  telingaku.

"Astaghfirullah....beri aku kekuatan ya Rabbi, biarkan aku abaikan rasa ini demi kebaikan semuanya," pintaku dalam sedu sedan.

Ingin kuungkapkan semua perasaanku pada Ibu tapi jarak dan waktu memisahkan kami, telepon kami tak punya. Berkirim surat, ah..butuh waktu lama. Kini harus kuselesaikan masalahku sendiri.

Kususuri jalan menuju perpustakaan institut yang penuh pohon rindang di pinggirnya. Jalanku tertunduk sambil memikirkan keputusan apa yang akan kuambil...brakk...

"Agh...." jeritku

Tubuhku terdorong akibat gaya momentum tumbukan tubuhku dengan tubuh seseorang yang lebih kuat dariku. Saat aku mendongak, jantungku seakan mau lepas...

"Dhimas...?" pipiku memerah, panas menjalari tubuhku. Tubuhku sedikit gemetar tetapi kunetralkan dengan membuang jauh perasaanku.

"Maaf, aku tidak fokus," tukasku meminta maaf.

"Bukan salah kamu, aku yang salah berjalan tidak lihat depan. Maafkan aku Upik!"

Mendengar kalimat yang terucap dari mulutnya seolah mendengar alunan tembang rindu, begitu mendayu-ndayu meluruhkan hatiku. Namun, segera kutepis perasaan itu.

"Maaf..saya tergesa-gesa..." sahutku dengan nada kubuat kesal.

"Upik...tunggu!!" teriak Dhimas.

Tak kuhiraukan panggilan itu, aku bergegas pergi dengan langkah lebar, setengah berlari aku tinggalkan Dhimas. Entah bagaimana parasnya melihat perilaku tadi. Ingin aku berteriak menumpahkan rasa kesal, kecewa, dan segala macam rasa yang bercampur aduk dalam hatiku.

Kutaklukkan kegundahanku dengan duduk di pojok ruang baca perpustakaan. Kuatur hatiku agar lebih tenang dan berpikir lebih jernih. Setelah membaik, kucari novel untuk membuat suasana hatiku lebih terjaga. Sebaris demi sebaris kalimat-kalimat dalam novel kulumat habis. Sampai pada satu kalimat...

"Jodho wis ginaris saka Kang Maha Kuwasa, golek jodho sakdrajad sakpangkat supaya uripmu seneng. Yen drajad lan pangkat kadohen bedane, uripmu bakal rusak amarga nandang abot sakjroning uripmu". 

Aku tercekat membaca kalimat berbahasa Jawa yang artinya bahwa jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Sederajat dan sepangkat saja dalam mencari jodoh agar hidup kita bahagia karena jika terlalu jauh perbedaan derajat dan pangkat itu kita akan dibebani oleh perbedaan tersebut.

Ah...Tuhan menyelesaikan masalahku melalui buku ini. Kuputuskan dengan mantap tidak ada seulas senyum untuk Dhimas di pertemuan Sema nanti siang.

****

"Jadwal sidang skripsimu minggu depan ya Pik. Tolong persiapkan sebaik-baiknya jangan bikin malu saya!" Pak Fathur dosen Pembimbing II skripsiku memperingatkanku.

"Siap Bapak, insyaallah saya siapkan sebaik-baiknya!" sahutku mantap.

"Jangan  lupa temui Pak Nardji dulu, minta doa restu beliau. Semoga sidang berjalan lancar dan kamu bisa lulus!" tambah Pak Fathur. Aku pun mengangguk mengiyakan sambil berjabat tangan tanda pamit.

Beruntungnya aku mendapat dosen pembimbing yang luar biasa baik, penuh pengertian dan selalu membantu kesulitanku. Masih segar dalam ingatanku, saat konsultasi bab IV aku pernah mengumpulkan potongan ketikan konsultasi sebelumnya yang kusambung dengan ketikan baru hasil perbaikan. Saat itu, aku benar-benar capai dan harus mengejar tenggat waktu. Entah dapat ide konyol dari mana aku. Jangan bayangkan seperti sekarang yang bisa copy paste, cetak. Dulu harus ketik ulang pakai mesin ketik manual. Boro-boro pakai komputer, mesin ketik pun dapat pinjaman dari tetanga yang berbaik hati meminjamiku. Saat ingat hal itu, aku pun geli dengan kekonyolanku tersebut.

"Wah.. Pik ini skripsi apa kliping kok pakai ditempel-tempel segala?" Tanya Pak Fathur.

"Maaf Pak....saya tidak sempat ,mengetik ulang, karena bagian itu tidak ada yang salah, terpaksa saya potong, tempel, dan gabung dengan ketikan yang baru," jawabku memelas.

"Ha....ha...kamu ini ada-ada saja!" Aku pun sukses membuat Pak Fathur tertawa dengan kekonyolanku itu.

Sampai pada hari penentuan, sidang ujian skripsi dengan penguji utama Dr. Dandan yang terkenal killer. Beliau jago statistik sementara pengetahuanku tentang statistik bisa dikatakan hampir 0. Ujian skripsi seperti penentuan hidup dan mati para mahasiswa.  Badanku dingin, kuhadirkan wajah ibuku di pelupuk mataku sebagai penguat jiwa.

Menit demi menit berlalu, pertanyaan demi pertanyaan terjawab dengan lancar. Saat dewan sidang memutuskan aku lulus dengan revisi, tubuhku ringan seperti kapas seolah-olah mau melayang. Beruntung aku tidak limbung dan jatuh pingsan. Perasaan bahagia, haru, dan lega bercampur jadi satu. Tak kuasa aku menahan tangis...pecah tangisku setelah aku keluar dari ruang sidang. Segala sumbatan di dada kutumpahkan lewat tangisan, pelukan hangat sahabatku meredakan tangisku.

"Selamat Pik, kamu sudah jadi Sarjana Pendidikan!" suara yang tak asing terdengar olehku.

"Dhimas...!" aku tergagap dalam rasa yang sulit kuungkapkan. Ingin kupeluk sosok di hadapanku ini tapi aku tak kuasa melakukannya. Lidahku kelu untuk menjawab ucapan selamatnya. 'Maafkan aku Dhim....'

         Diana Palupi Indah Sari, S.Pd. nama itu tertera di ijazah IKIP Negeri Semarang tahun 1999. Meski tidak menjadi yang terbaik di jurusan, urutan ke-2 cukuplah bagiku. Kulihat bibir ibu mengembang, senyum bahagia menghiasi wajahnya. Senyum dan pelukan yang selalu kurindukan. Samar-samar kulihat sesosok memandang kami dari kejauhan. Maaf Dhimas, senyum ini belum bisa kuberikan padamu.... Aku bukanlah "Upik Abu" dan kamu bukanlah "Pangeranku".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun