Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja itu Membiru di Lereng Gunung Lawu

20 Maret 2019   12:49 Diperbarui: 24 Maret 2019   17:53 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi foto Desi NH

Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di Watu Jago sebelum senja menutup hari. Mereka mendirikan tenda dome di sana. Sementara kabut tipis mulai turun mengiringi senja yang perlahan menuntun sang mentari menuju peraduannya. Mendung kian menggantung di atas mereka. Tapi langit cerah di ufuk barat memberikan pesona alam yang  begitu indah.

Eksotisnya pemandangan alam di lereng Gunung Lawu ini membuat mereka paham bahwa rindu tak cukup diobati dengan kata-kata, sehingga mereka akan selalu datang kembali untuk mencumbuinya. 

Cahaya senja semakin meredup ketika mentari tiba di batas cakrawala. Senja itu adalah senja di akhir pekan di lereng Gunung Lawu. Terlihat lembayung jingga di atas kota menyisakan senyum sang mentari yang perlahan beranjak menuju peraduannya. Sorot matanya sendu memandang Desi yang berdiri terpaku menatapnya sambil menikmati hembusan sayap sang bayu. Kegelisahan kembali merantai hatinya.

"Angin, tolong sampaikan kabar bahwa aku rindu padanya," gumam Desi.

"Tahu nggak kenapa senja itu menyenangkan?" Sebuah tanya membuyarkan lamunan Desi.

Cowok itu datang membawa dua buah cangkir berisi kopi panas. Desi menggelengkan kepalanya. Senja memang tersusun dari seribu satu keindahan tapi di akhir pekan ini senja baginya adalah keindahan semu yang akan terhapus dengan gelapnya malam.

"Kalau saja aku mampu, sudah kuminta hatiku agar berhenti merasakan kamu," kata cowok itu sambil memberikan satu cangkir kopinya.

"Aku tidak mau bermain hati," kata Desi.

"Setidaknya ini untuk awal persahabatan kita," kata cowok itu berharap. Mereka saling mengangkat cangkir kopinya.

"Kamu adalah racunku ... terimakasih telah membawaku ke tempat ngopi termewah dengan sedikit jerih payah," kata Desi. Sebuah senyuman terindah tersungging dari bibirnya. 

Desi menyadari, beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, tapi untuk dikirimkan lewat doa. Beberapa rasa memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk diutarakan, tapi untuk disyukuri keberadaannya (garis waktu, fiersabesari).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun