Presiden Joko Widodo sendiri seperti biasa tidak berkomentar banyak, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden terpilih yang sudah diberi amanah oleh publik.
Sedangkan perihal kabinet zaken, Jokowi mendukung penuh atas kabinet yang bekerja merupakan orang yang lebih profesional dan ahli dibidangnya.
Memang jika berkaca pada masa pemerintahanya, mayoritas posisi menteri diduduki dan dipilih berdasarkan kepentingan politik saja, bukan berdasarkan kapasitas dan kompetensinya. Apakah situasi tersebut dihentikan atau terjadi kembali di masa pemerintahan yang baru ini?
Pernyataan Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani, tentang rencana restrukturisasi kabinet menimbulkan kekhawatiran akan potensi pembengkakan birokrasi dan inefisiensi.
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi akan berganti nama menjadi Kementerian Koordinator Hilirisasi dan Investasi, dengan fokus baru pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan akan dipecah menjadi dua kementerian terpisah, yaitu Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan serta Kementerian Koordinator Hukum. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga akan dibagi menjadi dua kementerian: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.
Urusan kebudayaan akan ditangani oleh Kementerian Pariwisata, sementara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan dipecah menjadi Kementerian Hukum dan Kementerian HAM. Terakhir, Kementerian BUMN diusulkan dihapus dan digantikan oleh perusahaan induk ala Tamasek Holding.Â
Potret Inefisiensi dan Ancaman Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan
Wacana pembentukan kabinet gemuk merupakan langkah mundur yang mencederai prinsip efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Penambahan jumlah kementerian hanya akan menciptakan sarang bagi menteri-menteri medioker yang dipilih berdasarkan kepentingan politik, bukan kompetensi.
Akibatnya, kebijakan publik akan semakin tidak berkualitas dan publiklah yang dirugikan. Koordinasi antar kementerian pun akan semakin rumit dan rawan konflik kepentingan. Anggaran negara akan tersedot untuk membiayai birokrasi yang membengkak, sementara pelayanan publik terancam terbengkalai.
Lebih parah lagi, kabinet gemuk berpotensi menjadi ladang subur bagi praktik KKN. Ini jelas bertentangan dengan janji reformasi birokrasi dan menunjukkan pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan publik.
Dalam konteks politik, representasi kepentingan partai di kabinet justru berpotensi mengorbankan efektivitas. Semakin besar akomodasi kepentingan politik dalam kabinet, semakin rendah tingkat efektivitas pemerintahan. Seperti kabinet sebelumnya yang menunjukkan bahwa menteri dari partai politik sering terlibat dalam penyelewengan kebijakan dan program pemerintah.