DI TANAH LAPANG, di tempat yang telah dijanjikan, pada waktu yang telah ditentukan. Dengan kebencian yang telah lama bersemayan di jantung sisi kanan, dan dendam yang mengaum di jantung sisi sisanya , Ametung --yang parasnya mulai berkerut-- melantangkan serak kesumat ke langit. Berseolah lawan tandingnya, Arok, berada di depannya.
Dengan angkara tak tertahan, menderas hujan menusuk wajah serta petir menjilat-jilat, menggelegar, tak terhiraukan lagi. Ametung menghunjamkan tombak ke bumi, bersimpuh kemudian mengacungkan keris ke langit. Sejurus kemudian dia menumpahkan kesumpekan, menyerapah dan mengutuk, menerjang-nerjang, meraung-raung…
“Arok! Manusia macam apakah dirimu! Merendahkan martabat para ksatria dengan mengobrak-abrik bahtera kerajaanku. Lalu, dengan penuh muslihat kaucuri permaisuriku dari singgasana. Tak adakah jalan kehidupanmu lebih mulia, kecuali kau isi dengan petaka? Arok, sejak semula aku tak percaya semua omongan adipati, perwira, punggawa, dan telik sandi bahwa kau bukan manusia!"
“Namun sejak kejadian ini…. Binatang! Muslihat apakah yang kau gunakan sampai permaisuriku serta merta, seakan penuh kerelaan berpaling dariku ke pelukan berandalan yang berleluhur tak jelas, sepertimu!
“Arok! Tidakkah kau malu pada dirimu sendiri bahwa tindakanmu ini penuh kenistaan? Tidakkah kau rasakan kepedihan hati ini, ditelikung istri atas nama bujuk rayu musuh besarnya?! Bukankah kau juga lelaki, Arok?! Tak pernahkah kau rasakan keperihan dikhianati sigaraning nyawa?! Tidakkah tersirat dalam benakmu yang cemerlang itu, pada saatnya pelacur ini akan berkhianat untuk kali kedua demi sekeping takhta atau apa pun namanya?”
Emosi Ametung makin pekat. Air mata mengintip dari kerut kelopak mata, hendak merinaikan butiran-butirannya. “Duhai Dedes, jangan pernah kau ulang khianatmu kepada siapa pun. Tidak juga pada seekor anjing, bahkan demi nirwana sekalipun. O Dedes, pergilah kau dengan kutukanku!”
Seketika, petir menjilat keris Ametung. Kecupan petir di pucuk lengkung kerisnya menimbulkan gelegar, menulikan telinga siapa pun di sekitarnya. Kilauan petir cuma menyisakan silau beberapa jenak di mata Ametung. Untung, semua patih, punggawa, perwira, dan para pengawal dari pakuwuan sejak semula telah sumingkir begitu sang akuwu dari Tumapel itu mengumbar angkara.
“Akuwu!”
Demi mendengar suara tak asing lagi di telinganya dan melihat sosok Arok, Ametung beringsut tegak dengan kedua kakinya, seraya merapikan diri. Seketika, ia menyimpan rapi air mata, serta menata hati dan pikiran selayaknya ksatria.
“Tak adakah perilaku seorang raja yang lebih bersahaja, selain menceracau dan mengumbar rasa belaka seperti seorang pemuda bercerai dari pasangannya? Tak adakah perkara yang lebih menyita perhatianmu selain masalah wanita?”
Sindiran Arok membuat Ametung yang hampir kuasa mengatasi dirinya makin tajam menombakkan pandang ke arah musuh besarnya. Yang sekarang telah jelma tepat di depan ke dua biji matanya, meski ketajamannya memudar dirongrong usia. Arok hanya sekitar duapuluh langkah orang dewasa di depannya.