Persoalan tidak mudah berkali-kali melanda Fatah. Membuat dirinya terpuruk. Menjadikan derajatnya berada di bawah sandal jepit. Hidupnya ibarat layangan putus.
Pandemi dua tahun membawa kantor tempatnya bekerja mengalami kesulitan keuangan. Putaran usaha melemah. Pada satu titik, napas usaha terhenti. Padam. Terpaksa pemilik usaha memutuskan hubungan kerja dengan para karyawan, termasuk Fatah.
Dengan sedikit uang pesangon, pria berkumis tipis mencari pekerjaan pengganti. Dapat, tetapi tidak lama. Bekerja lagi, hanya sebentar. Berkali-kali terjadi hingga tinggal sedikit kekuatan untuk bertahan hidup.
Fatah mencari pekerjaan apa pun, berapa pun besar jumlah upah. Badan terseok-seok ibarat layangan putus. Mengapung di awan. Layangan putus berharap mendapatkan pemilik baru.
Biasanya, anak-anak desa akan riang gembira berlari-lari mengejar kertas tipis berkerangka yang tak bertuan. Siapa cepat, ia dapat. Jika menyangsang di ketinggian pohon, mereka menggunakan galah panjang untuk mengaitnya.
Berbeda dengan anak-anak di kota besar. Pemandangan di layar gawai jauh lebih menarik perhatian ketimbang layangan putus. Kalaupun ada yang jatuh di depan kaki, mereka tidak bakal mengambilnya karena tidak mampu menerbangkannya. Lagi pula, tidak ada cukup tanah lapang.
Lapangan di kota besar telah ditanami aspal, trotoar, saluran pembuangan, dan pohon beton menjulang ke langit.
Layangan tersangkut di ketinggian pencakar langit akan berdiam sendirian, hingga panas dan hujan asam menghancurkannya. Jatuh di jalan, pengemudi yang terburu-buru dan selalu tegesa-gesa tanpa peduli melindasnya hingga berkeping-keping.
Maka layangan yang putus melayang-layang di langit kota besar harus mencari pemilik baru, agar tetap hidup tidak hancur begitu saja.
Atau, mengikuti angin berembus jauh menuju pinggiran kota. Di sana masih ada tanah lapang di antara rumah-rumah dengan gaya serupa. Barangkali ada pemilik baru yang rela berhitam kulit demi memainkan layangan.
Di tempat itulah Fatah terdampar. Pada satu kota kecil yang bersisian dengan kota besar. Sebagian besar warganya mencari penghidupan di kota besar. Sebagian lagi berusaha mengais rezeki di kota kecil dengan banyak cara.
Dalam proses pencarian pekerjaan di kota besar tanpa mendapatkan hasil, ia teringat akan sahabatnya yang kabarnya memiliki usaha di kota kecil.
Pertemuan menggetarkan. Pelukan sahabat. Pembicaraan akrab mengenang tempo dulu. Di antara waktu, dengan wajah putus asa Fatah menyampaikan maksud. Sang sahabat memahami. Sangat memahami.
"Jadi, mau tinggal di gudang?"
Fatah mengangguk lalu mengambil kue di meja tamu. Perutnya lapar.
Indrawan sahabatnya menyodorkan gagasan agar membuka usaha. Kecil saja, seturut kemampuan Fatah. Sang sahabat akan memberinya sedikit modal sebagai pengungkit awal dan menyediakan tempat. Tidak perlu membayar sewa.
Tempat, tepatnya sebuah rumah sebagai gudang, yang berada di pojok persimpangan jalan menjadi tujuan Fatah. Halamannya luas untuk ukuran hunian di perumahan kelas menangah. Cukup untuk membuka usaha kecil.
Di dalamnya terdapat tumpukan persediaan dagangan. Indrawan membuka toko di tempat keramaian, bukan di perumahan.
Ada seorang penjaga. Sahabatnya mengenalkan Fatah kepadanya. Berarti, ia akan menghabiskan waktu bersama Agung. Itu tambah baik. Ada teman berbincang.
Fatah menyiapkan perlengkapan untuk berjualan mi dan kopi seduh, hidangan yang mudah ditelan dan banyak disuka.
Jalan di depan merupakan perlintasan. Lumayan ramai dari sejak pagi hingga malam sekitar waktu Isya. Mereka berangkat dan pulang sekolah atau kerja, atau untuk berbagai keperluan lainnya.
Tempat ideal untuk berjualan. Sasaran pembeli adalah para pelintas dan pegawai Indrawan yang mengambil stok.
Dengan semangat empat lima, Fatah menunggu warung. Pada pagar terpasang spanduk. Huruf-huruf menyatakan menu mi instan rebus dan goreng, aneka kopi seduh, teh manis panas/anget, serta camilan. Kelak jika berkembang, ia akan membeli jajanan di pasar lalu menjual mereka di sini.
Dua pengunjung datang. Satu adalah tetangga sebelah rumah yang memesan mi rebus. Dibungkus. Lainnya, pesepeda motor yang ingin minum kopi.
Di waktu lain, Indrawan sendiri datang bersama teman-temanya. Mereka memesan kopi dan mi instan rebus atau goreng. Harapan Fatah melambung.Â
Namun, kenyataan tidak menyatakan perkembangan bagus. Selama berbulan-bulan Fatah melayani rata-rata satu dua pembeli per hari buka, lebih banyak menghabiskan waktu bersama sepi.
Untunglah, pada malam hari ada satu pelanggan tetap yang minta kopi seduh. Kadang membeli mi rebus. Agung, sang penjaga itu. Ia tidak mau gratis. Selalu membayar, bahkan tidak jarang tanpa meminta uang kembali.
Lelaki royal yang memiliki banyak teman. Pada banyak malam saat Fatah hendak memejamkan mata, terdengar suara berbincang di halaman. Samar-samar. Mungkin mereka tidak ingin mengganggu orang sekitar yang hendak beristirahat.
Timbul sedikit keheranan di benak Fatah, mengingat bahwa Agung bukan termasuk orang yang senang bercakap-cakap. Pendiam dan cenderung tertutup yang bukan berarti sombong. Tidak. Ia berperilaku sopan dan hormat ke siapa pun, termasuk kepada Fatah. Selama ini tidak masalah dalam hubungan mereka.
Namun, hal pembuat tanya di benak Fatah adalah fakta bahwa Agung punya banyak teman, meskipun ia tidak pernah mengetahui siapa mereka.
Pernah sekali Fatah menyingkap tirai jendela ruang tamu. Di bawah cahaya lampu LED 5 watt dua orang berbicara. Tidak lama. Temannya segera melesat dengan sepeda motor.
Sudahlah, Fatah tidak ingin tahu lebih lanjut apalagi ikut campur dengan urusan orang lain. Ia memikirkan keperluannya sendiri yang lama-lama bikin kepala berputar.
Berbulan-bulan perkembangan usaha penjualan mi dan kopi belum bagus. Selama itu pula pembeli tetap berkisar satu dua per hari. Membuat Fatah lelah, jasmani maupun rohani. Perlahan putus asa menghampiri.
"Mungkin perlu beberapa hari penyegaran," kata Indrawan.
Fatah mengambil kue di meja tamu, "Bisa jadi. Agaknya, aku butuh waktu istirahat."
***
Kelebatan pohon-pohon tepi jalan menerbangkan pikiran Fatah ke kampung halaman, cerita apa yang hendak disajikan kepada orang tuanya. Kegagalan? Sedang membangun keberhasilan?
Fatah pulang membawa mendung. Kesulitan melanda putranya dirasakan oleh sang Ibunda. Dengan kasih sayang tulus, perempuan paruh baya mengambil tas dan meletakkannya di kamar.
Fatah menemui Bapaknya. Bibir pria lansia, tapi perkasa, menjepit cangklong. Di meja depannya terdapat segelas kopi dan sepiring singkong goreng. Tak lama, ibunya membawa baki isi kopi dan air bening untuk Fatah.
"Lebih baik kamu meneruskan usaha pertanian keluarga, daripada luntang-lantung di kota" suara berat membuat hati Fatah menggelegak.
"Biarlah ia istirahat dulu," suara lembut memutus gugatan.
Sore itu, tiga anak manusia menerbangkan pikiran ke awan. Melayang-layang mencari muara pertemuan.
Bagaimanapun, kampung halaman menghadirkan suasana tenang dengan gerak teratur, lembut, lamban, dan terukur. Hari-hari Fatah diisi udara segar, makanan sederhana, tidur lelap, dan bangun bugar.
Sesekali Fatah membantu Bapaknya di ladang. Semampunya. Tidak setiap hari. Kebiasaan di kota membuat otot-ototnya seperti agar-agar. Kulitnya tidak tahan terhadap gigitan matahari, sekalipun ia menggunakan caping. Paling parah, timbunan gengsi menumpuk di dalam dinding nadi.
Tiga hari, sebagaimana rencana semula, menjadi tujuh hari. Satu pekan kemudian menjadi dua minggu.
"Aku pamit ke kota," Fatah mencium punggung tangan dan pipi Ibunda, lalu memeluknya lama.
Bapaknya mendengus. Wajah kaku melihat ubun-ubun Fatah dengan seribu pikiran berkecamuk di kepala, ketika sang putra mencium tangannya.
Sekali lagi, pohon-pohon tepi jalan berkelebat. Mereka bahkan tidak mampu memberangkatkan hati Fatah yang tertinggal di kampung halaman. Kali ini aku harus berhasi. Aku akan berusaha lebih keras, batin Fatah berusaha menyingkirkan keraguan.
***
Indrawan menyergap Fatah dengan pertanyaan dan cerita, "Sudah tahu? Selama kamu pulang kampung, tempat kita digerebek polisi! Untung kamu tidak ada. Kalau enggak, bakal keangkut."
Belum sempat menyatukan potongan cerita, sahabatnya menjejali Fatah dengan berita, "Sudah lama polisi mengamati. Mereka berkesimpulan, Agung terlibat dalam peredaran barang terlarang. Tidak nyangka, diem-diem ternyata .... Jadi, saat ini tempat dikasih pita pembatas. Belum bisa digunakan untuk berkegiatan. Apes dah, ketiban pulung!"
Untuk kesekian kalinya, pikiran Fatah melayang-layang bagai layangan putus. Tiada benang agar tetap tenang meliuk-liuk di awan. Ia tak yakin, apakah ada anak-anak yang mengejarnya dan satu di antaranya menjadi pemilik baru dari layangan putus. Ketidakpastian menghantui.
Fatah termenung. Pikirannya terbang menuju kampung halaman, menampak wajah lembut Ibunda. Terbayang wajah keras dan badan kekar Bapak memacul penuh semangat di tanah ladang turun temurun.
"Terima kasih atas semua kebaikan. Aku pamit. Ada hal penting yang mesti aku lakukan."
Indrawan terheran-heran memandang punggung Fatah. Sahabatnya itu bahkan tak sempat menyeruput kopi dan mencicipi kue di meja ruang tamu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H