Sang lelaki,
Pagi ini aku memandanginya kembali. Dari balik jendela kusamku, kutelusuri perjalanannya menuntun sepeda dari ujung jalan sana.
Pelan-pelan laksana aliran garis lurus tak terputus.
Sepeda kumbangnya ia tuntun di samping tubuhnya yang terbungkus setelan biru tua dan biru muda. Aku rasa, itu adalah seragamnya karena begitulah setiap hari mataku menangkap bayangannya dari atas jendelaku ini.
Rambutnya dikepang dua. Rapi. Jalannya lurus ke depan, nyaris tak pernah menoleh ke kanan dan ke kiri. Nampaknya ia sangat percaya diri sekali.Â
Dari sisi pandanganku yang rada menyamping, perempuan itu bak siluet ke samping. Kadang langkahnya seperti bayangan atau cermin yang memantul. Sepeda kumbang yang ia tuntun sebagian tertutup tubuh mungilnya.
Pagi seperti lebih berwarna dan bersuara indah lagi. Keelokan seorang perempuan yang nyaris tanpa kosmetika itu justru membuat aku terpana. Ia membuat mataku tak berkedip, tangan yang menopang daguku enggan berlalu menemani.Â
Bahkan mentari pagi yang kadang sinarnya menggoda menyengat, tak terlalu aku pedulikan. Yang penting pemandangan ini benar-benar bisa aku nikmati.
Pernah sekali waktu, tepat di tengah-tengah tembok memanjang bekas pabrik tua itu, ia mendadak berhenti. Aku yang semula menikmati segala bentuk yang dikerjakannya, sempat menarik diri ke dalam.Â
Tidak ingin ketahuan dalam kertekagumanku padanya. Selama ini aku memang tak pernah mendapati kepalanya mau menoleh ke arahku. Takutnya, saat itu ia menoleh ku tak siap ia mendapati ada aku di tempat ini.Â
Bukan karena takut dibilang pengecut, tapi pasti kekagetannya akan membuyarkan kenikmatan pada keelokan semua yang ia miliki selama ini. Tapi, ternyata dia berhenti hanya untuk membenarkan ban depannya. Mungkin sedikit gembos atau kurang angin.Â
Aku sempat ragu-ragu tak ingin menikmati keindahannya lagi, tetapi ketika perempuan itu kembali berdiri dan beranjak sedikit, bayangnya itu mengajakku untuk kembali memandangnya. Dari atas jendelaku ini.
Selanjutnya, perempuan itu kembali melangkah. Tanpa menoleh. Pelan-pelan. Dan, aku memberanikan diri memunculkan wajahku lagi di balik jendela.
Hhh...
Dia memang indah.
Tak terbendung kalimat dan yang bisa kuceritakan pada seluruh alam yang telah membawanya kepadaku.
Keanggunan yang berbalut kesahajaan menghipnotisku untuk terus memandanginya sampai menghilang di balik tembok panjang, bekas pabrik tua itu...
^^^^^
Senja berselimut jingga ini mengajakku untuk menikmati keindahannya yang lain. Keindahan yang terpancar dari seorang perempuan yang senja ini pasti akan kembali dari kerjanya. Menuntun sepeda dan mengibarkan bayangan, pesaing senja yang selalu kukagumi.
Pagi dan senja kini menjadi kenikmatan tersendiri untuk kurasai. Sepenuh hati. Tak perlu takut ada yang menghalangi. Sebab dari atas jendela ini, adalah tahtaku yang tak mungkin diambil alih. Tempat ini milikku seutuhnya.
Belum semenit otakku menggambarkan yang bakal terjadi, mataku menyatakan bayang ini sudah mulai berjalan pelan dari ujung tembok itu menuju ujung tembok satunya lagi.
Tanpa kubuang waktu, kepalaku tersembul dari jendela ini.
Ya. Perempuan itu benar telah datang dari arah berlawanan jika pagi menjelang. Itu bertanda ia baru pulang dari tempatnya bekerja.
Jendela ini menjadi saksi betapa kemurahan hati sang alam membawa pesona perempuan bersahaja itu hingga tertangkap mata. Kesengajaan atas suatu hari bisa menangkap bayangnya bersama sepeda kumbang itu rasanya patut aku syukuri.Â
Benar kusuyukuri. Kehadirannya dalam diam membasuh sebentuk jiwa lelah. Jiwa merana yang hanya mampu mengibarkan asa dari balik jendela kusam diantara jendela-jendela lain dalam perkampungan rapat, tak beraturan ini.Â
Jendela yang menjadi mediator bisu akan asa terdalamku. Meski tanpa suara, aku pikir udara kayu yang sekali waktu terbawa angin, bisa jadi membisikkan ke telinga perempuan itu bahwa ada pemuja rahasianya menatap penuh rasa dari atas jendelanya.
Bersyukur juga karena Ayah membuat jendela ini lebih sedikit tinggi dari jendela lain sehingga seratus persen tertuangkan keelokan perempuan itu.Â
Padahal di belakangku cuma ruang kosong. Rencananya akan dijadikan gudang. Rumah ini sudah terlalu sempit dengan manusia penghuni yang bertambah sementara barang pun sedikit demi sedikit juga menumpuk. Biar rumah kami kecil dan berdempet, tetapi kami juga ingin rumah ini sedikit terlihat rapi.
Hhh...
Bola mataku mengikuti segala langkah yang dilakukan perempuan berkepang dua itu.
Tuntunan perempuan itu pada sepeda kumbangnya tak berubah sejak pertama kudapati dia. Pelan-pelan. Beraturan. Bak irama kaki pada padanan not balok.
Aku tak seberapa mengerti ilmu seni satu itu. Yang jelas, langkahnya itu seperti pengganti lagu yang diputar kencang radio tetangga sebelah.
Ahhh... Perempuanku.
Sekiranya aku diperbolehkan, maukah kau mengajarkan aku langkah kakimu yang berirama itu?
^^^^^
Aku mendapatinya kembali hari ini.
Seperti biasa. Badannya lurus ke depan, menuntun sepeda, menyusuri tembok panjang dan pelan-pelan.
Tapi, hei..., dia berdua bersama peremuan lainnya. Nampaknya mereka sangat akrab, bisa jadi mereka bersahabat.
Ada gerakan bibir yang melebarkan senyum keduanya. Â Bahkan telingaku mendengarkan sebentuk tawa riang dari mereka. Meski tak jelas mereka mentertawakan apa, tapi terlihat kegembiraan terpancar dari wajah mereka.
Teman perempuannya itu orangnya lebih kurus. Berambut pendek. Dia sama mengenakan setelan biru tua dan biru muda. Jadi menguatkan atas tebakanku barusan bahwa mereka berteman.
Menurut Ayah kemarin, di ujung jalan setelah jalan yang dilalui perempuan bersepeda itu memang ada sebuah pabrik. Pabrik ini konon adalah pesaing bekas pabrik tua yang temboknya memanjang itu.Â
Di sana banyak pekerja. Di sana pula sering terjadi demonstrasi karena minta kenaikan upah. Herannya, tetap saja pabrik berproduksi, pekerja bertambah. Ayah bilang, bisa jadi mereka akan melebarkan sayap.
Seandainya aku bisa, tentunya sangat menyenangkan jika aku bisa membuktikan yang diceritakan Ayah itu. Sekaligus menunggui perempuanku satu itu. Mengantar jemput dan mendukung demonstrasi kenaikan upah untuk perbaikan hidupnya.
Tapi, bagaimana mungkin?
Tatap mataku kembali tertuju pada dua perempuan di bawah sana. Mereka masih asyik bercengkerama. Betapa riangnya. Mungkinkah mereka mendapatkan kebahagiaan sebelumnya?
Sekilas kepala perempuan itu mengarah ke jendelaku ini. Aku terkaget-kaget dibuatnya. Tidak menyangka ia mau menoleh sejenak meski aku tak yakin matanya juga mengarah ke sini.
 Ah, ini adalah kali pertama kepala perempuan itu sedikit mengarah ke arahku.
Dan, oh Gusti... Giginya sangat putih berjejer rapi. Senyumnya jadi begitu manis dan memunculkan keharuman lain dari pesonanya yang tak habis kukagumi.
Dia sungguh-sungguh perempuan memesona.
Adakah aku diberi kesempatan buat lebih mengenalnya.
^^^^^
Hidup memang telah diatur oleh Sang Maha Pengatur.
Kehadiran manusia seperti diskenariokan tak habis olehNya. Kelahiran, pertemuan dan perpisahan memang sungguh menjadi bagian tak terpisahkan. Bila semuanya harus hadir, tak ada yang mampu menolaknya bahkan meminta ijin untuk sekadar mengulur waktu.
Seperti ufuk yang memanggil matahari lalu matahari memanggil senja dan akhirnya senja memanggil bulan, semua telah diatur olehNya.Â
Mahluk dan alam semesta cuma bisa menjalankan sebaik-baiknya. Kegundahan yang menyertai hanya buat sementara karena dariNya juga semua akan menjadi pulih, menjadi baik meski ada luka karenanya.
Sang perempuan,
 Di ujung jalan perempuan berambut kepang dua itu berhenti sejenak.
Tembok panjang yang setiap hari ia lalui itu ada tulisan besar, "Di sini akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan terlengkap di Asia". Bibir perempuan itu melafalkan kalimat itu lamat-lamat. Dia terdiam buat sekedar menyimak.
Berarti tembok ini akan dihancurkan tak lama lagi. Ada rasa sedih mengalir dari dalam dirinya. Sedih karena harus berpisah pada sebentuk saksi mata atas kesehariannya selama ini.
Dan, tanpa disuruh, kepalanya menoleh ke kanan agak mendongak sedikit. Dia tertegun sejenak. Ada yang sepertinya menghilang dari pandangan. Bahkan dari dalam kalbu, dia tak menemukan sebuah rasa kuat yang selalu membisikkan bahwa ada  seseorang yang sedang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Walaupun tak pernah berani ia buktikan, tapi tiap kali jalan ini ia lewati, bisikkan itu selalu kencang ia rasa.
Kepala perempuan itu mulai mencari ke kanan ke kiri. Seperti ingin memastikan apakah rasa itu memang sekadar rasa, atau...
Mata perempuan itu menaruh serius pada sebentuk tumpukan abu asap di hadapannya, agak maju ke depan. Di sana memang terlihat jelas bekas kebakaran di sebuah perkampungan kumuh yang mengelilingi.Â
Asap yang masih mengepul sepertinya hendak menunjukkan bahwa kejadian itu belum lama terjadi. Beberapa orang, nampak juga memungut barang-barangnya yang masih bisa diselamatkan.
Perempuan itu bergegas mendatangi. Sepeda ia parkir di dekat jalan menuju kampung yang terbakar itu. Dia jadi berkehendak masuk dan memperhatikan ada apa sebenernya.
"Ada kebakaran di sini, Bu?" tanyanya pada seorang Ibu yang tengah mengorek-ngorek onggokan barang yang terbakar.
"Iya, Neng. Tadi malam hingga subuh." Ibu itu terus mengkorek-korek.
"Karena apa?"
"Nggak jelas, Neng. Tapi, dengar-dengar karena tanah sepanjang kampung ini akan dibuat mol. Tapi, kami nggak mau karena uang gantinya kecil."
"Mol?"
Kepala Ibu itu mengangguk. "Termasuk bekas pabrik besar di depan sana. Katanya sih mol terbesar di Asia. Tapi, nyusah-nyusahin kami."
Perempuan muda itu tidak meneruskan obrolannya. Dia hanya memandangi sekitar tempat yang telah menjadi abu itu.
Ludes.
Nyaris tak bersisa.
Bersamaan itu pula terasa ada yang hilang dari dalam diri perempuan muda berkepang dua. Hatinya mendadak sedih, tak bersuara. Kehilangan ini tak mampu ia ujarkan dengan kata.
Hilang begitu saja.
Hilang seperti terbakar selaksa kayu yang terbakar api lalu menjadi abu... (anj21)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H