Belum semenit otakku menggambarkan yang bakal terjadi, mataku menyatakan bayang ini sudah mulai berjalan pelan dari ujung tembok itu menuju ujung tembok satunya lagi.
Tanpa kubuang waktu, kepalaku tersembul dari jendela ini.
Ya. Perempuan itu benar telah datang dari arah berlawanan jika pagi menjelang. Itu bertanda ia baru pulang dari tempatnya bekerja.
Jendela ini menjadi saksi betapa kemurahan hati sang alam membawa pesona perempuan bersahaja itu hingga tertangkap mata. Kesengajaan atas suatu hari bisa menangkap bayangnya bersama sepeda kumbang itu rasanya patut aku syukuri.Â
Benar kusuyukuri. Kehadirannya dalam diam membasuh sebentuk jiwa lelah. Jiwa merana yang hanya mampu mengibarkan asa dari balik jendela kusam diantara jendela-jendela lain dalam perkampungan rapat, tak beraturan ini.Â
Jendela yang menjadi mediator bisu akan asa terdalamku. Meski tanpa suara, aku pikir udara kayu yang sekali waktu terbawa angin, bisa jadi membisikkan ke telinga perempuan itu bahwa ada pemuja rahasianya menatap penuh rasa dari atas jendelanya.
Bersyukur juga karena Ayah membuat jendela ini lebih sedikit tinggi dari jendela lain sehingga seratus persen tertuangkan keelokan perempuan itu.Â
Padahal di belakangku cuma ruang kosong. Rencananya akan dijadikan gudang. Rumah ini sudah terlalu sempit dengan manusia penghuni yang bertambah sementara barang pun sedikit demi sedikit juga menumpuk. Biar rumah kami kecil dan berdempet, tetapi kami juga ingin rumah ini sedikit terlihat rapi.
Hhh...
Bola mataku mengikuti segala langkah yang dilakukan perempuan berkepang dua itu.
Tuntunan perempuan itu pada sepeda kumbangnya tak berubah sejak pertama kudapati dia. Pelan-pelan. Beraturan. Bak irama kaki pada padanan not balok.