Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kiriman Uang dari Langit

25 Juli 2023   07:07 Diperbarui: 25 Juli 2023   07:57 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar uang jatuh dari langit kamar oleh kalhh dari Pixabay

Meminta pertolongan berupa kiriman uang dari langit adalah asa terakhir, dengan melambungkan gundah ke antariksa tatkala segala usaha telah kandas.

Pada pagi yang paling hitam. Ketika banyak kelopak mata pejam. Kehendak paling muram tumpah di malam paling kelam dan hening.

Melangitkan keinginan dan semua kesah kepada Pemilik Semesta. Tidak lupa menyampaikan doa berikut lantunan duka kepada ibu bapak, kakek nenek, dan Kai)* di alam damai nun jauh di atas sana.

Doa khusyuk dengan permintaan khusus kusampaikan kepada Kai. Melemparkan pikiran ke waktu yang amat lampau.

Aku ingat betul, rumah Kai adalah bangunan memanjang di tengah halaman luas tidak banyak hijauan. Ada beberapa pohon mangga dengan sedikit tanaman hias.

Rumah Kai berada di tepi jalan besar. Terletak di kampung Kranan takjauh dari Masjid Jami dan alun-alun Kabupaten Bangkalan.

Rata-rata hunian dengan ukuran lebih besar daripada bangunan umumnya, berdiri di atas persil luas.

Orang-orang menyebutnya sebagai kawasan Pangeranan. Permukiman yang dihuni oleh para bangsawan. Benar atau tidaknya, hingga kini aku tidak pernah memeriksanya.

Aku ingat, rumah Kai seperti ini: bangunan utama terdiri dari kamar paviliun, tiga kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dan ruang makan.

Dihubungkan dengan lorong beratap genting tanah liat dengan kiri kanannya tidak berdinding, bagian belakang adalah bangunan dapur. Di dalamnya terdapat dua tungku yang disekitarnya digantung peralatan memasak.

Sedangkan kayu bakar berada di bagian sisi luar. Tersimpan di rak khusus yang dirancang sedemikian rupa agar terlindung dari tampias hujan.

Di belakang bangunan dapur terdapat sumur serta tempat cuci piring dan pakaian. Dipakai sebagai tempat mandi juga. Meskipun tanpa penutup atap, ia dikelilingi dinding kayu dengan pintu yang dapat ditutup rapat.

Aku senang bermain di dapur. Sekalipun terbatuk-batuk menghirup asap, melihat proses memasak membuatku berselera. Setelahnya aku mengguyur tubuh berkeringat dengan air sumur.

Mengetahui itu, Kai akan memarahi, "Jangan mandi di belakang!".

Kai sangat perhatian kepadaku. Mengatur agar aku mendapatkan fasilitas terbaik. Ya itu tadi, misalnya tidak boleh berkotor-kotor di dapur atau capek-capek menimba air di sumur.

Segala kebutuhan pribadi, keperluan bersekolah, hingga jajan dipenuhi oleh Kai. Kendati tidak bermaksud memanjakan, apa pun yang aku butuhkan akan dipenuhinya.

Bahkan untuk bermain di luar pun tidak boleh sembarangan. Setiap kali ke dan dari sekolah atau keluar rumah bermain ke kampung sebelah, seorang anak laki-laki yang usianya lebih banyak dariku akan mengawal.

Mengawal dalam arti sesungguhnya. Ia, aku tidak pernah tahu siapa namanya, akan berjalan di belakang. Mengawasi dalam diam. Sesekali menjawab keingintahuan orang-orang.

"Nekah potonna Teh Arje," katanya. (Itu adalah cucunya Den Aryo).

Sontak orang-orang membungkukkan badan dengan khidmat.

Tidak semua keinginan dipenuhi oleh Kai. Namun umumnya bapak dari bapakku luluh terhadap permintaanku.

Kepada siapa lagi bisa meminta? Manakala bapak telah berangkat ke langit menyusul ibuku.

Itu tiga puluh tahun lalu. Sekarang tidak. Aku sudah mandiri, kendati berada dalam situasi kembang kempis.

Tak mungkin pula menjumpai Kai kecuali melambungkan doa berserta getaran rindu.

Doa kian deras dilangitkan tatkala masa-masa sulit menghantam tanpa jeda. Otak lelah memikirkan jalan keluar dari masalah bertumpuk-tumpuk.

Asa terakhir adalah melambungkan gundah ke antariksa, tatkala segala usaha telah kandas. Meminta pertolongan berupa kiriman uang dari langit.

"Aku yakin Kai telah berada di alam damai. Tolong kirim uang demi menutupi kesulitan."

Aku tahu banyak orang berkata sinis, mustahil makhluk langit bisa mengirimkan uang.

Aku tahu itu. Sebagian bisa jadi menganggapku sudah gila.

Namun tidak ada jalan lain. Pagi sepi merupakan saat paling afdal memanjatkan pinta, aku rasa.

Maka hari-hariku tiada pernah sepi dari permintaan tolong ke Kai di langit, terutama di malam-malam paling kelam dan hening.

***

Getaran-getaran menumbuk ruang kosong. Setengah terpejam aku terbangun dengan kepala berdenyut-denyut.

Di atas meja sebuah layar berpendar-pendar. Aku segera bangkit meraihnya, sebelum panggilan menghilang.

Aku menjawab dengan suara serak, "halo...."

"Baru bangun tidur?"

"Enggak! Ngopi dan sedang menuliskan sesuatu," mataku menerawang meja kosong.

Sepupuku, anak laki-laki tertua dari kakak bapak, mengabarkan bahwa rumah Kranan yang sekian lama tidak terurus akhirnya terjual. Pembelinya berasal dari Surabaya.

"Setelah dikurangi biaya-biaya, hasil penjualan dibagikan kepada seluruh keturunan Kai. Tolong kirim nomor rekening kamu."

Pagi itu kamar yang tadinya pengap dan suram mendadak menjadi cerah. Aku menyingkap gorden. Memicingkan mata. Menerawang matahari berseri di langit, lalu berbisik, "terima kasih, Kai."

Aku melompat ke kasur yang busanya sudah gepeng sehingga kerasnya lantai terasa. Tersenyum dan menarik selimut.

)* Kai: bahasa Madura, panggilan untuk kakek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun