Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ran (Arwah Penasaran)

16 September 2019   21:10 Diperbarui: 16 September 2019   21:44 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay.com ; design by me (story art)

Cerita sebelumnya

Boneka kayu setinggi kurang lebih empat puluh sentimeter itu seperti hidup dan memancarkan aura kasih sayang. Karena arwah Ran masih tinggal di dalam boneka itu. Bertahun-tahun boneka gadis Jepang berkimono itu menemani Mbah Kakung hingga akhir hayatnya. Berbagai cerita dan kejadian mistis selalu menyertai perjalanan hidup Mbah Kakung dengan bonekanya, meskipun sudah berkeluarga dan mempunyai anak cucu.

Semasa hidup Mbah Kakung boneka gadis Jepang berkimono itu tersimpan rapi di dalam kotak kaca di atas meja rumah Mbah Kakung. Kotak kaca itu selalu dibersihkan oleh Mbah Kakung sehingga boneka itu tampak selalu tersenyum pada siapa pun yang melihatnya.

Sering Mbah Kakung meletakkan boneka itu di meja teras rumah dan duduk santai di sana seolah-olah sedang bercakap-cakap dengannya.  Dan tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah pada saat itu kadang-kadang melihat sosok seorang gadis Jepang, Ran, sedang duduk di teras berhadapan satu meja dengan Mbah Kakung.

Tetapi sepeninggal Mbah Kakung boneka itu terlantar keberadaannya. Karena keluarga yang ditinggalkan tidak bisa merawatnya dengan baik. Arwah Ran yang tinggal di dalam boneka itu selalu memunculkan hal-hal mistis di rumah keluarga Mbah Kakung. Boneka itu sering berpindah tempat sendiri seolah mengingatkan pada anggota keluarga Mbah Kakung untuk memperhatikan dan merawatnya seperti keluarga sendiri. Kalau sudah begitu, aku buru-buru mengembalikan boneka itu ke tempat semula. Sambil kubersihkan dan sedikit berbisik padanya, "kami semua menyayangimu."

Terpancar aura kesedihan dari boneka itu dan arwah Ran sering terlihat menangis di dalam kamar Mbah Kakung. Tetapi anak cucu Mbah Kakung yang lain tetap tidak mau mempedulikannya. Ran semakin sedih dan merasa terpenjara di sana. Dia mencoba mengikutiku dan ingin dirawat olehku karena selama ini hanya aku yang mau memperhatikannya.

"Rawat aku ... dan bawa aku ke mana pun engkau pergi." Suara itu sering terdengar di telingaku diikuti desah nafas berat di belakang kepala. Tetapi  aku tidak tahu bagaimana cara merawat boneka itu seperti yang telah dilakukan oleh Mbah Kakung dulu.

Ketika keluarga anak cucu Mbah Kakung memutuskan untuk pindah ke kota lain boneka itu pun aku bawa. Tetapi tetap saja Ran merasa tidak nyaman dan masih sering membuat kegaduhan di tempat barunya. Paman, anak ragil Mbah Kakung, menyarankan untuk memasukkan boneka itu ke dalam almari kayu yang tertutup pintunya. Sehingga tidak ada lagi yang dapat melihat boneka itu dan senyumannya. Ran merasa terpenjara sehingga terpancar aura kebencian dari boneka itu.

Suatu malam Ran memberontak sehingga boneka itu menimbulkan suara gaduh di dalam almari. Pintu almari terbuka sendiri dengan keras diikuti dengan suara kaca pecah. Boneka itu meloncat keluar sendiri dan kotak kacanya pecah berkeping-keping.  Paman terkejut mendengar kegaduhan itu.

"Pasti boneka itu membuat ulah lagi. Kini ayahku telah tiada. Sebaiknya aku buang saja boneka peninggalannya itu," katanya dalam hati. Dia menuju ke almari dan berniat untuk mengambil bonekanya. Tetapi boneka itu  tidak ada lagi di tempatnya.

"Ke mana boneka itu? Apakah dia bisa menghilang?" Paman berusaha mencarinya tetapi tetap tidak bisa menemukannya. Dia hanya melihat pecahan kaca yang berserakan menuju kolong sempit di bawah kursi tamu.

"Mungkin boneka itu ada di bawah sana," kata paman sambil menjulurkan tangannya ke kolong tersebut.

"Benar dugaanku. Dia ada di sini. Tapi kenapa boneka ini bisa masuk ke kolong sempit seperti ini?"

Paman berhasil meraih dan menggenggam kepala boneka itu dan segera menariknya keluar. Tetapi boneka itu hanya bisa ditarik keluar sebatas kepalanya saja. Terjadi tarik menarik di antara keduanya. Tiba-tiba Paman berteriak kesakitan dan melepaskan genggaman tangannya.

"Akh ... sialan! Boneka itu menggigitku!" katanya sambil memperhatikan luka di tangannya.

Sesaat kemudian paman melihat boneka gadis Jepang itu melayang keluar sendiri dari kolong kursi dan berdiri di lantai beberapa meter di depannya. Ekspresi wajah boneka itu menampakkan aura kemarahan. Wajahnya berubah menjadi bengis dengan mata sedikit melotot dan mulutnya terbuka. Angin dingin pun berhembus dari arah belakang boneka itu menerpa wajah dan tubuh paman. Seketika merinding sekujur tubuh pamanku. Dan tiba-tiba saja boneka itu meloncat mengejarnya. Paman benar-benar terkejut dan berusaha menghindari kejaran boneka gadis Jepang itu. Aku yang sejak tadi mendengar keributan itu segera menuju ke ruang tamu dan terkejut melihat paman sedang dikejar-kejar boneka gadis Jepang. Paman berlari ke arah pintu.

"Ada apa, Paman?"

"Tolong aku! Boneka itu ... dia tadi menggigit dan mengejarku!" teriak paman sambil terus berlari keluar rumah.

"Apa yang terjadi dengan Paman? Dan boneka itu ... kenapa melayang-layang sendiri dan mengejar Paman?" tanyaku setengah berbisik.

"Pamanmu ... hendak membuangku. Itu tidak boleh ... tidak boleh ...!" Terdengar suara pelan tapi berat dari boneka itu. Muncul bayangan Ran memegang boneka itu dari belakang. Dia tampak marah sekali.

"Aku akan mengejarnya!" kata Ran sambil tertawa melengking seram sekali. Boneka itu kembali melayang di udara bersiap mengejar paman.

"Jangan! Demi Mbah Kakung ... dia anak Mbah Kakung!" teriakku mencoba menghalangi boneka itu. Boneka itu melayang di udara dan berhenti tepat di depan wajahku. Ekspresi mukanya menyeramkan menandakan kemarahannya.

"Aku akan balas ... aku akan balas ...!" kata Ran diiringi tawa panjang melengking menusuk telinga. Tiba-tiba terdengar suara benda bertabrakan di luar rumah. Aku menoleh keluar.

"Ya, Tuhan! Paman tertabrak motor!" teriakku.

Sesaat kemudian boneka gadis Jepang itu jatuh ke lantai di depan kakiku. Tawa panjang melengking semakin lama semakin menghilang. Aku segera keluar rumah untuk menolong paman yang tergeletak di jalan beraspal. Terlihat darah mengalir dari kedua lubang hidungnya. Bersama salah seorang tetangga Aku segera membawa paman ke rumah sakit. Paman menderita gegar otak dan cidera patah tulang kaki.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya salah seorang tetangga yang ikut menolong paman. Aku kemudian menceritakan kejadian itu.

"Sepertinya boneka itu menyimpan suatu misteri. Mbah Kakungmu tidak pernah bercerita tentang asal mula boneka itu?" tanya tetanggaku.

"Beliau cuma bercerita kalau boneka itu pemberian seorang gadis Jepang, kekasih Mbah Kakung semasa muda saat jaman penjajahan Jepang dulu," jawabku.

"Aku penasaran dengan boneka itu. Boleh aku melihatnya? Mungkin aku bisa sedikit membantu agar tidak jatuh korban selanjutnya," kata tetanggaku.

Aku mengajak tetanggaku ke rumah. Kami mendapati boneka itu sudah berdiri lagi di dalam almari kaca di ruang tamu. Boneka itu seperti menyambut kedatanganku dan tersenyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tetanggaku mengambil boneka gadis Jepang itu dan memperhatikannya.

"Sepertinya dia hanya mau denganmu," katanya sambil menyerahkan boneka itu padaku. Aku memegang boneka itu dengan kedua tangan.

"Aku tidak bisa merawatmu seperti Mbah Kakung ..." kataku. Tiba-tiba boneka itu menjadi bertambah berat.

"Kembalikan aku ..." Terdengar suara mendesis di telingaku.

Akhirnya Aku berhasil menyingkap tabir kesedihan dan kisah cinta romantis Ran dengan Mbah Kakung dulu. Arwah Ran meminta bonekanya dikembalikan ke tempat dahulu ketika dia sering bertemu dengan Mbah Kakung. Di bawah pohon besar di sebuah padang ilalang di kota kelahiran Mbah Kakung dulu. Itu semua sebagai simbol bahwa Ran juga mencintai Mbah Kakung. Dia ingin terbebas dan akan menemui Mbah Kakung untuk menyelesaikan urusannya.

Beberapa hari kemudian Aku pulang kembali ke kota kelahiran Mbah Kakungku dengan membawa boneka gadis Jepang itu. Tetapi Aku kebingungan ke mana harus mencari tempat itu.

"Kejadian itu sudah berpuluh tahun yang lalu. Masih adakah pohon besar di padang ilalang itu di kota kelahiran Mbah Kakung ini?" tanyaku dalam hati.

Tetapi seperti ada yang menuntun langkahku, Aku berjalan pulang kembali ke rumah Mbah Kakung dahulu. Tetapi rumah itu sudah tidak  berpenghuni. Sepertinya sudah bertahun-tahun ditinggalkan oleh pemiliknya. Dengan membawa kotak kayu berisi boneka di dalam tas ransel, tanpa sadar Aku telah berjalan sendiri menuju gudang di belakang rumah. Sebuah bangunan tua dari kayu yang sudah tidak terawat lagi. Banyak terdapat tumbuhan ilalang di sekitarnya dan sebuah sumur tua di samping gudang yang sudah tidak dipakai lagi. Warna cat pada bangunan itupun sudah memudar bahkan banyak yang sudah mengelupas.

"Untuk apa aku menuju gudang tua ini?" kataku dalam hati.

Ketika Aku tiba di depan pintu gudang tiba-tiba hembusan angin dingin menerpa belakang tubuhku. Dan tanpa sadar tanganku bergerak sendiri mendorong pintu gudang yang memang tidak pernah terkunci. Gudang itu benar-benar sudah tidak terawat seperti halnya bangunan rumah utama. Debu tebal dan banyak terdapat sarang laba-laba. Cahaya matahari masuk melalui sebuah genting kaca kecil yang sudah buram.

"Sepeda itu ...." Terdengar bisikan suara lembut tapi berat di telingaku. Berulang kali bisikan itu terdengar dan Aku tak kuasa menahan kakiku yang tiba-tiba melangkah masuk ke dalam gudang dan mengambil sepeda onthel tua milik Mbah Kakung dulu.

"Aku ... aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah arwah Ran yang melakukan semua ini?" tanyaku dalam hati. Aku mulai merasakan merinding di sekujur tubuhku.

"Bawa aku ke tempat itu." Kembali terdengar suara itu berbisik di telingaku.

"Aku ... aku tidak tahu tempatnya," kataku. Tetapi Aku seperti tersugesti kembali dan segera menaiki sepeda tua Mbah Kakung.

"Ke mana lagi aku akan mencari tempat itu? Tetapi kakiku sepertinya ingin mengayuh sendiri sepeda ini." Tiba-tiba Aku merasakan sesuatu menduduki belakang sepeda tua itu dan kakiku terasa agak berat untuk mengayuh.

"Aku akan menuntunmu," bisik suara itu lagi. Dan Aku merasakan ada sesuatu yang memegang pinggangku. Arwah Ran ikut membonceng di belakang sepeda onthel tua Mbah Kakung. Sepanjang perjalanan banyak pasang mata memperhatikan Aku dengan sepeda tua Mbah Kakung dan seorang gadis Jepang berkimono yang duduk di belakangku.

Matahari telah condong ke barat ketika Aku tiba di sebuah tempat seperti yang diinginkan oleh Ran. Tetapi keadaan di sana sudah berubah. Padang ilalang itu hanya terlihat seperti sebuah pekarangan saja karena sudah banyak didirikan rumah-rumah penduduk. Dan pohon tua itu tinggal pangkal batangnya saja yang masih tersisa.

"Di mana aku harus mengubur boneka ini?" tanyaku dalam hati.

Langit merah telah menampakkan warnanya di ufuk barat. Semilir angin pun berhembus pelan. Daun-daun berjatuhan dan udara dingin menyelimuti tempat di sekitar pangkal batang pohon tua besar itu.

Tiba-tiba suasana berubah. Keadaan sekelilingku terasa berputar cepat. Dan waktu seolah-olah bergerak mundur beberapa puluh tahun yang lalu. Aku terkejut ketika mendapati diriku sudah berada di bawah pohon besar dan rindang di tepi sebuah padang ilalang yang sangat luas.

"Kubur boneka itu di situ ...."

Terdengar suara berbisik di telingaku. Aku menurunkan tas ranselku dan mengambil sebuah pacul kecil yang Aku bawa dari gudang tua tadi. Aku segera menggali tanah dan menyelesaikan pekerjaanku.

Kini boneka gadis Jepang berkimono itu sudah dikembalikan dan dikubur di bawah pohon besar di sana tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Tiba-tiba Aku melihat sekelebat bayangan seorang gadis Jepang berkimono muncul dari balik pohon besar itu. Dia tertawa riang sambil berlari-lari kecil ke tengah padang ilalang.

"Ran, semoga kamu bisa bertemu Mbah Kakung."

"Aku akan menemui Mbah Kakungmu ...." Terdengar suara  menggema.

Ran melambaikan tangannya padaku. perlahan-lahan tubuh gadis Jepang berkimono itu  memudar dan menghilang bagai di telan bumi ....

Solo.16.09.2019
Bomowica

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun