Getaran-getaran menumbuk ruang kosong. Setengah terpejam aku terbangun dengan kepala berdenyut-denyut.
Di atas meja sebuah layar berpendar-pendar. Aku segera bangkit meraihnya, sebelum panggilan menghilang.
Aku menjawab dengan suara serak, "halo...."
"Baru bangun tidur?"
"Enggak! Ngopi dan sedang menuliskan sesuatu," mataku menerawang meja kosong.
Sepupuku, anak laki-laki tertua dari kakak bapak, mengabarkan bahwa rumah Kranan yang sekian lama tidak terurus akhirnya terjual. Pembelinya berasal dari Surabaya.
"Setelah dikurangi biaya-biaya, hasil penjualan dibagikan kepada seluruh keturunan Kai. Tolong kirim nomor rekening kamu."
Pagi itu kamar yang tadinya pengap dan suram mendadak menjadi cerah. Aku menyingkap gorden. Memicingkan mata. Menerawang matahari berseri di langit, lalu berbisik, "terima kasih, Kai."
Aku melompat ke kasur yang busanya sudah gepeng sehingga kerasnya lantai terasa. Tersenyum dan menarik selimut.
)* Kai: bahasa Madura, panggilan untuk kakek.