Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen Jogja 1990] Dua Sahabat

9 Oktober 2018   07:53 Diperbarui: 9 April 2019   00:11 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
upload.wikimedia.org

"Ton, lihat puncak tugu itu. Seperti emas di puncak Monas di Jakarta," kata Sono.

"Memangnya kamu pernah lihat Monas di Jakarta, Son?" tanya Tono.

"He he he ... belum pernah, cuma lihat dari televisi. Tapi sepertinya beda dikit, Ton. Kalau Monas puncaknya kan mirip api yang menyala. Sedangkan Tugu Pal Putih ini seperti kerucut berulir. Sepertinya mirip sebuah tanduk ya ...."

"Hmm ... betul juga, Son. Tak apalah beda sedikit, kita punya miniatur mirip Monas di Jogja," kata Tono sambil berjalan mengelilingi Tugu Pal Putih.

Tugu Pal Putih jaman dulu tiangnya berbentuk silinder yang mengerucut ke atas (gilig) dengan tinggi 25 meter sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sedangkan bagian puncak berbentuk bulat (golong). Sehingga disebut juga dengan nama Tugu Golong-Gilig. Tugu ini dibangun tahun 1755 oleh pendiri  Keraton Jogja, Sultan HB I. Menggambarkan manunggaling kawulo gusti, semangat persatuan rakyat Jogja dan penguasa (Sultan Jogja) untuk melawan penjajahan.

Tugu Pal Putih ( De Witte Paal, bahasa Belandanya ) merupakan bangunan  yang sudah direnovasi dari Tugu Golong Gilig yang roboh karena gempa dahsyat melanda Kota Jogja 10 Juni 1867.

Tugu Pal Putih diresmikan berdirinya tahun 1889  masa  pemerintahan  Sultan HB VII pada jaman kolonial Belanda. Tinggi tugu ini menjadi 15 meter saja. Tiang tugu dibuat dengan bentuk persegi dan puncak tugu berbentuk kerucut spiral yang meruncing menyerupai tanduk Unicorn (seekor kuda putih bertanduk). Sudah tidak ada lagi Tugu Golong-Gilig. Dan Tugu Pal Putih menjadi bangunan cagar budaya yang masih dilestarikan keberadaannya hingga saat ini.

Sono memperhatikan tingkah sahabatnya yang telah berjalan beberapa kali mengelilingi tugu tersebut. "Kamu ngapain, Ton, mengelilingi tugu sambil komat-kamit mulutmu?"

"Siapa tahu setelah ritual ini aku benar-benar bisa ke Jakarta dan melihat Monas kebanggaan bangsa Indonesia," kata Tono dengan mimik wajah serius.

"Ha ha ha ... kalau itu yang dibutuhkan adalah uang, Ton."

"Hmm ... benar juga," kata Tono sambil garuk-garuk kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun