Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sang Pemberontak - Otodidak nan Berotak

9 Februari 2023   12:17 Diperbarui: 9 Februari 2023   12:25 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul: HAMKA, Sebuah Novel Biografi

Penulis: Haidar Musyafa

Penerbit: Imania

Cetakan: Pertama, April 2018

Tebal: 837 Halaman

ISBN: 9786027926394

Harga: 160.000,-

Disakiti tanpa tahu sebab sungguh menghunjam sanubari. Apalagi jika alasan seseorang yang menyakiti tersebut tidak diketahui hingga maut menjemput. Dalam kehidupan tidak hanya hitam dan putih.

Terkadang ada sisi abu-abu. Sebuah sisi yang tak terbuka dan terkadang sungguh gelap pekat tak teridentifikasi. Sebuah tindakan menyakiti yang tak terperi tergambar dalam buku, Buya Hamka: Sebuah Novel Biografi karya Haidar Musyafa.

Sosok Soekarno yang pernah Buya Hamka kagumi karena kegigihannya berjuang merintis dan memproklamasikan kemerdekaan. Justru kelak tega menyakiti Buya. Mereka pernah cukup saling mengapresiasi jalan perjuangan masing-masing. Soekarno memuji kiprah Buya di bidang dakwah.

Sedangkan, Buya mengagumi Soekarno yang sejak usia muda sudah menentang kolonialisme. Hingga kala Soekarno sudah menjadi presiden. Beliau mengundang Buya untuk berdakwah di ibukota negara. Kisah manis keduanya, kelak berujung tragis. Kelak rakyat Indonesia menjadi saksi Buya justru dijebloskan dalam penjara.

Pernah Sejalan, Terpecah Kemudian

Dari tahun 1964-1966. Dua tahun lebih empat bulan lamanya, Buya dipenjara atas perintah Presiden Soekarno. Hanya karena berbeda pandangan politik dan tidak sepakat dengan Demokrasi Terpimpin, Buya difitnah hingga hidup dalam jeruji besi.

"Dia tega melemparkan fitnah kepadaku. Padahal, aku ini adalah temannya yang menurut pengakuannya sendiri sudah dianggap sebagai adiknya" (hlm.821).

Perang dingin antara Soekarno dan Buya mulai terpicu sejak Soekarno membubarkan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan mulai menerapkan gagasan Nasakom di Indonesia. Bagi Buya penerapan paham komunisme tidak sejalan dengan penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.

Sebagai salah satu anggota Dewan Konstituante, Buya berada dalam garis terdepan untuk menyuarakan terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia. Berbeda paham ideologi yang dianut antara Soekarno dan Buya sudah saling bertolak belakang. Sulit terdamaikan.

Dalam novel ini dideskripsikan dengan rinci bahwa relasi antara Soekarno dan Buya pernah sangat harmonis. Novel ini mengisahkan perjumpaan awal keduanya di Bengkulu. Keduanya sepakat berkomitmen pada cita-cita kemerdekaan bangsa. Kalimat penyemangat Buya kepada Soekarno di hadapan Haji Abdul Karim Oei, "Sudah menjadi tugas kita untuk berjuang dan membangun negeri ini dengan seluruh tenaga, pikiran, dan waktu yang kita miliki Tuan Soekarno" (hlm. 392). Pertemuan kala itu sungguh membekas dalam ingatan keduanya. Terlebih untuk Buya yang terinspirasi banyak dari Soekarno yang jauh lebih muda.

Kisah Buya dengan Soekarno cukup mendapat ruang besar dalam novel. Selain kisah bagaimana awal mula pertemuan keduanya. Terdapat pula kisah kedekatan, hingga memuncak pada perseteruan keduanya. Soekarno memenjarakan Hamka dengan tuduhan makar. 

Pada wafatnya Soekarno, Presiden Soeharto meminta secara khusus kesediaan Buya mengimami shalat jenazah Soekarno. Berkat kecintaan yang tulus terhadap Soekarno, Buya bersedia mengimami shalat jenazah Soekarno. Sudah tak lagi diingat oleh Buya, bagaimana dia dahulu dinistakan dalam penjara oleh Soekarno.

Sebagai sesama Muslim sudah kewajibanku untuk menyempurnakan jenazah beliau dengan cara sebaik-baiknya termasuk menshalatkan jenazahnya sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam (hlm. 823-824). Pancaran ketulusan hati dari Buya mengikis ego dan dendam kesumat terhadap Soekarno. Kelak sejarah dengan tinta emas mencatat bahwa keduanya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dalam waktu berdekatan. Buya pada tahun 2011.  Soekarno tahun 2012.

Pendekar Literasi

Buya yang penulis kenal adalah seorang novelis awalnya. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVdW) salah satu novel yang pernah penulis baca. Kepopuleran novel TKVdW melintasi zaman. Hingga diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Film TKVdW dirilis pada 19 Desember 2013. Sedari usia dini, Buya gemar membaca. 

Keasyikannya membaca membuat paradigma berpikir Buya melampui usianya yang masih belia. Tenggelam dalam samudera beragam buku sungguh memuaskan dahaga pengetahuannya. Kegilaan membaca Buya bermula dari kebosanannya mengikuti pelajaran di Madrasah Thawalib dan Diniyah. Ia lebih senang mencari ilmu dengan caranya sendiri (hlm.38).

Kegilaan Buya terhadap membaca tersaji rinci dalam novel ini (hlm.39-45). Segala kecerdikan ia lakukan agar dapat membawa koleksi buku bibliothek milik Bagindo Sinaro dan Syaikh Zainuddin Labay El-Yunusy untuk dibaca tuntas di rumah. Kecintaannya pada dunia sastra menjadi nilai tambah bagi Buya. Melalui beragam bacaan sastra, Buya mengasah intuisi dan empati. Berkat kegemaran membaca sejak belia membuat penguasaan kosa kata serta paradigma berpikirnya di atas rata-rata anak-anak seusianya.

Buya menjelma menjadi sosok yang percaya diri. Ia berani mendebat sang ayah sejak belia. Ayahanda Haji Rasul bahkan sampai kehabisan kata kala berdebat dengan Buya. "Bicara sama kamu memang sulit. Kamu sudah benar-benar menjadi anak bandel." (hlm.55). Keluasannya dalam menyelami beragam bacaan membuat Buya berani bergaul dengan siapa saja. Melalui beragam topik buku yang ia baca membuatnya tak takut belajar apa saja.

Buya menyelami bacaan karya ilmuwan timur dan barat. Ia berargumen bahwa tidak ada yang perlu dicurigai berlebihan, karena timur dan barat adalah ciptaan Allah. Buya membaca karya keagamaan, pergerakan, sosiologi, sejarah, filsafat, sastra, dan ilmu politik.

Ia membaca dan menelaah kitab penting karya ulama Timur Tengah seperti Syaikh Zaki Mubarak, Syaikh Jurji Zaidan, Syaikh Abbas al-Aqqad, Syaikh Mustafa Al-Manfaluti, dan Syaikh Muhammad Husain Haekal.

Dari khazanah kebudayaan barat, ia membaca dan menelaah karya Albert Camus, William James, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Sigmund Freud, Pierre Loti, dan Karl Marx. (hlm. 284-285). Berkat beragam tema buku yang tuntas dibaca serta ditelaah membuat Buya semakin produktif dalam menulis. Berawal dari gemar membaca, terampil menguasai ragam kosa kata, memahami berbagai paradigma berpikir hingga memuncak ia mulai menekuni dunia kepenulisan.

Menulis atau Mati

Perjumpaan Buya dengan para tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang piawai menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, menggelorakan bara literasi dalam diri Buya. Ia tegas mengutarakan keinginannya untuk belajar menulis kepada Tjokroaminoto.

"Hanya saja, aku merasa tidak memiliki kemampuan untuk menulis, Angku Guru. Apakah hanya dengan belajar saja aku akan bisa menulis, jika aku merasa tidak ada bakat untuk itu?" (hlm.205).

Pucuk dicinta ulam pun tiba. HOS. Tjokroaminoto mengizinkan Buya untuk pergi bersama perwakilan Sarekat Islam dan Muhammadiyah ke Bandung untuk memperdalam agama dan dunia kepenulisan pada Mohammad Natsir dan Ahmad Hasan. Berjibaku Buya untuk belajar menulis.  Motivasi dari Natsir dan Hasan selalu menjadi pelecut semangat untuk terus mencoba. Pada tulisan Buya yang kesepuluh, tulisannya dimuat di majalah Pembela Islam (hlm.209). Kegigihan Buya dalam menulis sungguh berurai darah dan airmata.

Kala novel Buya, TKVdW dituduh plagiat oleh Abdullah SP dan Pramoedya Ananta Toer karena dituduh plagiat dari novel Sous Les Tilleuls karya Alphonse Karr. Fitnah plagiat tersebut membuat kesusastraan di Indonesia memecah dalam dua kubu. Kubu Buya yang berlandaskan keislaman berhadapan dengan kubu komunis yang dimotori oleh jurnalis dari Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. Dari ketiganya yang paling vokal menyerang Buya adalah Bintang Timur.

Rubrik Lentera yang terbit setiap hari minggu di harian Bintang Timur antara 1963-1965 menjadi ajang orang-orang berhaluan komunis untuk menyerang penulis, sastrawan, seniman atau siapa saja yang berseberangan dengan pandangan politik Nasakom pemerintahan Soekarno (hlm.820). 

Polemik fitnah plagiat novel Buya mereda kala beberapa sastrawan besar, yakni H.B Jassin, Anas Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, dan Soewardi Idris melakukan kajian dan penilaian selama tiga bulan terhadap novel Buya. Hasil kajian mereka menyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah murni karya Buya dan tidak ada unsur plagiarisme dan pelanggaran hak cipta (hlm. 610).

Beragam jejak Buya dalam menggiatkan dunia literasi tergambar lengkap dalam novel. Buya dan pengurus Muhammadiyah Padangpanjang menerbitkan majalah Kemauan Zaman (hlm.289). Atas permintaan K.H Wahid Hasyim, Buya juga menginisiasi majalah Mimbar Agama Departemen Agama. Seusai majalah Panji Masyarakat dibredel Soekarno, Buya diminta untuk menerbitkan majalah Gema Islam, atas permintaan Jenderal Sudirman, dan Kolonel Muchlas Rowi (hlm.585).

Jiwa jurnalis Buya juga sangat elok diungkap dalam novel. Ia pernah menjadi koresponden di majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Usai menjadi koresponden, Buya juga pernah menjadi wartawan beberapa buah surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah.

Puncak dari itu semua. Kesempatan Buya menyelesaikan tulisan tentang penjelasan ayat-ayat Al-Qur'an. Sebuah kitab tafsir lengkap 30 juz. Kitab tafsir tersebut diberi judul, Tafsir Al-Azhar. Selesainya kitab tersebut, membuat Buya sudah merasakan bahwa tugasnya di dunia akan segera berakhir. Tubuh rentanya mulai tergerogoti oleh beberapa penyakit (hlm.805). Ia siap dan ikhlas jika ajal menjemput.

Mengupas Buya dengan Tuntas

Membaca novel karya Haidar Musyafa ini membuat pengetahuan penulis terhadap sosok Buya semakin lengkap. Novel ini mampu mengupas lapis demi lapis kehidupan Buya. Berulang kali penulis tertegun, terkejut bahkan hampir menitik airmata saat membaca novel ini. Bagian yang menguras emosi adalah kala Buya sebatang kara dan terlunta-lunta sakit di Bengkulu (hlm. 117-126). Hampir ajal menjemputnya kala itu.

Kenikmatan dalam membaca novel ini juga dengan rangkaian peristiwa yang membentuk diri Buya. Masa kecil Buya dideskripsikan dengan benderang. Buya yang nakal, malas bersekolah hingga berjiwa pemberontak tersaji tuntas dalam novel. Penulis novel, Haidar Musyafa dengan sadar menampilkan sosok Buya seutuhnya dalam novel. Novel ini hendak menyampaikan pesan bahwa seorang ulama besar serta terpandang dibentuk dari rangkaian potong kehidupan yang berwarna-warni. Bukan aib, jika dahulu seorang Buya punya masa lalu yang kelam.

Buya yang nakal, malas bersekolah, seorang kutu buku, selalu haus pengetahuan, dan berjiwa pemberontak menyampaikan pesan bagi para pendidik atau orangtua. Berhati-hatilah dalam mendidik anak. Jangan sampai hanya karena nakal dan super aktif, para pendidik atau orang tua memasung kreatifitas dan kebebasan sang anak. Buya dahulu mengalami betapa keras orangtuanya memaksakan kehendak.

Sedari kecil Buya disuguhi pelajaran ilmu-ilmu agama di Sekolah Diniyah dan Madrasah Thawalib sekaligus. Hingga di malam hari, Buya masih harus ke surau untuk belajar membaca al-Qur'an. Jiwa kanak-kanaknya terampas. Dari situ hasrat memberontak timbul perlahan. "Aturan-aturan Ayahanda Haji Rasul yang sangat ketat itu membuatku tak bisa mengekspresikan diri secara maksimal... Meski ilmu-ilmu yang diajarkan itu sangat penting untuk masa depanku, tapi gaya penyampaiannya yang keras dan terkesan kaku membuat jiwa kanak-kanakku merasa bosan. Sehingga aku pun malas untuk belajar" (hlm. 25).

Kisah Buya dalam novel ini hendak menyadarkan semua pembaca bahwa tiap anak memiliki keunikan dalam belajar, bersosialisasi atau menjalani kehidupan. Jangan antipasti terhadap anak-anak yang dianggap nakal. Hindari terburu-buru memvonis anak tersebut tidak akan sukses di masa depan. Buya mengalami semua proses. Jatuh bangun dalam kehidupan membentuk Buya hingga menjadi ulama dan penulis besar bangsa Indonesia.

Kepribadian Buya terbentuk melalui beragam buku yang dibaca, beragam tempat yang dikunjungi, dan perjumpaan dengan beragam tokoh dalam serta luar negeri. Gagasan dan kiprahnya di bidang pergerakan dan pembaharuan Islam diakui hingga ke luar negeri. Buya pun dipromosikan untuk mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir (hlm. 541). Tak berhenti di situ.  Buya  mendapat pengukuhan sebagai guru besar dari Universitas Moestopo Beragama, Jakarta.

Penutup

Novel Buya Hamka karya Haidar Musyafa ini memberi perspektif yang sedikit berbeda dalam memahami kehidupan Buya. Penulis novel merunut kisah penting dalam hidup Buya. Haidar sebagai penulis novel meriset kehidupan Buya dari sekitar 12 buku. 

Namun ia mengakui bahwa novel ini bukan merupakan hasil dari riset sejarah murni. Sedikit kekurangan novel ini adalah berjejalnya banyak data-data sejarah, yang dampaknya di bagian tertentu mengurangi nilai estetis sebuah novel. 

Pilihan penulis novel menyajikan dalam ragam bahasa populer memang sesuai target pembacanya, yakni generasi muda. Selain itu, patut dipertimbangkan dalam cetakan edisi berikutnya dapat pula disediakan sekitar 5-10 halaman yang memuat foto-foto penting dalam kehidupan Buya.

Runtutan peristiwa penting dalam hidup Buya dalam novel akan memberikan informasi ragam kiprah kehidupannya sehingga para pembaca dari semua kalangan usia dapat mengetahui secara lengkap jejak Buya, yang bernama lengkap, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah sebagai jurnalis, budayawan, sastrawan, politisi, pendidik, dan ulama besar baik sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Berikan pada anak kebebasan berpikir 

dan tuntunlah dia di dalam kebebasan. 

Jangan dipaksakan, anak-anak menerima pelajaran 

yang tidak sesuai dengan bakatnya, 

baik oleh gurunya, atau oleh ayah bundanya, 

atau oleh yang berkuasa. Supaya dia tidak 

seperti kayu yang layu pucuk, 

karena tengah hari tepat disiram juga.

(Buya Hamka)

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun