KABINET baru bersanding dengan jumlah kementerian baru. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, diperkirakan membentuk kabinet yang lebih besar dengan peningkatan jumlah kementerian dari 34 menjadi 44.
Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa semua partai pendukung mendapatkan representasi yang sama dalam pembagian posisi di pemerintahan dan menepati janji kampanye yang terdapat pada delapan misi Asta Cita yang ditetapkannya.
Menariknya, Badan Legislatif (Baleg) DPR meloloskan revisi UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Rapat Paripurna meskipun tidak termasuk ke dalam Prolegnas 2020-2024. RUU ini memberikan kekuasaan eksekutif yang luas, memungkinkan pembentukan kementerian baru (Pasal 6A), dan penghapusan batasan jumlah kementerian (Pasal 15) yang berpotensi menimbulkan pembengkakan birokrasi.
Urgensi dan Trasparansi dalam Proses Legislasi
Keputusan ini terkesan terburu-buru dan mengabaikan prinsip transparansi serta partisipasi publik dalam proses legislasi. Hal inilah yang mengundang pertanyaan publik terhadap urgensitas dari perubahan undang-undang tersebut.
Apakah tujuan utamanya memang sesuai dengan kebutuhan publik atau hanya untuk mengakomodir pihak-pihak tertentu untuk mendapat jabatan?
Sementara data dari Gatekeeper Radio Suara Surabaya menunjukkan skeptisisme publik terhadap efektivitas penambahan jumlah menteri. Karena memang seharusnya jika ingin melakukan perubahan undang-undang harus melalui kajian komprehensif atas kebutuhan publik, baru dibentuklah lembaga atau jumlah kementerian sesua kebutuhan tersebut, bukan sebaliknya.
Pada dasarnya, efektivitas pemerintahan bukan hanya soal jumlah kementerian, melainkan bagaimana kementerian tersebut dikelola dan diisi dengan orang-orang yang kompeten.
Pemborosan Birokrasi atau Kebutuhan Struktural?
Castro sebagai pengajar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman turut menentang perubahan ini karena menurut dia jumlah kementerian 34 atas aturan sebelumnya saja sudah terlalu banyak dan tidak efektif. Bagi Castro, terdapat over coalition yang harus diakomodasi oleh Prabowo, sehinggga satu-satunya jalan adalah menambah jumlah kementerian.Â
Jika memang diperlukan sekali untuk ditambahkan, berapa jumlah yang tepat? Sektor-sektor apa yang belum tertangani secara optimal? Kementerian apa saja yang masih kurang secara performanya?
Presiden Joko Widodo sendiri seperti biasa tidak berkomentar banyak, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden terpilih yang sudah diberi amanah oleh publik.
Sedangkan perihal kabinet zaken, Jokowi mendukung penuh atas kabinet yang bekerja merupakan orang yang lebih profesional dan ahli dibidangnya.
Memang jika berkaca pada masa pemerintahanya, mayoritas posisi menteri diduduki dan dipilih berdasarkan kepentingan politik saja, bukan berdasarkan kapasitas dan kompetensinya. Apakah situasi tersebut dihentikan atau terjadi kembali di masa pemerintahan yang baru ini?
Pernyataan Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani, tentang rencana restrukturisasi kabinet menimbulkan kekhawatiran akan potensi pembengkakan birokrasi dan inefisiensi.
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi akan berganti nama menjadi Kementerian Koordinator Hilirisasi dan Investasi, dengan fokus baru pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan akan dipecah menjadi dua kementerian terpisah, yaitu Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan serta Kementerian Koordinator Hukum. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga akan dibagi menjadi dua kementerian: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.
Urusan kebudayaan akan ditangani oleh Kementerian Pariwisata, sementara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan dipecah menjadi Kementerian Hukum dan Kementerian HAM. Terakhir, Kementerian BUMN diusulkan dihapus dan digantikan oleh perusahaan induk ala Tamasek Holding.Â
Potret Inefisiensi dan Ancaman Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan
Wacana pembentukan kabinet gemuk merupakan langkah mundur yang mencederai prinsip efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Penambahan jumlah kementerian hanya akan menciptakan sarang bagi menteri-menteri medioker yang dipilih berdasarkan kepentingan politik, bukan kompetensi.
Akibatnya, kebijakan publik akan semakin tidak berkualitas dan publiklah yang dirugikan. Koordinasi antar kementerian pun akan semakin rumit dan rawan konflik kepentingan. Anggaran negara akan tersedot untuk membiayai birokrasi yang membengkak, sementara pelayanan publik terancam terbengkalai.
Lebih parah lagi, kabinet gemuk berpotensi menjadi ladang subur bagi praktik KKN. Ini jelas bertentangan dengan janji reformasi birokrasi dan menunjukkan pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
Dalam konteks politik, representasi kepentingan partai di kabinet justru berpotensi mengorbankan efektivitas. Semakin besar akomodasi kepentingan politik dalam kabinet, semakin rendah tingkat efektivitas pemerintahan. Seperti kabinet sebelumnya yang menunjukkan bahwa menteri dari partai politik sering terlibat dalam penyelewengan kebijakan dan program pemerintah.
Rencana kabinet ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait waktu adaptasi yang dibutuhkan oleh kementerian baru. Pengalaman dari pemisahan dan penggabungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa perubahan nomenklatur menyebabkan kementerian tersebut memakan waktu dua tahun untuk konsolidasi, menghambat fungsi pelayanan publik.
Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menegaskan bahwa penambahan jumlah kementerian akan memperbesar risiko munculnya menteri-menteri yang tidak dipilih karena kompetensi, melainkan kepentingan politik.
Kebijakan yang dihasilkan bisa jadi malah salah sasaran, sebab keputusan politik mengalahkan pertimbangan profesional. Idealnya, rekam jejak dan kompetensi seharusnya menjadi dasar dalam memilih menteri, namun dalam praktiknya, kecenderungan ini sering kali diabaikan, sebagaimana terlihat dalam formasi kabinet-kabinet sebelumnya.
Lebih jauh lagi, kabinet yang diperbesar berpotensi memperlambat koordinasi antar kementerian dan implementasi kebijakan di lapangan. Ego sektoral yang melekat pada setiap kementerian dapat menghambat dan membuat setiap kementerian lebih mementingkan bidangnya sendiri daripada keberhasilan program nasional secara menyeluruh.
Ini telah dibuktikan dengan tumpang tindih kebijakan di berbagai kementerian yang menangani isu-isu tertentu seperti Papua, dengan beragam program terkait pendidikan, kesehatan, dan perempuan, sebagaimana dikhawatirkan oleh Aisah Putri Budiatri dari Pusat Riset Politik BRIN.
Resiko lain seperti gangguan terhadap efektivitas birokrasi, terutama di daerah yang sudah berjuang dengan masalah efisiensi, seperti Papua. Dengan struktur kementerian yang semakin kompleks, koordinasi dan implementasi kebijakan di tingkat daerah akan semakin sulit. Kemudian, terjadi politisasi birokrasi dengan masuknya individu-individu yang berafiliasi dengan partai politik ke dalam posisi-posisi strategis. Kondisi ini dapat mengancam netralitas dan profesionalitas aparatur sipil negara (ASN).
Tidak hanya berdampak pada efektivitas pemerintahan, pembentukan kementerian baru juga akan membebani anggaran negara. Bivitri mencatat bahwa mendirikan satu kementerian baru membutuhkan sumber daya besar, mulai untuk pengadaan gedung, membutuhkan staf ahli, fasilitas-fasilitas pejabat, hingga gaji pegawai administratif, yang prosesnya dapat memakan waktu hingga dua tahun.
Dengan bertambahnya kementerian, akan ada peningkatan jumlah ASN tanpa jaminan peningkatan kinerja atau efisiensi, sehingga membebani keuangan negara. Biaya yang dikeluarkan tidak hanya untuk memulai operasional kementerian tersebut, namun juga untuk mempertahankan infrastruktur birokrasi yang akan menggelembung.
Rekomendasi Arah Kebijakan
Berdasarkan analisis dan pandangan para ahli, disimpulkan bahwa penambahan jumlah kementerian bukanlah solusi optimal untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan. Sebaliknya, restrukturisasi dan rasionalisasi kementerian yang ada merupakan langkah yang lebih bijaksana.
Dedi Kurnia Syah (Direktur Eksekutif IPO) menyarankan untuk memperkuat peran kantor dinas di tingkat provinsi dalam mengimplementasikan kebijakan, sementara Castro (Herdiansyah Hamzah) mengusulkan penghapusan kementerian koordinator untuk memangkas birokrasi dan memperlancar koordinasi.
Penambahan kementerian justru dikhawatirkan akan menimbulkan inefisiensi, pemborosan anggaran, dan politisasi birokrasi, serta mengurangi efektivitas pengawasan dari parlemen. Oleh karena itu, pemerintah baru direkomendasikan untuk memfokuskan pada peningkatan kualitas dan efisiensi birokrasi, bukan pada ekspansi jumlah kementerian.
Solusi bukanlah dengan menghindari penambahan kementerian, melainkan memastikan bahwa penunjukan pejabatnya berdasarkan kompetensi dan profesionalisme, bukan semata-mata kepentingan politik.
Pemerintahan Prabowo-Gibran harus mampu menjawab tantangan ini dengan membentuk kabinet gemuk ini yang berorientasi pada hasil, sehingga penambahan kementerian justru memperkuat, bukan melemahkan, kinerja pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H