Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sang Pemberontak - Otodidak nan Berotak

9 Februari 2023   12:17 Diperbarui: 9 Februari 2023   12:25 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala novel Buya, TKVdW dituduh plagiat oleh Abdullah SP dan Pramoedya Ananta Toer karena dituduh plagiat dari novel Sous Les Tilleuls karya Alphonse Karr. Fitnah plagiat tersebut membuat kesusastraan di Indonesia memecah dalam dua kubu. Kubu Buya yang berlandaskan keislaman berhadapan dengan kubu komunis yang dimotori oleh jurnalis dari Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. Dari ketiganya yang paling vokal menyerang Buya adalah Bintang Timur.

Rubrik Lentera yang terbit setiap hari minggu di harian Bintang Timur antara 1963-1965 menjadi ajang orang-orang berhaluan komunis untuk menyerang penulis, sastrawan, seniman atau siapa saja yang berseberangan dengan pandangan politik Nasakom pemerintahan Soekarno (hlm.820). 

Polemik fitnah plagiat novel Buya mereda kala beberapa sastrawan besar, yakni H.B Jassin, Anas Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, dan Soewardi Idris melakukan kajian dan penilaian selama tiga bulan terhadap novel Buya. Hasil kajian mereka menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah murni karya Buya dan tidak ada unsur plagiarisme dan pelanggaran hak cipta (hlm. 610).

Beragam jejak Buya dalam menggiatkan dunia literasi tergambar lengkap dalam novel. Buya dan pengurus Muhammadiyah Padangpanjang menerbitkan majalah Kemauan Zaman (hlm.289). Atas permintaan K.H Wahid Hasyim, Buya juga menginisiasi majalah Mimbar Agama Departemen Agama. Seusai majalah Panji Masyarakat dibredel Soekarno, Buya diminta untuk menerbitkan majalah Gema Islam, atas permintaan Jenderal Sudirman, dan Kolonel Muchlas Rowi (hlm.585).

Jiwa jurnalis Buya juga sangat elok diungkap dalam novel. Ia pernah menjadi koresponden di majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Usai menjadi koresponden, Buya juga pernah menjadi wartawan beberapa buah surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.

Puncak dari itu semua. Kesempatan Buya menyelesaikan tulisan tentang penjelasan ayat-ayat Al-Qur'an. Sebuah kitab tafsir lengkap 30 juz. Kitab tafsir tersebut diberi judul, Tafsir Al-Azhar. Selesainya kitab tersebut, membuat Buya sudah merasakan bahwa tugasnya di dunia akan segera berakhir. Tubuh rentanya mulai tergerogoti oleh beberapa penyakit (hlm.805). Ia siap dan ikhlas jika ajal menjemput.

Mengupas Buya dengan Tuntas

Membaca novel karya Haidar Musyafa ini membuat pengetahuan penulis terhadap sosok Buya semakin lengkap. Novel ini mampu mengupas lapis demi lapis kehidupan Buya. Berulang kali penulis tertegun, terkejut bahkan hampir menitik airmata saat membaca novel ini. Bagian yang menguras emosi adalah kala Buya sebatang kara dan terlunta-lunta sakit di Bengkulu (hlm. 117-126). Hampir ajal menjemputnya kala itu.

Kenikmatan dalam membaca novel ini juga dengan rangkaian peristiwa yang membentuk diri Buya. Masa kecil Buya dideskripsikan dengan benderang. Buya yang nakal, malas bersekolah hingga berjiwa pemberontak tersaji tuntas dalam novel. Penulis novel, Haidar Musyafa dengan sadar menampilkan sosok Buya seutuhnya dalam novel. Novel ini hendak menyampaikan pesan bahwa seorang ulama besar serta terpandang dibentuk dari rangkaian potong kehidupan yang berwarna-warni. Bukan aib, jika dahulu seorang Buya punya masa lalu yang kelam.

Buya yang nakal, malas bersekolah, seorang kutu buku, selalu haus pengetahuan, dan berjiwa pemberontak menyampaikan pesan bagi para pendidik atau orangtua. Berhati-hatilah dalam mendidik anak. Jangan sampai hanya karena nakal dan super aktif, para pendidik atau orang tua memasung kreatifitas dan kebebasan sang anak. Buya dahulu mengalami betapa keras orangtuanya memaksakan kehendak.

Sedari kecil Buya disuguhi pelajaran ilmu-ilmu agama di Sekolah Diniyah dan Madrasah Thawalib sekaligus. Hingga di malam hari, Buya masih harus ke surau untuk belajar membaca al-Qur'an. Jiwa kanak-kanaknya terampas. Dari situ hasrat memberontak timbul perlahan. "Aturan-aturan Ayahanda Haji Rasul yang sangat ketat itu membuatku tak bisa mengekspresikan diri secara maksimal... Meski ilmu-ilmu yang diajarkan itu sangat penting untuk masa depanku, tapi gaya penyampaiannya yang keras dan terkesan kaku membuat jiwa kanak-kanakku merasa bosan. Sehingga aku pun malas untuk belajar" (hlm. 25).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun