Di antara riuh ingatan dan jalanan, kepala seorang pria menyembul dari jendela bajaj, "Mau ke mana? Mari saya antar."
"Cari kerja. Bawa ke tempat di mana aku bisa kerja."
Sopir bajaj garuk-garuk kepala. Dalam pikirannya terlintas sesuatu, "Baiklah. Ke tempat cari kerja, ya. Tiga puluh ribu."
Sono menganga. Di desa ia tidak perlu sepeserpun menumpang dokar pergi ke mana saja, asal setujuan dengan gerobak besar yang beratap dan memiliki dua roda itu.
"Sudah dimurahin. Biasanya, lima puluh ribu."
Sono melihat sekumpulan kotak-kotak, yang berdiri di antara saluran berisi cairan hitam, berbau anyir, dan tidak mengalir. Umumnya, bangunan berpintu dan berjendela kecil itu bertingkat. Pada bagian atas terdapat tali temali tempat berjemurnya aneka pakaian, bahkan menggantung jelas kain segitiga warna-warni yang biasanya dilekatkan pada tempat tersembunyi.
Motor-motor pating seliwer pada jalanan sempit. Klakson berteriak-teriak, meminta kesempatan kepada pejalan kaki yang tergesa-gesa bagaikan tiada lagi waktu longgar.
Satu pengendara tidak mampu menahan amarah. Ia menindas tanpa ampun tombol klakson. Setang motornya menyenggol seseorang yang kemudian terjungkal ke selokan. Maka, sebuah tubuh celemotan centang perenang memaki-maki motor yang sudah kabur meninggalkan asap.
Sejenak Sono takjub melihatnya. Namun, ingatan tentang tujuan semula menyadarkannya. Ia bertanya kepada seseorang yang sedang nongkrong, "Di mana cari kerja?"
Lali-laki itu mengembuskan asap putih ke muka Sono. Mata merahnya memindai ubun-ubun hingga ujung sepatu butut pria desa itu.
"Orang baru? Lihat gedung-gedung tinggi di sana? Itu adalah tempat cari kerja. Besok pada hari kerja aku bisa temani. Tentunya sekarang kamu perlu tempat istirahat."