Pada satu siang, di mana pohon-pohon gagal melindungi tubuh lunglai dari sengatan matahari, setelah membariskan mobil di padang beton membara Vinny berlekas-lekas menuju satu tempat.
Membuka pintu kafe berkaca film gelap. Menikmati tiupan angin keluar dari kisi-kisi mesin penyejuk udara. Menuju konter. Memesan es krim dalam wadah kue wafel tipis kering bentuk kerucut . Â
Dari tas jinjing kulit buaya tersampir pada lengan sewarna pualam, Vinny menarik lembaran. Menyerahkan mereka ke pelayan di balik konter.
Tak butuh lama, pelayan menerimakan pesanan.
Perempuan itu sedang memegang kembalian di tangan kanan dan ice cream cone di genggaman kiri, ketika seseorang bersuara rendah dan maskulin menyapa dari balik puggungnya.
"Tas itu masih kamu pakai?"
Ia mengetahui suara itu. Suara yang dikenalnya. Tak mungkin melupakan si pemilik suara, yang menatap lekat pada tas jinjing kulit buaya di lengan Vinny.
Vinny menoleh. Mata indahnya membelalak. Dadanya berdebur. Riak-riak menggelombang berkejaran tanpa terhenti di ruang gelisah.
Di depannya, lelaki atletis dengan rahang keras wajah tegas menatap dengan mata rindu.
"Vinny, engkau baik-baik saja, bukan?"
Perasaan gadis itu kacau balau. Lelaki di hadapannya tampil dewasa. Tampan. Semakin tampan dibanding dulu.