Jangan tanya selera makan saya. Sudah lenyap sejak suami saya sakit di hari Jumat tanggal 10 April. Tapi saya paksa diri saya untuk makan. Kadang saya bantu dengan minum air agar makanam di mulut saya bisa tertelan. Sampai segitunya? Iya. Begitulah rasanya saat orang yang sangat kita kasihi jatuh sakit.Â
Saya pun memaksa diri untuk tetap sehat. Caranya dengan minum vitamin, makan teratur walau tak berselera, minum air putih yang banyak, minum jamu buatan saya sendiri, susu, madu, dan apa saja yang bisa saya telan, dan bikin sehat.
Jadi, apa saja saya makan, saya minum. Nggak penting lagi.masalah rasa. Saya memotivasi diri saya sendiri bahwa saya harus sehat. Sebab kalau saya sampai sakit juga, benabe sudah...Â
Tidak lupa, ini yang penting, saya dan suami terus berdoa. Lagu-lagu rohani serta kotbah-kotbah pendeta melalui YouTube, menjadi tontonan wajib kami sepanjang beberapa hari itu. Bukan apa-apa, bukan sok pamer rohani. Tapi kedekatan pada Tuhan menjadi kekuatan kunci di saat menghadapi masa-masa krisis seperti ini. Kotbah-kotbah pendeta memberi kekuatan pada jiwa yang mulai lelah, mengingatkan terus bahwa kita masih punya Tuhan, dan mukjizat itu masih ada.
Di hari Selasa itu kami mencoba bertahan untuk tidak membawa ke rumah sakit rujukan. Kami masih berharap demamnya turun dan tubuhnya kembali normal.
Hari ke empat
Namun ternyata harapan saya belum terkabul. Sampai keesokan harinya di hari Rabu, demamnya tak juga turun. Berarti sudah masuk hari ke empat. Akhirnya kami putuskan untuk membawa "si ganteng" ke sebuah rumah sakit rujukan COVID-19.
Di rumah sakit ini, suasananya tidak se-kaku rumah sakit swasta yang kami datangi sebelumnya. Dokter yang berjaga terlihat santai, bahkan banyak melontarkan kalimat-kalimat positif dan penuh semangat pada kami.
"Jangan panik, yang penting tetap semangat, " begitulah salah satu kalimat sang dokter di tengah-tengah pembicaraan kami di ruang UGD.
Setelah menunjukkan hasil pemeriksaan dari rumah sakit sebelumnya, sang dokter memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang, baik tes darah maupun rontgen paru-paru.
Standar waktu yang dibutuhkan masih sama. Kami harus menunggu lebih kurang dua jam untuk mendapatkan hasilnya. Selama itu suami membawa anak saya menunggu di luar rumah sakit. Karena situasi di dalam terasa sedikit horor. Terlihat beberapa pasien batuk-batuk. Bahkan ada seorang wanita muda yang terus-terusan batuk selama kami beberapa jam di situ.