"Arine, maaf..."
Diam!
Aku kacau. Dadaku semakin sesak. Aku ingin mengeluarkan air mata yang sedari tadi sudah tertahan, tapi tidak bisa. Pikiranku berantakkan. Otakku memutar kembali film kenangan antara aku dan kamu. Mulai dari pertemuan kita, kue tart rasa capucino yang kuberi khusus pada 21 Januari 2010, ulang tahunmu. Dua puluh cokelat berbentuk hati yang kubuat sendiri dan kuberi saat hari Valentine, sampai buku catatan dari kertas concorde berwarna pink, kuning dan biru yang aku buat sendiri hanya untuk kamu.
Ribuan kali orang bilang bahwa kamu laki-laki jahat yang suka berganti pacar dan dekat dengan banyak perempuan. Namun ribuan kali juga aku menutup telingga atas perkataan mereka. Aku hanya ingin meyakini bahwa ketulusanku mampu mengubah sifat burukmu.
Aku sayang kamu. Dan jika kamu bertanya, bagaimana? Dengan keegoisan diri yang mengoyak, aku pasti akan berkata, jangan pergi, aku masih inginkan kamu di sini. Tapi semenjak kosongannya mulai terasa, aku sudah mempersiapkan diri. Memang ini jalannya. Inikah yang dinamakan firasat? Berhari-hari sudah aku tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa kujelaskan?"
"Arine sayang Bian. Kalau Bian tanya bagaimana, Arine bisa saja memaksa agar kita tetap bersama. Tapi... buat apa kalau Bian sudah tidak sayang?" ucapku pelan.
"Lalu? Setelah ini, apa Bian akan berpacaran dengan Dewi?"
"Mungkin... Saat itu Bian bilang kalau Bian sayang Dewi, Bian janji akan belajar menyayangi dia dengan tulus dan setia."
"Ya sudah... Mau bagaimana lagi? Kita memang sudah harus putus." ucapku pelan.
"Tapi Arine jangan benci Bian ya?"
Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Aku hanya ingin mengajukan satu permintaan terakhirku.