Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Slow Living Ialah Hidup Lambat, Amat Lambat, Demikian Lambat

24 Januari 2025   09:08 Diperbarui: 24 Januari 2025   09:08 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungai kecil berbatu. Gemericik air bening menyapu lembut telinga. Sono duduk di gubuk bambu menikmati silir-semilir angin mengusap wajahnya.

Matanya memandang padi menguning menghampar. Sesekali tangannya santai menarik-narik tali, yang terhubung dengan orang-orangan sawah nun jauh di sana. Sono tersenyum melihat burung-burung beterbangan.

***

Desa nan asri. Pepohonan. Persawahan. Sungai mengalir tanpa sampah. Air bening. Alam hening, baik ketika siang maupun langit berbintang.

Kecuali hasil pembakaran jerami kering, jauh dari permukiman yang tiap-tiap rumahnya memiliki pekarangan luas, tidak mengudara asap mesin menyesaki udara bersih. Tiada suara knalpot brong bersicepat tanpa mengalah, atau kendaraan beroda empat pating seliwer melindas jalan tanah berbatu.

Hanya sepeda geyal-geyol dengan putaran pedal lambat melintas. Sesekali pesepeda berpapasan dengan dokar ditarik dua ekor sapi berjalan perlahan. Mereka berhenti. Bercakap-cakap akrab dan lama bagaikan tiada lagi hal diburu-buru.

Takada sibuk. Warga tidak pernah, dan tidak akan pernah terburu-buru menuju suatu tempat. Tidak ada alasan lalu lintas mampat, karena memang dalam hidupnya mereka tidak mengenal kata macet, kecuali berhenti secara sukarela berhubung rombongan itik memotong jalan.

Warga desa menikmati waktu penuh rasa syukur dan terukur. Tiada perburuan, apalagi perebutan waktu. Siang bekerja di sawah atau ladang, atau mencari ikan di telaga. Malam, istirahat. Bukan sibuk mencari penghidupan.

"Bila kita berusaha, rezeki sudah ada yang mengatur. Buat apa buru-buru?"

Hidup berirama lambat. Lamban, menurut pemikiran maju Sono. Pria yang baru saja melewati masa remaja itu jenuh dengan kehidupan desa yang serba lambat. Boleh jadi, cara berpikirnya terlalu cepat bagi kebanyakan orang desa. Bagi orangtuanya.

"Pak, aku ingin ke kota besar. Cari kemungkinan lebih baik."

"Kenapa? Di sini ada cukup pekerjaan. Ada sawah ladang, meski tidak luas itu memberi cukup makan. Untuk apa ke kota?"

"Aku banyak mendengar, kehidupan kota menawarkan kemungkinan-kemungkinan hebat. Sekais de limit!"

"Apa artinya?"

"Bapak tidak bakal mengerti. Itu artinya, gantungkan cita-cita di langit!"

"... ???"

"Aku jenuh dengan kehidupan desa yang serba lamban."

Esok pagi. Matahari bersinar cerah. Sono terkantuk-kantuk menumpang dokar menuju batas desa, di sana ia bisa mendapatkan angkutan desa menuju terminal bus, yang akan membawanya ke kota pertama. Dari situ perlu naik angkutan kota menuju stasiun kereta api, yang akan mengantarkannya ke kota besar.

Keluar dari stasiun kota besar Sono memandang hal-hal yang belum pernah dipandangnya di desa. Tersenyum seraya menghirup napas dalam-dalam.

"Uhuk-uhuk."

Asap putih dari bajaj merah warnanya dan udara berkualitas jelek serentak masuk ke saluran pernapasan. Terbatuk dan celingak-celinguk pikirannya berkabut, hendak ke mana?

Di antara riuh ingatan dan jalanan, kepala seorang pria menyembul dari jendela bajaj, "Mau ke mana? Mari saya antar."

"Cari kerja. Bawa ke tempat di mana aku bisa kerja."

Sopir bajaj garuk-garuk kepala. Dalam pikirannya terlintas sesuatu, "Baiklah. Ke tempat cari kerja, ya. Tiga puluh ribu."

Sono menganga. Di desa ia tidak perlu sepeserpun menumpang dokar pergi ke mana saja, asal setujuan dengan gerobak besar yang beratap dan memiliki dua roda itu.

"Sudah dimurahin. Biasanya, lima puluh ribu."

Sono melihat sekumpulan kotak-kotak, yang berdiri di antara saluran berisi cairan hitam, berbau anyir, dan tidak mengalir. Umumnya, bangunan berpintu dan berjendela kecil itu bertingkat. Pada bagian atas terdapat tali temali tempat berjemurnya aneka pakaian, bahkan menggantung jelas kain segitiga warna-warni yang biasanya dilekatkan pada tempat tersembunyi.

Motor-motor pating seliwer pada jalanan sempit. Klakson berteriak-teriak, meminta kesempatan kepada pejalan kaki yang tergesa-gesa bagaikan tiada lagi waktu longgar.

Satu pengendara tidak mampu menahan amarah. Ia menindas tanpa ampun tombol klakson. Setang motornya menyenggol seseorang yang kemudian terjungkal ke selokan. Maka, sebuah tubuh celemotan centang perenang memaki-maki motor yang sudah kabur meninggalkan asap.

Sejenak Sono takjub melihatnya. Namun, ingatan tentang tujuan semula menyadarkannya. Ia bertanya kepada seseorang yang sedang nongkrong, "Di mana cari kerja?"

Lali-laki itu mengembuskan asap putih ke muka Sono. Mata merahnya memindai ubun-ubun hingga ujung sepatu butut pria desa itu.

"Orang baru? Lihat gedung-gedung tinggi di sana? Itu adalah tempat cari kerja. Besok pada hari kerja aku bisa temani. Tentunya sekarang kamu perlu tempat istirahat."

Tak lama setelahnya pandangan Sono berputar. Ruang pengap. Lantai semen. Kasur tipis. Takada perabot. Tak mengapa, ini lebih baik, dibanding tidur di jalanan.

Pagi yang sibuk. Sono berada di lobi gedung sangat bagus. Matanya nanar melihat sekeliling. Mulut menganga. Laki-laki baru dikenalnya kemarin telah memberikan beberapa petunjuk. Sekarang ia sedang berbicara serius dengan penjaga.

"Kasih lima puluh ribu. Dia antar kamu ke dalam. Nanti kasih amplop ke orang yang menerima berkas lamaranmu. Yang baju puitih dasian merah, ya. Ingat!"

Senin berikutnya, dengan seragam dan sepasang sepatu baru Sono memulai kerja sebagai pramukantor. Pekerjaan yang sangat dikuasainya, menyapu dan mengepel hingga mengelap meja. Penyelianya mengenalkan kebiasaan para pegawai. Ada penyuka teh atau kopi, dengan dibubuhi gula atau tidak.

Waktu berjalan, Sono tidak hanya mahir melayani kerutinan tersebut. Ia mengingat rahasia-rahasia kecil; rahasia-rahasia lebih besar; dan sangat besar dari masing-masing pegawai, yang tak sekalipun dapat diceritakannya di sini. Tidak akan pernah.

Di sela-sela waktu Sono belajar ilmu administrasi dan komputasi. Waktu menciut. Tiap hari ia terbirit-birit mengejar bus kota paling pagi, pulang ketika di kantor tinggal bersendiri tekun mempelajari segala hal.

Kecepatan mencerna pengetahuan baru membuatnya menyala. Karirnya melesat, makin melesat hingga tak terasa bertahun kemudian menjadi pelaku usaha itu sendiri. Nasib baik membawanya sebagai industrialis. Tidak hanya di satu bidang, tetapi berbagai.

Waktu makin mengerut. Tak cukup untuk mengurus banyak urusan. Pontang-panting ke sana ke mari. Menghadapi bisingnya macet, hiruk pikuk, tengat waktu menjerat, dan target-target memburu.

Tekanan-tekanan kota besar yang tak terbayangkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di stasiun kota. Kemudian stres mendera Sono.

"Aku jenuh dengan kehidupan kota besar yang berisik, serba cepat, mengikat, keras, dan memecut," Sono yang mulai beruban berkata kepada istrinya.

"Maksudmu? Bukankah segala impian tersedia di kota besar ini?"

"Anak-anak sudah punya kehidupan masing-masing. Kita telah melihat keindahan berbagai kota dunia. Itu tidak cukup. Aku ingin hidup tidak terburu-buru."

"Jadi?" tanya istri Sono yang setia menemani, dari perintisan usaha hingga hidup mewah.

"Ya, aku ingin kita bisa hidup tenang, meski lambat, lebih lambat, demikian lambat."

***

Sungai kecil berbatu. Gemericik air bening menyapu lembut telinga. Sono duduk di gubuk bambu menikmati silir-semilir angin mengusap wajahnya.

Matanya memandang padi menguning menghampar. Sesekali tangannya santai menarik-narik tali, yang terhubung dengan orang-orangan sawah nun jauh di sana. Sono tersenyum melihat burung-burung beterbangan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun