Sejalan dengan Tomlinson, Imran Tululi (2022) mengemukakan bahwa pembelajaran berdiferensiasi merupakan serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan siswa. Keputusan-keputusan yang dibuat itu berkaitan dengan: (1) Kurikulum yang mempunyai tujuan pembelajaran yang diartikan secara jelas. Jadi dalam hal ini bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan pembelajarannya, namun siswa pun demikian. (2) Bagaimana guru merespon kebutuhan belajar setiap siswanya. Bagaimana siswa tersebut akan dapat menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa tersebut. Sebagai contoh, apakah iswa itu perlu menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda. (3) Bagaimana para siswa menciptakan lingkungan belajar yang "mengundang' siswa untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Kemudian juga memastikan setiap siswa di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang prosesnya. (4) Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Tetapi juga struktur yang jelas, sehingga meskipun melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif. (5) Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut menggunakan informasi yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana yang sudah lebih dulu mencapai tujuan belajar yang ditetapkan.
     Di samping itu hal yang serupa disampaikan oleh Maria Elisabeth (2022) bahwa pembelajaran berdiferensiasi akan mengubah pola pikir guru tentang bagaimana mengajar yang baik menjadi sistem mengajar berdiferensiasi yang lebih baik lagi. Ada usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran dengan memberikan beragam cara melalui diferensiasi konten, proses, produk serta lingkungan belajar dan asesmen awal untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap siswa.
     Pembelajaran berdiferensiasi ini dirasa sangat penting karena setiap siswa memiliki potensi yang beragam. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari M. Nanang Suprayogi (2014), yang menjelaskan bahwa setiap peserta didik memiliki potensi yang beragam dan memiliki keunikan yang melekat pada diri mereka masingmasing. Keberagaman dana keunikan peserta didik antara lain: (1) gaya belajar seperti auditory, visual, dan kinestetik; (2) kemampuan akademik dibagi menjadi tiga tahap akademik tinggi, akademik sedang, dan akademik rendah; (3) kecepatan memahami pelajaran ada yang cepat, sedang, atau lambat; (4) orientasi belajar (mastery (penguasaan), performance approach (pendekatan kinerja), performance avoidance); motivasi yang tinggi, sedang, dan rendah; (5) self-efficacy (kepercayaan diri seseorang pada kemampuannya untuk melakukan tugas tertentu) yang tinggi, sedang, rendah; (6) minat pada pelajaran tertentu; (7) kepribadian bisa introvert atau extrovert; dan (8) status sosial ekonomi.
     Saat ini, pembelajaran diferensiasi menjadi sorotan dalam dunia pendidikan yang mengacu pada keberagaman potensi siswa. Hal tersebut karena hasilnya tentu akan berdampak dalam meningkatkan mutu proses dan hasil belajar siswa.
Proses Belajar
      Menurut Garret (Sagala, 2006: 13) belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa pada perubahan diri dan perubahan cara bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu.
      Pengertian belajar oleh Prawiro (2018) merupakan suatu proses atau upaya yang dilakukan setiap individu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku, baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai positif sebagai suatu pengalaman dari berbagai materi yang telah dipelajari.
      Sedangkan menurut Sudjana (2005: 22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki oleh siswa setelah ia mengalami proses belajarnya. Dalam proses belajar mengajar guru melakukan tugasnya tidak hanya menyampaikan materi kepada siswa, tetapi ia juga dituntut untuk membantu keberhasilan dalam menyampaikan materi pelajaran yaitu dengan cara mengevaluasi hasil belajar mengajar. Upaya memberikan evaluasi belajar mengajar yaitu untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa. Kegiatan evaluasi belajar mengajar berkaitan erat dengan kegiatan pengukuran yang berupa tes hasil belajar. Hasil dari tes tersebut tiada lain adalah berupa nilai.
      Sementara itu, Dimyati dan Mudjiono (2006: 200) disampaikan bahwa belajar merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan/atau pengukuran hasil belajar". Berdaarkan pengertian evaluasi hasil belajar tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang diperoleh oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan evaluasi hasil belajar tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau simbol atau angka.
     Berdasarkan para ahli di atas bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan perubahan tingkah laku individu dalam memperoleh suatu pengetahuan setelah ia mendapatkan suatu pembelajaran atau pengalaman, hal ini sudah tentu perubahan kearah yang lebih baik (positif), misalnya yang tadinya tidak tahu setelah mengalami proses belajar setidaknya menjadi tahu. Untuk menuju ke hal yang lebih baik lagi dalam proses belajar ini akan memerlukan waktu yang lama dan perlu adanya urutan-urutan yang sistematis didalam proses belajar.
Proses Praktik Pemesinan Bubut