Besoknya di hari Kamis, hari ke lima, suami kembali masuk kantor. Tinggallah saya berdua dengan si ganteng di rumah. Dengan sisa-sisa tenaga, saya mencoba bikin bubur yang dicampur dengan irisan wortel, bakso dan telur. Saya bujuk-bujuk si ganteng agar mau makan walau hanya bisa masuk beberapa suap.Â
Di hari itu saya berpikir ini sepertinya sudah aneh, demamnya sudah lima hari. Nggak bisa dibiarkan. Saya pun menghubungi sebuah rumah sakit swasta lainnya yang berbeda dari yang pertama, yang letaknya juga tak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Menanyakan apakah ada dokter anak yang praktek hari itu. Ternyata ada, tetapi jam prakteknya cuma 1 jam, jam 3-4 sore.Â
Kemudian saya hubungi suami, meminta ijinnya. Suami pun mendukung, dan bilang akan ijin ke atasannya untuk segera menyusul ke rumah sakit.Â
Saat saya dan anak saya sampai di rumah sakit, beberapa prosedur harus dilewati sebelum masuk. Ada beberapa formulir yang harus kami isi. Jadi tidak bisa sembarang orang masuk ke dalam
 Beberapa prosedur yang agak ribet memang kami rasakan selama tiga kali ke rumah sakit selama wabah ini. Dalam situasi seperti ini, wajar saja menurut saya.Â
Ini rumah sakit ke tiga yang kami datangi dalam 4 hari.Â
Saat masuk ke dalam rumah sakit, saya cukup kaget. Suasananya yang biasanya begitu ramai, nampak sangat sepi. Kursi-kursi tunggu tampak nyaris kosong. Terlihat sangat jauh berbeda dengan sebelum adanya pandemi. Beberapa petugas di bagian pendaftaran dan kasir tampak terlihat bersantai, karena memang tidak ada pengunjung yang dilayani. Adanya wabah dan ketatnya aturan di rumah sakit saat ini, sepertinya membuat orang enggan dan cenderung menghindari rumah sakit. Saya pun sebenarnya seperti itu. Kalau tidak terpaksa sekali, mendingan di rumah aja.
Saat mengantre di poli anak, hanya ada 3 pasen, dua balita dan anak saya. Aroma tegang dan kaku sangat kental terasa. Semua perawat jaga menggunakan alat perlindungan berlapis-lapis, sarung tangan, juga face masker yang ada kaca plastiknya mirip helm.Â
Tiba waktunya masuk ke ruang dokter. Aroma tegang tak berkurang. Apalagi ternyata dokter ini memang aslinya memiliki gaya bicara sedikit kaku  (itu saya rasakan setelah beberapa hari berinteraksi dengan sang dokter selama anak saya dirawat).
Berhadapan dengan sang dokter, kembali saya menjelaskan riwayat sakitnya si ganteng, sembari saya tunjukkan rekam medis dari 2 rumah sakit sebelumnya. Sang dokter juga sempat bertanya, di daerah mana suami saya bekerja, dan apakah ada rekan kerja suami yang terpapar COVID-19. Sejujurnya tidak ada rekan kerja suami yang terpapar. Kalau ada, tidak mungkin perusahaan tinggal diam.
Lalu, kembali harus dilakukan, kali ini dengan rapid test juga. Dokter menduga kemungkinan demam berdarah, atau thypus. Untunglah tidak perlu Rontgen lagi. Tapi saat sampai di laboratorium, diinformasikan bahwa karena suadah sore, saya harus mendaftar lagi lewat UGD kalau hendak rapid test..Ya sudahlah, nggak usah rapid test saya bilang, test yang lainnya aja dulu.Â