Dan Jogja itu memang berhati nyaman, senyaman siang itu ketika memandang langit cerah tak berawan, biru membentang luas bagaikan sebuah atap raksasa. Dan sekawanan burung terbang melayang-layang seolah-olah menikmati birunya langit.
Terdengar bunyi serangga garengpung dari atas pohon randhu alas di tepi sungai. Dan suara dengung gangsingan yang dimainkan oleh sekelompok anak-anak di kampung. Udara panas dan angin yang bertiup sepoi-sepoi sedikit menurunkan aktivitas kehidupan di Kota Jogja siang itu.
"Hai, Son," kata anak itu menyapa Sono duluan.
"Hai, Ton. Kamu sudah datang. Aku malah belum siap," kata Sono ketika melihat Tono, sahabatnya datang ke rumah.
Sono segera menyiramkan air yang tinggal separuh ember keseluruh body sepedanya. Kemudian dia mengambil kain lap kering untuk mengeringkannya.
"Wah ... ganteng sekali kamu, Ton," puji Sono pada sahabatnya itu.
"Iyalah. Jadi pergi ke Sekaten? Aku sudah siap," kata Tono mengingatkan.
"Jadi! Tunggu sebentar di pendopo, Ton. Aku mau mandi dulu. Kebetulan aku sudah selesai mencuci sepedaku."
Sono segera mandi dan berpakaian rapi. Dia kemudian keluar sambil membawa sebotol air dingin menemui sahabatnya.
"Minum, Ton. Aku tahu kau pasti kehausan setelah bersepeda di bawah sinar matahari sore."
"Matur nuwun, Son. Iya, sore ini cuaca Jogja memang cukup panas."