Rumah bukan sekadar bangunan tempat bermukim. Rumah adalah bagian integral dari keberadaan setiap insan.Â
Membangun rumah pun tak bisa asal-asalan. Dalam tiap kebudayaan adiluhung, ada ritual pembangunan rumah yang kaya makna.Â
Demikian halnya acara adat yang menyertai proses pembangunan rumah warga Suku Dayak Ma'anyan yang tinggal di Tamiang Layang.
Tamiang Layang adalah pusat pemerintahan Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.Â
Legenda di Balik Nama Tamiang Layang
Ada beragam versi legenda di balik nama Tamiang Layang. Menurut sejumlah narasumber, setidaknya ada tiga versi berbeda.
Salah satunya, nama Tamiang Layang berasal dari nama seorang tokoh bernama Damang yang tersesat (layang dalam bahasa Ma'anyan) dalam upaya melamar Puteri Mayang Sari.
Sang puteri rupawan bak mestika gamat ternyata telah wafat ketika Damang tiba di daerah bernama asli Sangarasi. Akhirnya daerah itu dinamai "Tamiang Layang" atau "Damang Layang" (yang tersesat). Versi kedua dan ketiga dapat kita simak dalam laman berikut ini (sila klik).
Pak Akup, "Tersesat dalam Gelap"Â
Tak jauh berbeda dengan nasib Damang, Pak Akup, juga "tersesat dalam gelap" di sebuah kampung bernama Hayaping, Kelurahan Awang, Kabupaten Barito Timur. Kampung ini berjarak 21 km dari Tamiang Layang.
Pak Akup tak bisa bergerak dengan leluasa karena ia seorang tunanetra. Ia tinggal di sebuah pondok reyot. Tiada fasilitas MCK. Pak Akup harus susah payah berjalan menuju sungai terdekat.
Pak Akup seorang duda. Ia tinggal seorang diri di pondok tanpa sekat kamar itu. Syukurlah, para tetangga sering memberinya bantuan. Mengambilkan air dan memberi bantuan makanan.
Menariknya, meski tunanetra, Pak Akup tetap berusaha melayat tetangga yang meninggal dunia.
Kondisi pria renta ini diwartakan oleh Suster Sari PI, biarawati yang bertugas di Tamiang Layang kepada banyak insan budiman. Penggalangan dana untuk pembangunan rumah baru bagi Pak Akup pun dilakukan.
Berkat penyelenggaraan Tuhan YME, dana sebesar Rp 8,670.000 berhasil terkumpul. Adalah kemurahan hati sejumlah donatur, termasuk sejumlah rekan Kompasianer, yang membuat dana solidaritas itu dapat disalurkan pada Pak Akup.
Gotong-Royong Tiga Hari
"Masyarakat sepakat tidak meladang selama tiga hari untuk bergotong royong membangun rumah baru Pak Akup," demikian tulis Suster Sari, pemerhati kaum papa, melalui pesan singkat.
Keputusan untuk membuat rumah baru bagi Pak Akup didukung penuh oleh perangkat desa dan seluruh warga desa yang berasal dari aneka latar belakang agama dan kepercayaan.Â
Ritual Adat Dayak Ma'anyan
Pada hari pertama, dari pukul 8 pagi sampai pukul 17, masyarakat bersatu padu membangun rumah Pak Akup. Ada yang membuat septic tank, ada pula yang membuat fondasi.
Setelah memasang kuda-kuda, warga memakan ketan. Sudah menjadi tradisi, dalam pembangunan rumah yang menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), warga memakan ketan merah dan putih.
Selain itu, ketan yang dimakan bersama menjadi simbol perekat warga.
Di balik ritual makan ketan merah-putih berbahan gula dan kelapa, ada simbolisasi persatuan dari dua unsur yang berbeda.
Ada satu lagi ritual adat unik dalam proses pembangunan rumah baru warga Dayak Ma'anyan di Hayaping. Bagian atap rumah yang sedang dibangun dipasangi batang pisang. Tujuannya agar rumah sejuk dan nyaman untuk ditinggali.
Di balik ritual pemasangan batang dan daun pisang di atap rumah yang sedang dibangun, kiranya tersua pemahaman akan harmoni alam. Rumah dari kayu yang bersifat kering perlu didinginkan dengan batang pisang yang berair.
Dalam diskusi daring dengan rekan kompasianer Romo Gregorius Nyaming, putra asli Dayak Desa, tampak bahwa penggunaan ketan juga lazim di kalangan suku Dayak Desa di Kalimantan Barat.
"Dalam adat kami, ketan pertama-tama menjadi bahan pembuatan tuak. Lalu, dalam pesta-pesta adat atau syukuran lainnya, ketan biasa disajikan. Dikukus, dibuat lemang (dimasak dalam bambu), dibuat ketupat atau tepung, dan sebagainya," tulisnya.
Ketan juga selalu dijadikan bahan sesajen (pegelak) saat pesta syukur atas hasil panen (Gawai). Romo Gregorius sepakat bahwa makan ketan bersama menjadi simbol penguat kebersamaan dan gotong royong.Â
Ketan yang dijadikan bahan pegelak menjadi simbol pengungkap rasa syukur sekaligus permohonan. Warga memohon perlindungan dari Yang Agung (Petara) agar selalu menyertai pekerjaan dan memberikan panen berlimpah pada tahun-tahun berikutnya.
Tulisan-tulisan menarik Romo Gregorius dapat kita simak di sini (klik saja).
Terus Berbagi Kasih
Berkat kekompakan masyarakat desa Hayaping, pembangunan rumah sederhana bagi Pak Akup dapat diselesaikan. Menariknya, warga desa sepakat untuk bergiliran menyediakan makanan bagi Pak Akup.Â
Gotong royong yang telah direkatkan dengan ketan merah-putih itu terus berlanjut dalam wujud hantaran makanan.Â
Dalam kekurangan, warga tetap berbagi kasih tanpa berkesudahan.
Pak Akup memang tak bisa melihat dengan mata. Akan tetapi, dengan mata jiwanya, ia tentu melihat jelas betapa besar cinta para saudara-saudari sekampungnya.Â
Terima kasih pada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam aksi kesetiakawanan sosial ini. Tuhan YME kiranya membalas kebaikan Anda sekalian.
Semoga semangat gotong royong dan semangat cinta budaya lokal tetap lestari di lingkungan kita.
Fajar Oktober 2020, ditulis dengan penuh cinta. R.B.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H