Kali ini semua guru yang hadir terdiam. Rupanya mereka jiper juga dengan ketegasan saya. Suasana jadi sedikit tegang dan untuk menetralisir suasana, saya melanjutkan bicara, “Mohon perhatian! Semua guru memang tidak saya izinkan untuk berbicara tapi setelah acara selesai, semua guru boleh menyatakan pendapatnya.”
Kali ini terlihat ada paras dan gumaman lega dari rombongan guru.
“Tapi, saat para guru berkomentar, giliran semua murid yang tidak saya izinkan untuk menanggapi. Saya tidak mau terjadi debat kusir di acara yang saya pimpin.”
Setelah semua mingkem, acara diskusi sastra pun dimulai. Ada 8 perwakilan SMA yang hadir dan semua saya jadikan dalam sebuah group. Setiap group harus mempresentasikan sebuah karya atau laporan berbentuk analisis tentang karya yang mereka baca. Setelah satu group selesai presentasi, barulah masuk ke segmen diskusi, hadirin boleh bertanya dan sampai di situ diharapkan terjadi sebuah diskusi yang menarik.
Namun, seperti yang sudah saya perikirakan, semua group pemahamannya cetek banget. Ada yang membahas Buku Layar Terkembang, karya Sutan Takdir Alisyahbana, ada yang membahas puisi-puisinya Chairil Anwar, ada juga yang membedah novel-novelnya NH Dhini. Tapi semuanya hanya pembahasan yang dangkal. Analisisnya terlalu lebar sehingga audiens pun bingung hendak bertanya apa.
Terus terang sampai detik itu, saya merasa gagal dalam menangani acara Diskusi Sastra ini, sampai akhirnya datang Sang Dewa Penolong….siapa dia? Yak dialah Fadli Zon. Bersama dengan dua orang temannya, dia maju ke depan dengan langkah yang sangat yakin. Semua materi presetasi, dia yang bawakan sementara kedua temannya yang lain hanya membisikkan sesuatu ketika Fadli kelupaan atau terlewat mengatakan sesuatu.
Dengan suara lantang dan tegas dia memaparkan apa itu puisi, apa itu roman, apa definisi karya sastra dan bagaimana sebuah karya sastra Indonesia bisa bersaing dengan karya-karya di dunia. Semua orang terpesona dengan pemaparannya. Dengan lugas dan berbahasa campur-campur bahasa Inggris, dia menjelaskan bahwa sastra itu adalah identitas sebuah negara. Sastra adalah adalah sebuah barometer untuk menilai seberapa tinggi kebudayaan sebuah negara.
Suasana diskusi menjadi sangat hidup. Semua peserta lain menghujani dengan pertanyaan yang semuanya dijawab dengan tangkas oleh Fadli. Saya terkagum-kagum pada anak itu.
Fadli Zon menjadi bintang di acara diskusi sastra yang saya pimpin. Meskipun cara bicaranya agak merendahkan murid-murid dari sekolah lain tapi saya bisa memaafkannya. Karena ini kan sebuah diskusi, semua orang boleh memiih karakter yang dirasa nyaman ketika dia sedang presentasi. Diskusi berjalan tak seimbang karena Fadli terlalu pintar dibandingkan dengan murid-murid SMA yang lain.
Diskusi sekonyong-konyong berubah menjadi semakin panas. Peserta lain merasa Fadli terlalu angkuh dan cenderung meremehkan peserta lainnya. Ketidaksukaan mereka dilampiaskan dengan pertanyaan yang menyerang pribadi dan bukan lagi pada isi materi. Saya sih seneng-seneng aja karena diskusinya menjadi sangat seru dan satu hal yang terpenting, Fadli Zon telah menyelamatkan saya dari kegagalan dalam mengelola sebuah program yang namanya Diskusi Sastra.
Acara tanya jawab masih terus berlagsung, seseorang bertanya,