Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja itu Membiru di Lereng Gunung Lawu

20 Maret 2019   12:49 Diperbarui: 24 Maret 2019   17:53 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi foto Desi NH

... demi segaris kuning di cakrawala, Aku rela berkelana ... ~fiersabesari~

Sepasang tangan berbalut kaos putih lengan panjang dengan cekatan memasukkan beberapa pasang pakaian, perbekalan dan peralatan pendakian ke dalam tas gunungnya atau biasa disebut dengan nama tas carrier. Rasa lelah tak dihiraukan oleh gadis manis berhijab itu. Selepas kerja setengah harinya diakhir pekan dia mempersiapkan semua itu untuk pendakian ke Gunung Lawu. Sebuah perjalanan panjang dan cukup melelahkan bagi mereka yang tidak terbiasa bercengkerama dengan alam.

Bagi gadis itu gunung adalah rumah keduanya. Berlantai tanah dan batu-batu kerikil, beratapkan langit, serta berhiaskan bintang dan cahaya meteor di malam hari seakan menjadi peneduh hatinya setelah sekian lama bergelut dengan hiruk-pikuknya kehidupan di kota.

Sejenak dia memandangi tas carriernya. Sebuah boneka koala tergantung dibagian depan. Diraihnya dan dipandanginya dalam-dalam boneka koala itu. Angannya melayang menembus batas ruang dan waktu pada seseorang di negeri seberang. Boneka koala berwarna abu-abu itu seolah telah mengikat hatinya meski belum juga mengikat jari manisnya.

"Semua sudah, tapi aku merasa ada yang kurang ... kamu," katanya dalam hati sambil menempelkan telunjuknya pada hidung boneka koala itu.

"Ada apa dengan bonekamu?" Terdengar suara seorang gadis yang sebenarnya tidak asing bagi telinganya. Tapi rasa rindu itu tetap memaksanya untuk tidak bergeming.

"Desi! Ngelamun aja!" Kembali pemilik suara itu memanggilnya.

Desi ... gadis manis berhijab itu menoleh tanpa sepatah kata pun. Dia hanya tersenyum menatap kedatangan Ratna, teman seperjuangan dalam pengembaraannya di gunung. Terlihat deretan gigi putih di antara kedua bibir tipisnya. Desi kemudian mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Merindu dendam hatinya. Dan hanya kepada gunung dia akan menumpahkan segala rasa itu.

Sejenak Desi terlihat merapikan hijabnya. Sementara Ratna dengan setia menunggu. Dibukanya topi hitam penutup kepala gadis yang baru saja datang itu. Dan terurailah helaian rambut hitam panjang sepunggung. Titik-titik peluh terlihat di kedua kening dan dahi Ratna.

"Hmm ... panas sekali hari ini," katanya sambil meneguk air dari botol minuman yang tadi dia selipkan di samping tas carriernya. Kini botol minuman itu tinggal berisi air sepertiganya saja.

"Isi lagi botolnya ..." kata Desi sambil memakai sepasang sepatu eigernya.

Ratna segera menuangkan air bening dalam botol minumannya. Sementara Desi memakai jaket merah tuanya. Dia sudah siap untuk berangkat.

"Ayo berangkat, Rat. Keburu sore," ajak Desi sambil memanggul tas carriernya.

"Oke, tidak ada yang tertinggal?" tanya Ratna. Desi menggelengkan kepala. Kembali senyum manis tersungging dibibir merahnya. Tapi ada getar gelisah terpancar dari matanya.

"Sebenarnya ada. Tapi masih di negeri seberang. Tidak mungkin aku membawanya ..." kata Desi dalam hatinya.

Tak berapa lama kemudian kedua gadis itu sudah berada dalam bus antar kota menuju Tawangmangu. Bus penuh penumpang di akhir pekan. Mengharuskan mereka untuk menaruh tas carrier mereka dalam bagasi bus. Mereka pun tidak memperoleh tempat duduk. Hingga datang seorang pemuda menawarkan tempat duduknya.

"Silakan duduk, Mbak," katanya dengan sopan. Teman pemuda itu pun ikut berdiri memberi tempat pada Ratna.

"Terimakasih, Kak." Sejenak Desi beradu pandang dengan pemuda itu. Mereka saling melempar senyuman. Bus antar kota pun melaju cepat meninggalkan Kota Solo.

"Nanti kita mau lewat jalur mana?"

"Cemoro Sewu saja ..."

Tanpa sengaja Desi mendengar percakapan kedua pemuda tersebut.

"Rupanya mereka pendaki juga," kata Desi kepada Ratna sambil melihat kesekeliling bus, "mungkin yang di belakang itu rombongannya."

"Hmm ... siapa tahu kita akan dapat pasangan eh, kenalan baru," kata Ratna sambil nyengir.

"Ratna ... kita itu akan naik gunung bukan naik pelaminan."

"Memangnya kenapa?"

"Tidakkah kamu menyadari hanya naik pelaminan yang butuh pasangan?"

"Huh ... mulai deh main kata-katanya," kata Ratna sedikit sewot.

"Itu lebih baik dari pada main hati," kata Desi dengan nada datar dan dingin. Sepertinya dia belum bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya. Kedua gadis itu saling melempar pandangan ke arah yang berbeda.

Tak terasa bus antar kota tiba di terminal Tawangmangu. Mereka berdua pun turun dan beristirahat sejenak di sebuah warung menunggu angkot menuju Cemoro Sewu. Ratna terlihat tengak-tengok mencari sesuatu.

"Rombongan cowok tadi ke mana, ya? Mungkinkah sudah naik ke Cemoro Sewu?" gumamnya dalam hati.

"Cari apa lagi, Rat?"

"Ee ... itu, angkot ... kenapa lama banget."

Tak berapa lama angkot pun tiba dan segera mengantarkan Desi dan Ratna menuju basecamp di pos perijinan pendakian di Cemoro Sewu. Angin bertiup kencang dan udara dingin terasa menusuk tulang ketika mereka tiba dan menginjakkan kaki di sana. Tak sengaja mereka kembali bertemu dengan rombongan cowok tadi.

"Hai, Kak! Masih ingat?" sapa Desi. Cowok itu mengangguk dan tersenyum.

"Kalian berdua mau naik juga? Kita ada berenam. Gabung, yuk ..."

"Boleh ...?"

"Boleh untuk gadis manis seperti kalian." Desi dan Ratna tersenyum mendengar pujian itu.

"Ingat, jaga hati dan perkataan selama perjalanan. Itu aturan pertama pendakian," kata Desi.  

Cowok itu mengerutkan dahinya. "Aturan kedua?"

"Ee ..." Rupanya Desi tidak siap untuk jawaban dari pertanyaan itu.

"Tidak boleh mengambil hati dan perasaan sesama pendaki," sahut Ratna sambil tersenyum.

"Aturan ketiga menyebutkan ... aturan kedua boleh dilanggar," kata cowok itu menambahi. Mereka pun tertawa lepas dan saling berkenalan sambil menikmati segarnya udara dikaki Gunung Lawu itu.

Selepas Ashar mereka segera berangkat meninggalkan basecamp Cemoro Sewu. Dua cowok berjalan di depan diikuti oleh Desi dan Ratna. Empat cowok lainnya berada di belakang mereka. Delapan pendaki muda itu kemudian berjalan menyusuri jalan berbatu yang belum begitu menanjak menuju pos pertama. 

Dengan wajah ceria Desi melangkahkan kakinya melalui jalur pendakian yang sudah tertata rapi dan jelas. Sehingga jalur pendakian Cemoro Sewu ini menjadi favorit bagi kedua gadis tersebut dan para pendaki lain meskipun jalur ini berupa tanjakan terus-menerus hingga mencapai puncak. Selain itu hanya dibutuhkan waktu yang relatif singkat, sekitar delapan jam saja untuk mencapai puncak tertinggi Gunung Lawu, yaitu Hargo Dumillah.

"Senang aku melihatmu ceria lagi, Des," kata Ratna yang berjalan di belakang Desi. Desi cuma tersenyum  sambil mengatur napas disela-sela langkah kakinya.

"Sepertinya ada yang akan mendapat pasangan meski belum juga menuju pelaminan," lanjut Ratna sambil mempercepat langkahnya.

"Kuharap dia tidak lupa untuk rindu," kata Desi menoleh ke arah Ratna yang sekarang berjalan di sampingnya.

"Cowok itu?" Pandangan mata Ratna mengarah pada cowok yang berjalan di depan sendiri.

"Bukan, Rat. Aku sudah punya pasangan," kata Desi dengan tegas.

"Siapa, Des?" 

"Namanya Koko," jawab Desi.

"Teman kerjamu? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku?"

"Bukan, dia sekarang ada di belakangku," kata Desi makin menambah Ratna penasaran. Ratna pun menoleh ke belakang. Dilihatnya keempat cowok itu, siapakah yang telah menjadi pasangan Desi? Terus kapan mereka saling berkomitmen?

"Bukan mereka, Rat. Tapi boneka koala yang tergantung di tas carrierku."

"Yah ... becanda lagi, aku serius nih!"

"Suer ..." kata Desi sambil tersenyum, "seseorang telah memberikan boneka koala itu padaku."

"Teman sekolah dulu? Kenalin ke aku, Des."

"Teman SMA dulu. Tapi aku nggak mau ngenalin ke kamu. Ntar kamu suka sama dia, Rat."

"Yee ... enggaklah," kata Ratna sambil memukul bahu Desi.

Tak terasa kurang lebih satu jam perjalanan mereka telah sampai di pos pertama. Mereka masih mempunyai banyak tenaga untuk langsung menuju pos kedua.

"Lanjut ke pos dua? Bagaimana dengan para gadis?" tanya cowok di depan.

"Lanjut ...!" jawab Desi dan Ratna berbarengan. Sesaat mereka terlihat meneguk botol minumannya. 

Jalur jalan menuju pos kedua merupakan jalur terpanjang dan semakin menanjak sehingga membutuhkan stamina prima. Mereka lebih banyak diam sambil menikmati keindahan alam lereng Gunung Lawu ini. Bau khas dari getah pohon pinus, suara merdu dari burung-burung hutan, dan sejuknya udara di pegunungan ini menemani langkah-langkah kaki mereka. Dan debu-debu pun beterbangan menari-nari di antara rerumputan.

"Des ..." Suara Ratna memecah kesunyian, "si Kokomu kemana? Kok nggak ikut muncak?"

"Dia lagi di negeri seberang."

"Oo ... long distance ceritanya. Hati-hati, banyak godaannya." Desi hanya tersenyum mendengarnya.

Suasana sunyi kembali. Hanya terdengar kicau burung dan desir angin di sela-sela dedaunan hutan pinus. Sudah hampir satu setengah jam perjalanan mereka menuju pos kedua. Sebentar lagi senja membayang di ufuk barat. Mereka tiba di sebuah tempat yang disebut dengan nama Watu Jago. Karena terdapat sebuah batu besar yang bentuknya mirip dengan ayam jago. Mereka berhenti sejenak di sana. Dan sang cowok pun mendekati Desi.

"Sering muncak?" tanya sang cowok sambil duduk di samping Desi.

"Sering."

"Favorit ...?"

"Lawu ..."

Hening ...

Mereka sedikit canggung ditilik dari percakapan mereka yang singkat, jelas, dan padat. 

"Ini bukan untuk valentine apalagi menyatakan cinta. Tapi hanya sekedar untuk penambah tenaga," kata cowok itu mencoba mencairkan suasana. Dia mengulurkan dua buah coklat batang pada Desi.

"Satu untukmu, Rat," kata Desi.

"Sebentar lagi mentari akan tenggelam. Di sini tempat yang bagus untuk melihat moment itu sebelum sampai di pos dua. Bagaimana menurutmu?" tanya cowok itu.

"Sepertinya long distance-mu akan diuji di lereng Lawu ini," kata Ratna sambil memegang tangan Desi. Desi memandang langit yang terlihat sedikit mendung. Angannya melayang ke negeri seberang.

Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di Watu Jago sebelum senja menutup hari. Mereka mendirikan tenda dome di sana. Sementara kabut tipis mulai turun mengiringi senja yang perlahan menuntun sang mentari menuju peraduannya. Mendung kian menggantung di atas mereka. Tapi langit cerah di ufuk barat memberikan pesona alam yang  begitu indah.

Eksotisnya pemandangan alam di lereng Gunung Lawu ini membuat mereka paham bahwa rindu tak cukup diobati dengan kata-kata, sehingga mereka akan selalu datang kembali untuk mencumbuinya. 

Cahaya senja semakin meredup ketika mentari tiba di batas cakrawala. Senja itu adalah senja di akhir pekan di lereng Gunung Lawu. Terlihat lembayung jingga di atas kota menyisakan senyum sang mentari yang perlahan beranjak menuju peraduannya. Sorot matanya sendu memandang Desi yang berdiri terpaku menatapnya sambil menikmati hembusan sayap sang bayu. Kegelisahan kembali merantai hatinya.

"Angin, tolong sampaikan kabar bahwa aku rindu padanya," gumam Desi.

"Tahu nggak kenapa senja itu menyenangkan?" Sebuah tanya membuyarkan lamunan Desi.

Cowok itu datang membawa dua buah cangkir berisi kopi panas. Desi menggelengkan kepalanya. Senja memang tersusun dari seribu satu keindahan tapi di akhir pekan ini senja baginya adalah keindahan semu yang akan terhapus dengan gelapnya malam.

"Kalau saja aku mampu, sudah kuminta hatiku agar berhenti merasakan kamu," kata cowok itu sambil memberikan satu cangkir kopinya.

"Aku tidak mau bermain hati," kata Desi.

"Setidaknya ini untuk awal persahabatan kita," kata cowok itu berharap. Mereka saling mengangkat cangkir kopinya.

"Kamu adalah racunku ... terimakasih telah membawaku ke tempat ngopi termewah dengan sedikit jerih payah," kata Desi. Sebuah senyuman terindah tersungging dari bibirnya. 

Desi menyadari, beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, tapi untuk dikirimkan lewat doa. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, tapi untuk disyukuri keberadaannya (garis waktu, fiersabesari).

Bahwa hidup adalah tentang perjalanan bukan pelarian. Perjalanan untuk mempertahankan sebuah kerinduan. Rindu pada Koko ... boneka koala yang selalu menemaninya melangkah meniti waktu dan mengurai rasa. Serta bercengkerama dengan alam menunggu sang pemiliknya pulang. Kepada gunung dia akan menumpahkan segala rasa.

Gerimis senja pun turun membasahi hati kedua sejoli. Senja yang membiru di lereng Gunung Lawu melarutkan rasa bahwa hati telah terpenjara sepi ....

Solo.20.03.2019

Bomowica

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun