Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bisnis Uban bersama Ayah

19 November 2018   00:40 Diperbarui: 19 November 2018   01:13 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah adalah wartawan istana di jaman Bung Karno (arsip pribadi)

Ada banyak alasan mengapa saya sangat menghormati Ayah saya. Tapi alasan yang paling utama adalah saya respek pada prinsipnya dalam hidup. Ketika memutuskan sesuatu, dia akan istiqomah dengan pilihannya dan menerima dengan ikhlas risiko atas pilihannya tersebut.

Pada usia 22 tahun, Ayah saya bersama kelompoknya Adam Malik, Soemanang, Sipahutar, Armin Pane dan Pandu Kartawiguna, turut memelopori berdirinya kantor berita Antara pada tahun 1937. Saat itu mereka bermarkas di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota.

Meski mendirikan kantor sendiri, jangan berpikir bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai modal besar. Di dalam kantor itu cuma ada satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin Roneo tua.

Alasan utama didirikannya kantor berita ini adalah mereka merasa tidak puas tehadap Kantor Berita Belanda Aneta (Algemeen Nieuws-en Telegraaf-Agentschap). Pemberitaan Aneta tentang peristiwa-peristiwa di Hindia Belanda terutama mengenai kehidupan sosial politik masyarakat di Indonesia sering terasa sumbang di telinga rakyat Indonesia.

Kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia, baik yang berada di Hindia Belanda maupun di Eropa, menganggap berita di Aneta bersikap berat sebelah. Aneta sering sekali tidak berimbang dalam memberitakan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di bumi pertiwi.

Yang lebih parah lagi, Kantor berita Belanda itu menyebarkan hasil liputannya bukan saja di Hindia Belanda, melainkan juga di berbagai Negara Eropa. Karena itulah Kantor Berita Antara berusaha menyuplai berita ke berbagai surat kabar nasional sebagai tandingan terhadap Aneta.

Ketika bergolaknya peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), Antara diduduki oleh Partai komunis itu dan ayah saya dan kelompoknya dipaksa pensiun. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Desk Dalam Negeri. Lalu apa yang terjadi pada keluarga kami? Yak betul! Kami pun jatuh miskin....miskin semiskin-miskinnya.

Nah, peristiwa inilah yang membuat saya sangat mengagumi Ayah saya. Ayah tidak pernah terlihat menyesal dengan kejadian itu. Dia cuma menganggap bahwa semua yang terjadi adalah risiko atau konsekuensi dari sikap yang telah dipilihnya. Hidup adalah pilihan! Sekali kita sudah memilih, kita harus siap dan rela menanggung akibatnya, apapun hasilnya. Begitu selalu kata Ayah.

Mengapa saya kagum? Karena banyak sekali temen-temen sejawat ayah yang stress dan mengalami post power syndrome. Mereka ga siap dengan apa yang terjadi padanya.

Ada yang stroke, ada yang kena penyakit bengong dan ada pula yang memasang papan pengumuman kayak plang dokter di depan rumahnya. Plangnya besar berwarna putih lalu dicat hitam dengan huruf segede-gede bagong "Hendri Pulungan (bukan nama sebenarnya). Perintis Kemerdekaan dan Mantan Wartawan LKBN ANTARA." Kesian banget ya?

Dalam kelompoknya, kayaknya cuma Ayah dan Adam Malik yang baik-baik aja. Adam Malik malah meraih kesuksesan luarbiasa. Dia bukan saja pernah menduduki jabatan Menteri Luar Negeri tapi bahkan mampu menjadi Wakil Presiden di era orde baru.

Ibu saya juga terlihat sangat tegar. Dengan segala kemiskinannya, beliau tetap mampu menghidupi ketujuh anaknya. Walaupun kami terpaksa harus makan ditakar. Jadi setiap anak cuma dikasih makan semangkok kecil nasi putih dengan seperempat potong telor dan sambal. Hahahahaha...saya ga akan pernah lupa hidangan tetap itu.

Ada satu peristiwa yang ga akan pernah saya lupakan seumur hidup. Saya inget banget setiap lebaran tiba, temen-temen sebaya saya selalu adu pamer baju dan sepatu baru. Namanya juga anak-anak, kami belom mengerti sama sekali keadaan finansial keluarga. Dengan lugu dan dungu kami menuntut dibelikan baju dan sepatu baru. Dan hasilnya? Tentu saja gatot alias gagal total.

Melihat wajah kami yang diselimuti kekecewaan, ayah saya menawarkan sebuah solusi sederhana, "Pakai aja baju yang masih baik. Lebaran itu bukan baju baru tapi hati yang baru."

"Kalo ga bisa beli baju baru ya beliin sepatu aja deh Yah?" tawar saya.

"Ayah ga punya duit. Tapi nanti ayah beliin semir sepatu, kamu semir aja sepatu kamu tebel-tebel." jawab Ayah saya.

"Maksudnya gimana Yah?" tanya saya telat mikir.

"Kalo disemir tebel-tebel, sepatunya akan keliatan seperti baru juga." Ayah menjelaskan.

Saya alhamdulillah, dari kecil ga pernah peduli sama yang namanya penampilan. Jadi saya terima aja apa yang dikatakan Ayah. Akan tetapi kakak saya nampaknya kurang puas dengan jawaban Ayah. Yah namanya juga anak kecil, wajar kan kalo kita pengen pake sepatu baru seperti anak-anak lain.

Banyak orangtua ga menyadari bahwa anak kecil mau pake sepatu baru bukan karena pengen punya sepatu baru, tapi yang lebih penting kami ga mau kalah sama temen yang lain. Pointnya adalah kami ga ingin anak-anak lain mengejek kami karena dianggap miskin gara-gara ga pake sepatu baru. Tapi, udahlah. Kalo emang ga memungkinkan, mau diapain lagi?

Singkat kata, saya dan kakak saya saat itu sudah menerima semir sepatu hitam, merk 999 dari Ayah, masing-masing dapet 1 kotak. Kata Ayah kami boleh menggunakan sebanyak yang kami suka, pokoknya sampe sepatu lama kami bisa keliatan seperti baru.

Kakak saya rupanya masih ga puas dengan keadaan itu. Sambil menempelkan semir ke sepatu, dia menyanyikan potongan lagu dari Lilis Suryani yang berjudul 'Hadiah Hari Raya'. Teks aslinya seperti berikut;

"Ku dibelikan Ayah sepasang sepatu baru
Karena Hari Raya kini telah tiba...."

Tapi oleh kakak saya liriknya diubah. Sambil menyikat sepatu dia menyanyi :

"Ku tidak dibelikan ayah sepasang sepatu baru...."

Dan saya yang masih sangat bego, menimpali lagu tersebut di baris kedua dengan lirik yang juga telah saya ubah :
"Katenye semir aje tebel-tebel...."

"Hahahahahaha...!" Kakak saya ketawa ngakak mendengar sahutan saya. Saya pun seneng aja karena merasa telah membantu kakak saya menjadi ceria kembali. Lalu dengan bersemangat kami mengulang-ngulang lagu itu sepanjang menyemir. Saya sih nyambungin lagu kakak saya cuma buat seru-seruan aja. Ga ada maksud sama sekali untuk menyindir ketidakmampuan orang tua kami membeli sepatu.

Akan tetapi tiba-tiba ibu saya memanggil kakak saya ke dalam kamarnya. Cukup lama juga mereka berada dalam kamar sampai akhirnya Kakak saya ke luar dari sana. Wajahnya keliatan pucat seperti orang yang sedang menahan amarah sedangkan matanya berair dan berwarna merah. Waduh! Ada apa sih? Hati saya tiba-tiba jadi deg-degan ga keruan.

"Budiman Hakim, sini kamu!" tereak ibu saya dengan bengis. Ibu saya kalo lagi marah selalu memanggil anaknya dengan nama lengkap sesuai dengan KTP..

Ternyata saya juga dipanggil loh. Wah, bahaya nih. Dengan langkah perlahan saya memasuki kamar orang tua saya. Di dalam kamar itu cuma ada kami berdua. Ayah saya entah berada di mana.

"Bud, denger ya. Mama udah menikah sama ayah kamu lebih dari 25 tahun..." Ibu saya mulai memberi mukadimah.

Saya masih menunggu lanjutan omongan ibu dengan hati berdebar-debar.

Ibu masih menatap saya dengan tajam. Lalu dia melanjutkan omongannya, "Dan selama lebih dari 25 tahun itu, Mama belum pernah ngeliat Ayah kamu nangis."

Waduh! Kesian banget Ayah. Dia yang biasanya tegar kok bisa nangis, sih? Apa yang menyebabkan Ayah nangis ya kira-kira? Pikir saya dengan tololnya.

"Ayah kamu bukan orang yang gampang buat nangis, tapi hari ini dia nangis gara-gara ngedenger kamu berdua nyanyi lagu tadi."

Hah? Mampus,deh, saya!! Padahal ga ada seujung kuku pun saya kepengen menyakiti hati Ayah. Tapi saya yang udah begitu ketakutan ga berani ngomong apa-apa. Saya ga berusaha membuat pembelaan. Maklum saya baru berumur 10 tahun waktu itu dan Kakak saya 12 tahun.

"Mama ga akan menghukum kamu. Tapi Mama minta kalo Ayah udah pulang kamu harus minta maap sama Ayah." kata Ibu dengan suara keras.

"Iya, Ma." sahut saya masih dirundung rasa sesal tiada tara.

"Janji??" kata Ibu saya lagi setengah membentak.

"Janji, Ma." sahut saya dengan suara ampir ga kedengeran.

"Awas kalo sampe ga minta maap!!" bentak Ibu saya.

"Iya Ma." sahut saya tanpa menyadari bahwa airmata udah mengembeng di kelopak mata saya.

"Ya udah kamu boleh pergi sekarang..." Suara ibu saya mulai melembut.

Malamnya Ayah baru pulang, entah dari mana. Saya perhatiin parasnya biasa aja. Ga keliatan kayak orang lagi sedih apalagi abis nangis.

Setelah buka sepatu, Ayah mengenakan seragam rumahnya yang serba putih, yaitu celana kolor putih dan singlet putih. Celana kolor itu dibuat dan dijahit sendiri oleh ibu saya dari kain belacu. Kaos singletnya udah kendor sehingga sesekali kaitannya di pundak suka turun kayak tali BH perempuan.

Ayah mengambil koran lalu duduk di kursi malas kebesarannya yang terbuat dari pipa besi dengan anyaman tali plastik berwarna-warni. Pipa besinya sudah berkarat, sementara tali plastiknya udah putus di sana-sini. Sebagian udah disambung oleh ibu saya dengan mengikatkannya lagi satu sama lain.

"Bud, tolong ambilin kacamata di meja tulis." teriaknya ke arah saya.

Wah, momentum bagus nih. Segera saya ambil kacamata, menyerahkannya ke Ayah sambil ngomong, "Ini Yah kacamatanya."

"Aci." sahut kata ayah saya.

Hahahahaha istilah 'Aci' artinya adalah terimakasih. Dulu waktu masih balita saya ga bisa melafalkan terimakasih. Setiap kali mengucapkan terimakasih, yang ke luar dari mulut saya adalah 'Aci.' Dan sampai besar Ayah saya masih suka menggunakan istilah itu.

Setelah memakai kacamatanya yang berbingkai hitam itu, Ayah mulai membalik-balik korannya. Dia jarang sekali membaca cerbung atau cerpen, fokusnya selalu pada berita politik. Saya masih berdiri di sampingnya. Rencananya saya mau minta maap sesuai janji saya pada Ibu. Tapi hati saya masih dilanda keraguan. Takutnya gara-gara saya minta maap justru Ayah malah jadi marah karena diingatkan oleh peristiwa tadi.

Tapi karena merasa udah berjanji, akhirnya saya nekat dan memutuskan untuk memenuhi janji.

"Eh Ayah, maap ya tadi pagi udah bikin salah. Ga sengaja loh Yah." kata saya pelan dengan suara bergetar karena takut.

Di luar dugaan Ayah saya menyambut dengan suara biasa seakan-akan emang ga pernah terjadi sesuatu apapun.

"Iya, gapapa. Nanti kalo Ayah udah punya uang banyak, Ayah akan beliin kamu sepatu dua pasang sekaligus." katanya sambil tersenyum-senyum.

Wuuiih saya girang bukan main. Bukan girang karena mau dibeliin sepatu tapi karena Ayah ga marah dan ga sedih seperti yang dikatakan Mama. Agar suasana riang tetep terjaga, saya coba menimpali perkataannya agar percakapan terus berlangsung, "Uang banyak itu berapa maksud Ayah?"

"Seribu delapan puluh!" jawab Ayah.

Hahahahaha....Ga tau kenapa, Ayah selalu mengatakan 'seribu delapan puluh' setiap kali mau mengatakan "banyak". Misalnya kalo lagi duduk-duduk di teras di malam hari, saya suka terpana ngeliat bintang begitu banyak di langit. Beberapa kali saya suka nanya ke Ayah, "Bintang di langit sebenernya ada berapa sih Yah?"

"Seribu delapan puluh" Begitu selalu nyautnya. Pokoknya apapun yang keliatan banyak, Ayah selalu menjawab dengan 'seribu delapan puluh' Bukan cuma ke saya tapi ke semua anaknya.

Besoknya Ayah manggil saya lagi, "Bud, tolong cabutin uban Ayah, ya?"

"Ada upahnya kan?"

"Seperti biasa Rp 10 per uban." jawab Ayah saya.

"OK." Saya paling seneng kalo disuruh nyabut uban soalnya ada upahnya. Kalo disuruh ngecat rambut, Ayah ga pernah ngasih uang. Padahal buat saya ngecat rambut itu jauh lebih susah dibandingin nyabut uban. Sampe detik ini saya tetep ga tau kenapa ngecat ga ada upahnya karena emang saya ga pernah tanya.

Sayangnya uban Ayah belom banyak. Dari rambut kepalanya yang udah menipis itu ternyata cuman ada 3 uban yang saya temukan. Aduh, ga bener, nih...masa penghasilan saya cuma Rp 30 perak? Dikit amat! Saya ubek-ubek lagi rambut Ayah pake kedua tangan. Sisir ke kiri, sisir ke kanan tapi ga ada lagi uban yang saya temukan. Emang sudah nasib saya cuma dapet uang segitu hehehehe

Setelah menerima upah dari Ayah, saya ambil kotak semir bekas yang udah kosong. Saya tarok ketiga helai uban itu di sana. Terus saya simpen kotak di meja belajar di dalam kamar. Saya sendiri ga tau kenapa saya melakukan hal itu tapi naluri saya mengatakan ketiga uban itu pasti akan ada gunanya.

Nah suatu hari saya lagi butuh uang buat beli es bonbon. Saya langsung tanya ke Ayah saya, "Ga mau nyabut uban Yah?"

"Boleh. Sekarang, ya?" kata Ayah saya.

"Sekarang, dong." sahut saya bersemangat. Gimana ga semangat kan saya mau dapet uang.

Tapi lagi-lagi saya kecewa. Uban Ayah saya masih sedikit. Masalah uban ini sering jadi dilema buat saya. Kalo uban sedikit, upah saya ikut sedikit. Tapi kalo udah banyak, Ayah ga mau dicabut ubannya tapi maunya dicat pake penghitam merk Peacock. Kalo akhirnya dicat, saya yang rugi. Udah kerja capek-capek tapi ga ada upahnya.

Saya itung lagi uban Ayah, ternyata cuma ada 4 uban. Buset! Kapan bisa kaya, nih kalo panen uban cuma segini?

Ting! Mental wiraswasta saya rupanya udah ada sejak kecil. Tiba-tiba saya teringat sama uban Ayah yang saya simpen di dalam kotak semir sepatu.

"Sebentar, Yah." kata saya sembari berlari ke arah kamar dan mengambil kotak berisi uban.

"Kenapa Bud? Kok tiba-tiba ngilang." tanya Ayah begitu ngeliat saya balik lagi.

"Ngambil kotak semir buat tempat uban" kata saya sambil memperlihatkan kotak semir di tangan tapi saya ga memperlihatkan bahwa ada 3 uban yang tersimpen di sana.

"Ngapain uban kok disimpen segala?" tanya Ayah saya keheranan.

"Buat kenang-kenangan." sahut saya sekenanya. Lalu saya pun meneruskan tugas. Perlahan-lahan saya cabut keempat uban Ayah satu demi satu. Satu lembar uban kan upahnya Rp 10, jadi dari total empat lembar uban saya akan mendapatkan Rp 40.

Nah, sekarang barulah taktik jenius saya laksanakan. Sebuah strategi untuk mendapatkan upah lebih banyak dari seharusnya. Caranya? Saya cabut rambut Ayah lagi yang masih item.

"Wah ada lagi nih Yah ubannya." kata saya dengan suara meyakinkan sambil mencabut rambut hitamnya.

Totalnya saya mencabut 4 rambut putih dan 3 rambut item. 3 rambut item saya buang ke lantai, sedangkan 4 uban saya masukan ke dalam kotak semir yang udah ada 3 uban, sehingga jumlahnya pas 7 uban kan? Pastinya Ayah saya ga curiga dong? Orang jumlah nyabut dan jumlah ubannya sama. Berhasillah hari itu saya memperoleh upah Rp 70. Lumayaaaan.....

Ketujuh uban saya simpen lagi di kotak semir dan saya tarok di kamar. Saya udah ngebayangin, kalo saya disuruh nyabut uban lagi pasti saya bakalan kaya raya. Soalnya saya kan udah ada uban 7 helai yang valuenya Rp 70. Kalo saya dapet uban 5 helai lagi, berarti 7 + 5 = 12 uban. Kalo dirupiahkan totalnya jadi Rp 120. Horeeeeeee...!!!!

Cukup lama juga bisnis uban saya berlangsung. Memang penghasilannya ga seberapa karena bisnis uban adalah bisnis skala kecil yang ga mungkin bisa bikin saya kaya. Tapi untuk sekedar jajan rujak bebek, kremes dan es bonbon mah saya ga pernah punya masalah, karena bisnis uban yang saya jalani selama ini cukup membantu cashflow hehehehehe...

Lagi asik-asiknya berkakulasi bagaimana caranya mengembangkan bisnis, sekonyong-konyong Ayah menghampiri saya sambil berkata, "Bud Ayah tadi ngaca ternyata rambut Ayah udah tipis banget, ya?"

"Iya terus kenapa Yah?" tanya saya.

"Kalo dicabutin terus lama-lama kepala Ayah bisa botak."

"Ya ga dong. Kan rambutnya tumbuh lagi." kata saya mulai was-was.

"Ngga, ah. Mulai hari ini Ayah ga mau dicabut lagi..."

"Hah? Jangan dong Yah." potong saya mulai panik.

"Mulai sekarang rambut Ayah dicat aja." kata Ayah.

"Tapi yah..." kata saya bingung mau mengatakan apa.

"Yuk ini peacocknya. Tolong cet rambut ayah sekarang juga." kata Ayah lagi sambil menyerahkan mangkok plastik berisi penghitam rambut ke tangan saya.

Bruk! Bangkrutlah bisnis uban saya!!!

Peristiwa ini memberi sebuah pemahaman yang sangat penting. Bahwa sejak kecil Tuhan sudah mengajarkan pada kita bahwa apa yang kita punya bisa saja hilang dalam sekejap kalau Dia menghendakinya. Jadi jangan pernah menggantungkan diri pada satu hal. Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan selain apa yang sedang kita kerjakan saat ini. Ga ada gunanya meratapi nasib. Yang harus kita lakukan adalah bangkit lagi dan mencari celah untuk tetap mampu berdiri sendiri.

Lalu saya mulai mengecat rambut Ayah. Berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, kali ini saya mengecat rambut Ayah dengan hati riang. Dengan perasaan tulus ikhlas walaupun saya tau pekerjaan ini ga ada upahnya.

Sudah lama sekali peristiwa itu berlalu. Dan tiada hari tanpa rasa rindu pada Ayah. Oh ya, ada satu hal lagi yang aneh belakangan ini. Kalo sedang jalan ngelewatin cermin, saya suka ngeliat bayangan Ayah saya, loh. Beberapa kali saya suka terkejut karena merasa ngeliat sosok Ayah berkelebat di dalam cermin. Setelah berkonsentrasi sejenak, saya jadi ngakak sendiri. Rupanya seiring dengan bertambahnya usia, penampilan saya semakin mirip dengan penampilan Ayah.
Hehehehehe...Al Fatihah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun