Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna Makan Ketan dalam Ritual Rumah Baru Dayak Ma'anyan

7 Oktober 2020   13:46 Diperbarui: 8 Oktober 2020   04:34 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah bukan sekadar bangunan tempat bermukim. Rumah adalah bagian integral dari keberadaan setiap insan. 

Membangun rumah pun tak bisa asal-asalan. Dalam tiap kebudayaan adiluhung, ada ritual pembangunan rumah yang kaya makna. 

Demikian halnya acara adat yang menyertai proses pembangunan rumah warga Suku Dayak Ma'anyan yang tinggal di Tamiang Layang.

Tamiang Layang adalah pusat pemerintahan Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. 

Legenda di Balik Nama Tamiang Layang

Ada beragam versi legenda di balik nama Tamiang Layang. Menurut sejumlah narasumber, setidaknya ada tiga versi berbeda.

Salah satunya, nama Tamiang Layang berasal dari nama seorang tokoh bernama Damang yang tersesat (layang dalam bahasa Ma'anyan) dalam upaya melamar Puteri Mayang Sari.

Sang puteri rupawan bak mestika gamat ternyata telah wafat ketika Damang tiba di daerah bernama asli Sangarasi. Akhirnya daerah itu dinamai "Tamiang Layang" atau "Damang Layang" (yang tersesat). Versi kedua dan ketiga dapat kita simak dalam laman berikut ini (sila klik).

Pak Akup, "Tersesat dalam Gelap" 

Tak jauh berbeda dengan nasib Damang, Pak Akup, juga "tersesat dalam gelap" di sebuah kampung bernama Hayaping, Kelurahan Awang, Kabupaten Barito Timur. Kampung ini berjarak 21 km dari Tamiang Layang.

Pak Akup tak bisa bergerak dengan leluasa karena ia seorang tunanetra. Ia tinggal di sebuah pondok reyot. Tiada fasilitas MCK. Pak Akup harus susah payah berjalan menuju sungai terdekat.

Pak Akup seorang duda. Ia tinggal seorang diri di pondok tanpa sekat kamar itu. Syukurlah, para tetangga sering memberinya bantuan. Mengambilkan air dan memberi bantuan makanan.

Menariknya, meski tunanetra, Pak Akup tetap berusaha melayat tetangga yang meninggal dunia.

Kondisi pria renta ini diwartakan oleh Suster Sari PI, biarawati yang bertugas di Tamiang Layang kepada banyak insan budiman. Penggalangan dana untuk pembangunan rumah baru bagi Pak Akup pun dilakukan.

Berkat penyelenggaraan Tuhan YME, dana sebesar Rp 8,670.000 berhasil terkumpul. Adalah kemurahan hati sejumlah donatur, termasuk sejumlah rekan Kompasianer, yang membuat dana solidaritas itu dapat disalurkan pada Pak Akup.

Gotong-Royong Tiga Hari

"Masyarakat sepakat tidak meladang selama tiga hari untuk bergotong royong membangun rumah baru Pak Akup," demikian tulis Suster Sari, pemerhati kaum papa, melalui pesan singkat.

Keputusan untuk membuat rumah baru bagi Pak Akup didukung penuh oleh perangkat desa dan seluruh warga desa yang berasal dari aneka latar belakang agama dan kepercayaan. 

persiapan kayu sebagai bahan - dok Sr Sari PI
persiapan kayu sebagai bahan - dok Sr Sari PI
Seminggu sebelum pelaksanaan pembangunan, sejumlah warga sudah menggergaji kayu sebagai persiapan material bangunan. Ada wajah ceria meski pekerjaan itu cukup melelahkan.

Ritual Adat Dayak Ma'anyan

Pada hari pertama, dari pukul 8 pagi sampai pukul 17, masyarakat bersatu padu membangun rumah Pak Akup. Ada yang membuat septic tank, ada pula yang membuat fondasi.

Suster Sari PI dan warga - dokpri
Suster Sari PI dan warga - dokpri
Suster Sari mengatakan bahwa kerja sama sangat baik. Anak-anak dan ibu-ibu juga terlibat sesuai kemampuan mereka, mendukung para pria. 

Setelah memasang kuda-kuda, warga memakan ketan. Sudah menjadi tradisi, dalam pembangunan rumah yang menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), warga memakan ketan merah dan putih.

persiapan ketan - dokpri
persiapan ketan - dokpri
Rupanya, dalam alam pikir masyarakat Dayak Ma'anyan, kayu ulin dapat tumbuh berkat peran roh penunggu. Agar roh penunggu kayu ulin ini tidak mengganggu, para pembangun rumah harus menyantap ketan merah dan putih.

dokpri
dokpri

Selain itu, ketan yang dimakan bersama menjadi simbol perekat warga.

Di balik ritual makan ketan merah-putih berbahan gula dan kelapa, ada simbolisasi persatuan dari dua unsur yang berbeda.

Ada satu lagi ritual adat unik dalam proses pembangunan rumah baru warga Dayak Ma'anyan di Hayaping. Bagian atap rumah yang sedang dibangun dipasangi batang pisang. Tujuannya agar rumah sejuk dan nyaman untuk ditinggali.

Di balik ritual pemasangan batang dan daun pisang di atap rumah yang sedang dibangun, kiranya tersua pemahaman akan harmoni alam. Rumah dari kayu yang bersifat kering perlu didinginkan dengan batang pisang yang berair.

Jelang pasang atap - dok Sr Sari PI
Jelang pasang atap - dok Sr Sari PI
Perbandingan dengan Dayak Desa Kalimantan Barat

Dalam diskusi daring dengan rekan kompasianer Romo Gregorius Nyaming, putra asli Dayak Desa, tampak bahwa penggunaan ketan juga lazim di kalangan suku Dayak Desa di Kalimantan Barat.

"Dalam adat kami, ketan pertama-tama menjadi bahan pembuatan tuak. Lalu, dalam pesta-pesta adat atau syukuran lainnya, ketan biasa disajikan. Dikukus, dibuat lemang (dimasak dalam bambu), dibuat ketupat atau tepung, dan sebagainya," tulisnya.

Ketan juga selalu dijadikan bahan sesajen (pegelak) saat pesta syukur atas hasil panen (Gawai). Romo Gregorius sepakat bahwa makan ketan bersama menjadi simbol penguat kebersamaan dan gotong royong. 

Ketan yang dijadikan bahan pegelak menjadi simbol pengungkap rasa syukur sekaligus permohonan. Warga memohon perlindungan dari Yang Agung (Petara) agar selalu menyertai pekerjaan dan memberikan panen berlimpah pada tahun-tahun berikutnya.

Tulisan-tulisan menarik Romo Gregorius dapat kita simak di sini (klik saja).

Terus Berbagi Kasih

Syukuran di rumah baru nan mungil - dok Sr Sari
Syukuran di rumah baru nan mungil - dok Sr Sari

Berkat kekompakan masyarakat desa Hayaping, pembangunan rumah sederhana bagi Pak Akup dapat diselesaikan. Menariknya, warga desa sepakat untuk bergiliran menyediakan makanan bagi Pak Akup. 

Gotong royong yang telah direkatkan dengan ketan merah-putih itu terus berlanjut dalam wujud hantaran makanan. 

Dalam kekurangan, warga tetap berbagi kasih tanpa berkesudahan.

Pak Akup memang tak bisa melihat dengan mata. Akan tetapi, dengan mata jiwanya, ia tentu melihat jelas betapa besar cinta para saudara-saudari sekampungnya. 

Terima kasih pada semua pihak yang telah mengambil bagian dalam aksi kesetiakawanan sosial ini. Tuhan YME kiranya membalas kebaikan Anda sekalian.

Semoga semangat gotong royong dan semangat cinta budaya lokal tetap lestari di lingkungan kita.

Fajar Oktober 2020, ditulis dengan penuh cinta. R.B.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun