"Ku dibelikan Ayah sepasang sepatu baru
Karena Hari Raya kini telah tiba...."
Tapi oleh kakak saya liriknya diubah. Sambil menyikat sepatu dia menyanyi :
"Ku tidak dibelikan ayah sepasang sepatu baru...."
Dan saya yang masih sangat bego, menimpali lagu tersebut di baris kedua dengan lirik yang juga telah saya ubah :
"Katenye semir aje tebel-tebel...."
"Hahahahahaha...!" Kakak saya ketawa ngakak mendengar sahutan saya. Saya pun seneng aja karena merasa telah membantu kakak saya menjadi ceria kembali. Lalu dengan bersemangat kami mengulang-ngulang lagu itu sepanjang menyemir. Saya sih nyambungin lagu kakak saya cuma buat seru-seruan aja. Ga ada maksud sama sekali untuk menyindir ketidakmampuan orang tua kami membeli sepatu.
Akan tetapi tiba-tiba ibu saya memanggil kakak saya ke dalam kamarnya. Cukup lama juga mereka berada dalam kamar sampai akhirnya Kakak saya ke luar dari sana. Wajahnya keliatan pucat seperti orang yang sedang menahan amarah sedangkan matanya berair dan berwarna merah. Waduh! Ada apa sih? Hati saya tiba-tiba jadi deg-degan ga keruan.
"Budiman Hakim, sini kamu!" tereak ibu saya dengan bengis. Ibu saya kalo lagi marah selalu memanggil anaknya dengan nama lengkap sesuai dengan KTP..
Ternyata saya juga dipanggil loh. Wah, bahaya nih. Dengan langkah perlahan saya memasuki kamar orang tua saya. Di dalam kamar itu cuma ada kami berdua. Ayah saya entah berada di mana.
"Bud, denger ya. Mama udah menikah sama ayah kamu lebih dari 25 tahun..." Ibu saya mulai memberi mukadimah.
Saya masih menunggu lanjutan omongan ibu dengan hati berdebar-debar.
Ibu masih menatap saya dengan tajam. Lalu dia melanjutkan omongannya, "Dan selama lebih dari 25 tahun itu, Mama belum pernah ngeliat Ayah kamu nangis."