Padahal, membela timnas adalah panggilan jiwa setiap atlet.
Tak heran, para kepala pemerintahan seperti PM Boris Johnson (Inggris) dan Presiden Macron (Perancis) pun mengecam European Super League.
Saat ini, kita hanya bisa membayangkan perasaan para pemain klub-klub ESL yang terancam tak bisa main di ajang FIFA. Mungkin saja gaji mereka akan naik, tetapi apakah mereka bahagia?
Mengapa suporter muda dan 12 klub inginkan ESL?
Di sisi lain, sebuah jajak pendapat mengemukakan, suporter berusia muda lebih terbuka menerima ide European Super League. Maklum saja, para suporter muda ini tak terlalu peduli dengan sejarah dan rivalitas masa lalu.
Memang, ESL ini tak sepenuhnya akibat kerakusan klub-klub besar. Para pengurus dan pemilik klub-klub besar konon merasa jengah karena UEFA dan liga domestik gagal mendatangkan keuntungan besar bagi mereka.
Klub-klub besar merasa dijadikan sapi perah UEFA yang mendapat sponsor untuk Champions League dan Europa League, namun kurang beri uang pada mereka.
Pendapatan dari pertandingan tengah pekan (midweek game) terlalu sedikit bagi klub-klub raksasa. Klub-klub besar merasa "dipaksa" main tengah pekan melawan tim-tim semenjana pada ajang piala domestik yang hadiahnya sedikit. Karena itu, ESL berhadiah jumbo yang digelar di tengah pekan menjadi solusi.
Sponsor jumbo dari luar Eropa pun siap mendanai ESL, liga para bintang nan gemerlap. Di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi, pilihan 12 klub untuk menikmati manisnya uang sponsor ESL sangat logis.
European Super League sejatinya adalah ketegangan antara idealisme dan realitas megabisnis sepak bola dunia.
Dampak European Super League bagi sepak bola Indonesia dan dunia