Dewi pun kaget dan menarik tangan puteranya dengan kuat.
"Minggat kemana le? Kamu nggak sayang sama ibu apa?"
Bimo menoleh ke arah ibunya.
Dia tatap wajah wanita berusia 48 tahun yang masih terlihat cantik dan anggun di usia senjanya.
"Bu, aku ini laki-laki. Aku berhak menentukan hidup ku sendiri! Jangan atur aku seperti anak kecil bu," jawab Bimo dengan nada kuat.
Dewi mendengus kesal.
"Ya tapi nggak seperti ini le! Kamu nggak bisa pergi dari rumah gitu saja! Kamu ini punya orang tua!"
"Orang tua macam apa yang selalu maksa anaknya untuk ikuti kemauannya bu! Sudahlah lebih baik aku pergi! Toh bapak juga nyuruh aku pergi," jawab Bimo dengan wajah muram.
Dewi terdiam, kedua matanya tanpa dia sadari mulai mengalir air mata hangat yang membasahi wajahnya.
Bimo sebenarnya tak sampai hati meninggalkan ibunya, namun karena dia sudah memiliki rencana sendiri dalam hidupnya yang belum dia beritahukan kepada ibunya.
Terpaksa dia memberitahukan kepada ibunya sekarang.
Dia buka tas koper yang ada di depannya.
Melihat puteranya yang keukueh ingin pergi, membuat Dewi merasa tak bisa menghalanginya lagi.
Terpaksa dia mengikhlaskan kepergian putera keduanya saat ini.
"Ya sudah, kamu boleh pergi. Tapi mau pergi kemana?"
Bimo mengambil sebuah berkas dari dalam tas kopernya, lalu dia berikan kepada ibunya berkas tersebut.
Dewi membaca berkas tersebut dengan cepat, dan wajahnya langsung terlihat kaget.
"Ka-ka-kamu ka-ka-kapan le ikut ujian di UGM?" tanya Dewi dengan wajah kaget.
"Dua bulan lalu aku sudah ikut ujian bu, dan pengumumannya empat hari lalu saat sedang ikut tes ketentaraan. Ini hari terakhir daftar ulang, tapi aku sudah transfer uang tadi malam. Tinggal registrasi langsung kesana," jawab Bimo dengan pelan.
Dewi benar-benar kaget tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengarkan.
Dia tidak menyangka jika ternyata puteranya diam-diam mengikuti ujian masuk di kampusnya dulu hingga lolos secara diam-diam tanpa dia ketahui.
Itu artinya puteranya ini sudah memiliki rencana sendiri dalam hidupnya, dan dia tidak bisa mengekang puteranya terus menerus jika seperti ini.
Dewi langsung terlihat lemas.
Betapa tidak lemas, selama ini bisnis penjualan property dan pabrik bajunya dibantu oleh putera keduanya ini.
Khususnya di periklanan, Bimolah yang membantu memproduksi iklan-iklan untuk ibunya selama ini.
Tiba-tiba Bimo memegang telapak tangan ibunya.
"Ibu nggak usah khawatir, iklan rumah sama iklan baju-baju ibu tetap aku yang buat. Semua bisa ku kerjakan dari jauh, cuma untuk distribusi baju sama yang lain ibu harus menyuruh Penceng sama Andi. Aku nggak bisa bantu lagi," ucapnya perlahan.
Dewi mengusap wajahnya.
Dia menangis haru kali ini.
Dia menangis karena akan berjauhan dengan puteranya, dan yang kedua dia bangga salah satu puteranya ada yang berhasil menembus kampusnya dulu.
Akhirnya dia berusaha ikhlas, karena bagi dia ini mungkin memang yang terbaik untuk putera keduanya ini.
"Ya sudah, kamu tinggal di rumah bude mu saja gimana?" tanya Dewi sambil menatap wajah puteranya.
Bimo berfikir sejenak setelah mendengar ucapan ibunya.
"Tunggu dulu, jangan pergi dulu," ucap Dewi yang kemudian membalikkan badan dan berjalan menuruni anak tangga menuju ke kamarnya.
Bimo tidak tahu apa yang dilakukan ibunya, namun dia menutup pintu kamarnya dan memberikan kiss by ke arah pintu kamar.
Setelah itu dia balikkan badan dan menuruni anak tangga menuju ke lantai bawah.
Dia lihat ketiga adiknya sudah berdiri di depan mobil, begitu juga dengan Rita yang nampak masih menunggu dirinya.
Buru-buru dia mendatangi kakak sepupunya tersebut.
"Sudah yuk berangkat, anterin aku ke terminal setelah anter bocil-bocil ini," ucap Bimo.
Arjuna dan kedua adiknya segera masuk ke dalam mobil.
Namun tidak dengan Rita yang masih menunggu buleknya keluar dari dalam rumah.
"Mbak ayo buruan," bisik Bimo sambil menatap Rita.
Rita mendelik kedua matanya.
"Nggak bisa gitu, tunggu ibu mu dulu," ucap Rita.
Bimo segera masuk ke dalam mobil lalu duduk di jok depan.
Tidak lama kemudian Dewi keluar dari dalam rumah sambil membawa lima bendel kunci yang diikat karet.
"Mana Bimo Rit?"
"Di dalam bulek," jawab Rita.
Dewi meminta Bimo membuka jendela kaca, dan Bimo membukanya pelan.
"Le ini kunci rumah bude mu, kamu tinggal di sana aja ya. Nanti ibu telepon bude mu," ucap Dewi dengan wajah yang masih terlihat menegang.
Bimo menerima kunci tersebut dan memasukkan ke dalam saku celananya.
"Ya sudah, pamit dulu bu," ucap Bimo lalu mencium tangan ibunya.
"Kamu sudah bawa duit kan?" tanya Dewi.
"Sudah," jawab Bimo.
Dewi tersenyum dengan wajah kecut.
Kali ini dia mendadak harus berpisah dengan putera keduanya.
Putera yang menurutnya paling bisa membantu dirinya dalam mengelola bisnisnya saat ini.
***
Sepanjang jalan menuju ke sekolah, Bimo memberitahu ketiga adiknya agar berani menghadapi bullyan dari kawan-kawannya dengan gagah berani.
Dia pun berjanji akan pulang kembali ke rumah setelah bapaknya kembali berdinas ke Surabaya, karena untuk saat ini dia malas bertemu dengan bapaknya.
Ketiga adiknya pun merasa lega karena tahu kalau kakaknya tetap akan sering pulang ke Madiun.
Dua puluh menit kemudian, usai mengantar ketiga adiknya ke sekolah.
Sampailah Bimo di terminal kota Madiun.
Dia turun sendiri dari mobil sambil membawa tas ransel yang ada di punggungnya, dan satu tas lagi ada di genggaman tangan kanannya.
"Dek jangan lupa telepon ibu kalau sampai ya!" teriak Rita dari dalam mobil.
"Iiiiyooiiii," jawab Bimo sambil berlalu pergi.
Dia berjalan menuju ke dalam terminal.
Mengenakan kaos putih ketat, celana jeans hitam, kulit kuning bersih, jenggot sedikit tebal dengan rambut cepak membuat penampilannya sangat mirip dengan penyanyi Marcel.
Terlihat keren dan macho sekali, hampir semua wanita di terminal menatap gayanya yang sangat mencolok dan berbeda dengan pria lain di dalam terminal.
"Solo Jogja Solo Jogjaaa!" teriak kondektur bis dengan kuat.
"Jogja pak?" balas Bimo dengan teriakan lebih kuat.
"Yo mas, ayo masuk!" panggil si kondektur sambil melambaikan tangan ke arah Bimo.
Bimo pun menganggukkan kepala dan berjalan lalu segera masuk ke dalam bis yang mulai bergerak untuk berangkat menuju kota Jogja.
Dia cari kursi kosong di sebelah kiri yang bisa digunakan dua penumpang, dan duduk di samping jendela kaca bis.
Tidak lama bis pun berangkat meninggalkan kota Madiun.
***
Satu jam kemudian, saat bis masuk ke terminal Ngawi.
Tiba-tiba naik seorang gadis cantik berusia 23 tahun, tinggi badan 160 cm, berat badan 58 kg, berambut hitam lurus yang diikat seperti buntut kuda.
Kulitnya putih bersih, bibir merah menggunakan lipstik, alis rapi seperti baru disulam, hidung sedikit mancung, gigi putih rata, dan nampak dari dandanannya dia bukan anak Ngawi.
Sekilas wajahnya sangat mirip dengan chef wanita yang biasa tampil di TV, yaitu chef Renatta Moeloek.
Bimo awalnya cuek saja karena merasa tidak kenal dan tidak tahu siapa gadis ini, namun tiba-tiba si gadis mendatangi dan meminta dirinya untuk menggeser duduknya.
"Mas e, biso geser sitik wae ora? Saya pengen duduk dekat jendela je," pinta si gadis sambil berdiri dan menatap wajah Bimo.
Merasa bahwa kursi tersebut memang untuk dua orang, terpaksa Bimo perbolehkan wanita ini duduk di sampingnya.
"Oh ya, silakan."
Bimo lalu menggeser duduknya dan memberi tempat kepada si gadis untuk duduk di dekat jendela.
"Aneh, kursi yang kosong masih banyak. Kenapa dia pengen duduk di samping ku," gumam Bimo dalam hati.
Bimo termasuk pria pendiam.
Dia cenderung pasif dan membiarkan orang lain untuk mulai pembicaraan lebih dulu.
Kedua matanya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat sudah sampai manakah perjalanan dirinya saat ini.
Si gadis nampaknya gatel karena tidak diajak bicara oleh Bimo, dan tiba-tiba saja dia yang mengajak bicara lebih dulu.
"Namane sampean sapa mas e?" tanya si gadis sambil mengajak Bimo berjabat tangan.
Bimo menoleh ke arah si gadis dan menjabat tangannya.
"Bimo, mbak e siapa?"
"Angelica," jawab si gadis sambil memegang sedikit erat tangan kanan Bimo.
"Punya nomer HP nggak mas e?" tanya Angelica lagi.
"Ada, ini handphone ku," jawab Bimo sambil menunjukkan handphone miliknya kepada Angelica.
"Wooww iPhone dua puluh jutaan ya itu hargane," sahut Angelica yang takjub melihat HP milik Bimo.
Bimo hanya tersenyum lalu memasukkan kembali HP miliknya ke dalam saku celana.
Angelica tiba-tiba menuliskan sebuah chat di HP miliknya sendiri lalu dia tunjukkan kepada Bimo isi chatnya.
"Mas, gelem ora aku tunjukne te**k ku tapi wenehi aku duit 50 ribu," bunyi isi chat tersebut.
Bimo membaca isi chat tersebut, dan kagetlah dia sampai mendelik kedua matanya.
"Apaan sih mbak, nggak maulah aku," ucap Bimo dengan wajah mengkerut.
Wajah Angelica nampak kecewa, dia lalu mengambil HP miliknya dari tangan Bimo dan berdiri dari duduknya.
Dia kemudian berjalan meninggalkan Bimo untuk duduk di bangku depan yang ada seorang pria muda yang duduk sendirian.
Bimo melihat dari bangku belakang, nampak Angelica mulai melobi si pria.
Dan tanpa perlu waktu lama, si pria nampak menyetujui apa yang Angelica tawarkan.
Bimo melihat dari kejauhan apa yang dilakukan dua anak manusia yang ada di depannya.
Tangan si pria nampak masuk ke dalam kaos Angelica lalu meraba-raba isi di dalam kaos, terlihat wajah si pria nampak penuh senyum.
Tidak lama setelah itu si pria menarik tangannya dan memberikan selembar uang Rp 50.000,-
Bimo sedikit kaget melihatnya.
Dia merasa kasihan karena demi mendapatkan uang Rp 50.000,- Angelica rela kedua dadanya dipegang dan diremas-remas oleh pria yang tidak dia kenal.
Namun berhubung dia memang tidak kenal dan tidak tahu siapa gadis itu, dia cueki saja apa yang sudah dilakukan Angelica dengan pria lain yang ada di depannya.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja hatinya berontak dan mengatakan dirinya harus membantu Angelica.
Setelah diam dan berfikir sejenak, hatinya mengatakan tak ada salahnya dia membantu wanita yang membutuhkan bantuannya.
Bimo lalu memanggil Angelica.
"Mbak Angel! Sini!" teriak Bimo dengan nada agak kuat.
Angelica menoleh ke arah Bimo.
"Sabar, satu-satu," jawab Angelica sambil melihat ke arah Bimo.
Usai melayani si pria, Angelica lalu berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke kursi Bimo.
"Pie mas e? Gelem lima puluh ribu wae?" tanya Angelica sambil duduk di samping Bimo.
Bimo lalu mengeluarkan uang dari dalam saku celananya.
Dia berikan uang kertas seratus ribu sebanyak dua lembar kepada Angelica.
"Nggak usah, ini aku kasih dua ratus. Mbak Angelica silakan turun dan gunakan uang ini untuk membeli makan," ucap Bimo sambil menaruh uang ke tangan kanan Angelica.
Angelica nampak kaget.
Kedua tangannya langsung memegang erat uang yang diberikan Bimo kepadanya.
Angelica lalu menghela nafas panjang.
"Aku buka aja ya, kamu intip punya ku," tawar Angelica yang tiba-tiba mengangkat kaosnya hingga terlihatlah kedua pa***** miliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H