Mohon tunggu...
Birgitta Ajeng
Birgitta Ajeng Mohon Tunggu... -

Buku. Pena. Kopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nol Senti Meter

19 April 2012   10:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Selama ini aku menyukaimu. Disela-sela kebersamaan kita yang baru sesaat, aku sering menujukan pernyataan dan pertanyaan pada diriku sendiri. Aku sadar, tidak pernah ada rasa di antara kita. Atau mungkin dengan sedikit pembelaan, kita belum memiliki rasa. Kita memang bersama namun rasa itu samar. Kosong. Bian, sayangku masih tetap ada, masih tetap sama, untukmu. Namun, apakah sayangmu masih tetap ada dan masih tetap sama, untukku?"

Sejenak kamu terdiam. Tanpa banyak pikir, aku mengucap-kan salam perpisahan dan menekan tombol disconnected pada keypad telepon genggamku.

Kosong. Hanya itu yang aku rasa, sama seperti kekosongan pelukku malam itu. Aku sengaja meninggalkanmu dengan pertanyaan yang belum sempat terjawab. Mungkin perasaan kita sudah berbanding terbalik karna pencuri itu atau... entahlah...

***

Hari itu aku menunggumu karena kau bilang hendak mendiskusikan suatu hal yang penting. Mungkin berkaitan tentang kata-kataku di telepon dua hari yang lalu. Tapi, ijinkan aku berpesan agar kita jangan membicarakan konsep fondasi karena kau sudah muak.

Menurutmu,kepercayaan merupakan fondasi dalam sebuah hubungan. Jika dari awal tidak ada kepercayaan, bagaimana bisa rumah kita berdiri kokoh? Aku setuju dengan konsep fondasimu, tapi berhentilah membodohiku! Aku lebih mengerti bagaimana fondasi harus dibangun. Kamu terlalu sibuk berteori soal fondasi, berbicara tentang kepercayaan, padahal aku sudah cukup mempercayaimu. Bahkan percaya pada kebohongan-kebohonganmu. Lalu apa arti percayaku? Sebenarnya ingin kamu bangun dimana fondasi yang selalu kamu teorikan?

"Arine, Bian lagi dekat sama seseorang."

"Siapa?" tanyaku pelan.

"Bukan Vero. Jujur saja, dulu, saat tiga bulan kita bersama, Bian sempat dekat sama Vero, sempat sayang. Maaf. Bian tidak pernah cerita soal ini. Tapi saat ini Bian sayang Dewi."

Aku tercekat. Benakku gamang meraba-raba sekuel dari kalimatmu.

"Tiga minggu yang lalu, Bian pertama kali bertemu Dewi. Angga, teman SD Bian datang bersama Dewi, saudaranya. Angga mengenalkan Dewi ke Bian. Awalnya Bian biasa saja. Tiba-tiba dua hari kemudian Dewi kirim pesan ke Facebook Bian. Dari situ kita mulai dekat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun