Sesekali Fatah membantu Bapaknya di ladang. Semampunya. Tidak setiap hari. Kebiasaan di kota membuat otot-ototnya seperti agar-agar. Kulitnya tidak tahan terhadap gigitan matahari, sekalipun ia menggunakan caping. Paling parah, timbunan gengsi menumpuk di dalam dinding nadi.
Tiga hari, sebagaimana rencana semula, menjadi tujuh hari. Satu pekan kemudian menjadi dua minggu.
"Aku pamit ke kota," Fatah mencium punggung tangan dan pipi Ibunda, lalu memeluknya lama.
Bapaknya mendengus. Wajah kaku melihat ubun-ubun Fatah dengan seribu pikiran berkecamuk di kepala, ketika sang putra mencium tangannya.
Sekali lagi, pohon-pohon tepi jalan berkelebat. Mereka bahkan tidak mampu memberangkatkan hati Fatah yang tertinggal di kampung halaman. Kali ini aku harus berhasi. Aku akan berusaha lebih keras, batin Fatah berusaha menyingkirkan keraguan.
***
Indrawan menyergap Fatah dengan pertanyaan dan cerita, "Sudah tahu? Selama kamu pulang kampung, tempat kita digerebek polisi! Untung kamu tidak ada. Kalau enggak, bakal keangkut."
Belum sempat menyatukan potongan cerita, sahabatnya menjejali Fatah dengan berita, "Sudah lama polisi mengamati. Mereka berkesimpulan, Agung terlibat dalam peredaran barang terlarang. Tidak nyangka, diem-diem ternyata .... Jadi, saat ini tempat dikasih pita pembatas. Belum bisa digunakan untuk berkegiatan. Apes dah, ketiban pulung!"
Untuk kesekian kalinya, pikiran Fatah melayang-layang bagai layangan putus. Tiada benang agar tetap tenang meliuk-liuk di awan. Ia tak yakin, apakah ada anak-anak yang mengejarnya dan satu di antaranya menjadi pemilik baru dari layangan putus. Ketidakpastian menghantui.
Fatah termenung. Pikirannya terbang menuju kampung halaman, menampak wajah lembut Ibunda. Terbayang wajah keras dan badan kekar Bapak memacul penuh semangat di tanah ladang turun temurun.
"Terima kasih atas semua kebaikan. Aku pamit. Ada hal penting yang mesti aku lakukan."