Buya yang penulis kenal adalah seorang novelis awalnya. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVdW) salah satu novel yang pernah penulis baca. Kepopuleran novel TKVdW melintasi zaman. Hingga diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film TKVdW dirilis pada 19 Desember 2013. Sedari usia dini, Buya gemar membaca.Â
Keasyikannya membaca membuat paradigma berpikir Buya melampui usianya yang masih belia. Tenggelam dalam samudera beragam buku sungguh memuaskan dahaga pengetahuannya. Kegilaan membaca Buya bermula dari kebosanannya mengikuti pelajaran di Madrasah Thawalib dan Diniyah. Ia lebih senang mencari ilmu dengan caranya sendiri (hlm.38).
Kegilaan Buya terhadap membaca tersaji rinci dalam novel ini (hlm.39-45). Segala kecerdikan ia lakukan agar dapat membawa koleksi buku bibliothek milik Bagindo Sinaro dan Syaikh Zainuddin Labay El-Yunusy untuk dibaca tuntas di rumah. Kecintaannya pada dunia sastra menjadi nilai tambah bagi Buya. Melalui beragam bacaan sastra, Buya mengasah intuisi dan empati. Berkat kegemaran membaca sejak belia membuat penguasaan kosa kata serta paradigma berpikirnya di atas rata-rata anak-anak seusianya.
Buya menjelma menjadi sosok yang percaya diri. Ia berani mendebat sang ayah sejak belia. Ayahanda Haji Rasul bahkan sampai kehabisan kata kala berdebat dengan Buya. "Bicara sama kamu memang sulit. Kamu sudah benar-benar menjadi anak bandel." (hlm.55). Keluasannya dalam menyelami beragam bacaan membuat Buya berani bergaul dengan siapa saja. Melalui beragam topik buku yang ia baca membuatnya tak takut belajar apa saja.
Buya menyelami bacaan karya ilmuwan timur dan barat. Ia berargumen bahwa tidak ada yang perlu dicurigai berlebihan, karena timur dan barat adalah ciptaan Allah. Buya membaca karya keagamaan, pergerakan, sosiologi, sejarah, filsafat, sastra, dan ilmu politik.
Ia membaca dan menelaah kitab penting karya ulama Timur Tengah seperti Syaikh Zaki Mubarak, Syaikh Jurji Zaidan, Syaikh Abbas al-Aqqad, Syaikh Mustafa Al-Manfaluti, dan Syaikh Muhammad Husain Haekal.
Dari khazanah kebudayaan barat, ia membaca dan menelaah karya Albert Camus, William James, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Sigmund Freud, Pierre Loti, dan Karl Marx. (hlm. 284-285). Berkat beragam tema buku yang tuntas dibaca serta ditelaah membuat Buya semakin produktif dalam menulis. Berawal dari gemar membaca, terampil menguasai ragam kosa kata, memahami berbagai paradigma berpikir hingga memuncak ia mulai menekuni dunia kepenulisan.
Menulis atau Mati
Perjumpaan Buya dengan para tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang piawai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, menggelorakan bara literasi dalam diri Buya. Ia tegas mengutarakan keinginannya untuk belajar menulis kepada Tjokroaminoto.
"Hanya saja, aku merasa tidak memiliki kemampuan untuk menulis, Angku Guru. Apakah hanya dengan belajar saja aku akan bisa menulis, jika aku merasa tidak ada bakat untuk itu?" (hlm.205).
Pucuk dicinta ulam pun tiba. HOS. Tjokroaminoto mengizinkan Buya untuk pergi bersama perwakilan Sarekat Islam dan Muhammadiyah ke Bandung untuk memperdalam agama dan dunia kepenulisan pada Mohammad Natsir dan Ahmad Hasan. Berjibaku Buya untuk belajar menulis. Â Motivasi dari Natsir dan Hasan selalu menjadi pelecut semangat untuk terus mencoba. Pada tulisan Buya yang kesepuluh, tulisannya dimuat di majalah Pembela Islam (hlm.209). Kegigihan Buya dalam menulis sungguh berurai darah dan airmata.