Vinny. Perempuan manis yang centil. Matanya suka plirak-plirik. Bola mata memutar-mutar demi melihat lelaki tampan.
Bukannya tidak punya pendamping. Ada!
Vinny menjalin asmara membara dengan seorang pria. Api cinta suci bercampur nafsu, membuahkan dua momongan nan ganteng dan cantik seperti bapak ibunya.
Meskipun demikian pada banyak kesempatan, bintang berkelip di matanya mencahayai potongan menakjubkan dari pria yang mungkin ditemuinya, misalnya, di kafe.
Mulutnya akan menganga. Air liur ngeces. Dada bergedebum. Pikiran berkelana menyebabkan tangan dan kaki bergerak tidak harmonis.
Ketika ada pria dengan rahang keras wajah tegas menatap tajam, bisa-bisa kaki beradu dengan penyangga meja kendati berjalan anggun. Untungnya tidak tersandung lalu tersungkur.
Vinny doyan selingkuh? Tidak begitu.
Ia demikian mencintai pria yang telah memberinya momongan. Tak sekalipun terbesit di benak, menukar lelaki baik hati nan setia dengan petualang mana saja.
Bagaimanapun, perempuan manis yang centil itu adalah jenis istri setia. Tak hendak bermain api dengan lelaki lain selain dari suaminya.
Tidak ada di dalam kamus hidupnya. Sampai kapan pun. Vinny sangat setia. Cuma saja mata nakalnya kerap berkeliaran. Centil.
Vinny memang sangat setia. Sama setianya kepada tas jinjing terbuat dari kulit buaya, yang menjadi ciri khasnya sejak masih sendiri. Tas jinjing kulit buaya tidak pernah lepas dari lengannya.
Orang-orang menyebutnya dengan penamaan asing nan keren: bucket bag!
Tas ngetren untuk wanita. Bagian atas terbuka, menguncup kala tali yang melingkari ditarik. Dua tali lainnya digunakan untuk menjinjing tas.
Tas jinjing yang terbuat dari kulit buaya. Berharga mahal, sangat mahal, demikian mahal sekaligus tahan lama. Bisa digunakan hingga setengah abad berikutnya, terhitung sejak tanggal pembuatannya.
Selain itu, tas jinjing kulit buaya bagaikan kantong Doraemon.
Segala barang keperluan wanita bisa masuk: dompet, telepon pintar, dompet kecil isi uang receh, cermin kecil, notes dan pulpen, krim pelembut tangan, tas makeup, bedak wajah, lipstik, pembalut, dan... Apa lagi ya?
Boleh jadi Vinny setia dengan tas jinjing kulit buaya itu lantaran alasan-alasan tersebut. Pasal lainnya, yang sekiranya lebih tegas, tidak ada yang tahu.
"Aku belikan yang baru ya?" Satu ketika sang suami menawarkan.
"Tidak usah," sergah Vinny cepat. Mukanya ditekuk.
Setelah itu tidak pernah ada pembahasan tentang tas jinjing kulit buaya
.***
Pada satu siang, di mana pohon-pohon gagal melindungi tubuh lunglai dari sengatan matahari, setelah membariskan mobil di padang beton membara Vinny berlekas-lekas menuju satu tempat.
Membuka pintu kafe berkaca film gelap. Menikmati tiupan angin keluar dari kisi-kisi mesin penyejuk udara. Menuju konter. Memesan es krim dalam wadah kue wafel tipis kering bentuk kerucut . Â
Dari tas jinjing kulit buaya tersampir pada lengan sewarna pualam, Vinny menarik lembaran. Menyerahkan mereka ke pelayan di balik konter.
Tak butuh lama, pelayan menerimakan pesanan.
Perempuan itu sedang memegang kembalian di tangan kanan dan ice cream cone di genggaman kiri, ketika seseorang bersuara rendah dan maskulin menyapa dari balik puggungnya.
"Tas itu masih kamu pakai?"
Ia mengetahui suara itu. Suara yang dikenalnya. Tak mungkin melupakan si pemilik suara, yang menatap lekat pada tas jinjing kulit buaya di lengan Vinny.
Vinny menoleh. Mata indahnya membelalak. Dadanya berdebur. Riak-riak menggelombang berkejaran tanpa terhenti di ruang gelisah.
Di depannya, lelaki atletis dengan rahang keras wajah tegas menatap dengan mata rindu.
"Vinny, engkau baik-baik saja, bukan?"
Perasaan gadis itu kacau balau. Lelaki di hadapannya tampil dewasa. Tampan. Semakin tampan dibanding dulu.
Vinny menjawab dengan suara bak menggema di angkasa. Bergetar tak jelas.
Namun satu kesadaran membangunkan. Kepalanya mengingatkan: hei, ingat! Engkau wanita bahagia dengan suami gagah yang baik hati dan punya dua anak lucu-lucu.
"Maaf, aku harus segera pulang."
Menundukkan kepala tidak berani menatap mata lelaki itu, Vinny bergegas keluar. Melangkah cepat tanpa sedikit pun menoleh.
Tiba di mobil ia menyadari sesuatu. Satu tangan menggenggam kembalian. Tangan lainnya tidak memegang apa-apa.
Es krim! Es krim di mana? Ketinggalan? Pelayan lupa memberikan?
Dengan masygul Vinny kembali kafe, berharap es krim tertinggal di konter atau pelayan masih memegangnya.
Pelayan menggeleng. Dari balik konter peladen menerangkan bahwa es krim telah diserahkan.
Pandangan Vinny membentur mata seseorang. Lelaki atletis dengan rahang keras wajah tegas masih ada.
Mesam-mesem berkata, " Es krim kamu masukkan ke dalam tas. Tadi aku mau mengatakannya, tapi kamu keburu pergi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H