Meminta pertolongan berupa kiriman uang dari langit adalah asa terakhir, dengan melambungkan gundah ke antariksa tatkala segala usaha telah kandas.
Pada pagi yang paling hitam. Ketika banyak kelopak mata pejam. Kehendak paling muram tumpah di malam paling kelam dan hening.
Melangitkan keinginan dan semua kesah kepada Pemilik Semesta. Tidak lupa menyampaikan doa berikut lantunan duka kepada ibu bapak, kakek nenek, dan Kai)* di alam damai nun jauh di atas sana.
Doa khusyuk dengan permintaan khusus kusampaikan kepada Kai. Melemparkan pikiran ke waktu yang amat lampau.
Aku ingat betul, rumah Kai adalah bangunan memanjang di tengah halaman luas tidak banyak hijauan. Ada beberapa pohon mangga dengan sedikit tanaman hias.
Rumah Kai berada di tepi jalan besar. Terletak di kampung Kranan takjauh dari Masjid Jami dan alun-alun Kabupaten Bangkalan.
Rata-rata hunian dengan ukuran lebih besar daripada bangunan umumnya, berdiri di atas persil luas.
Orang-orang menyebutnya sebagai kawasan Pangeranan. Permukiman yang dihuni oleh para bangsawan. Benar atau tidaknya, hingga kini aku tidak pernah memeriksanya.
Aku ingat, rumah Kai seperti ini: bangunan utama terdiri dari kamar paviliun, tiga kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dan ruang makan.
Dihubungkan dengan lorong beratap genting tanah liat dengan kiri kanannya tidak berdinding, bagian belakang adalah bangunan dapur. Di dalamnya terdapat dua tungku yang disekitarnya digantung peralatan memasak.