8 Juli 2006
12:00
Seperti biasanya, aku mulai merapikan diri. 15 menit lagi gadis cantik itu pulang dari sekolah.
12:16
“Aneh, tidak biasanya seperti ini.” Aku bertanya-tanya dalam hati.
12:35
“Ada apa gerangan, kenapa dia menghilang? Apa mungkin dia sakit dan tidak masuk Sekolah?” Beragam dugaan memenuhi pikiranku.
13:10
Sepertinya dia tak lewat. Aku pun kembali ke rumah, sebentar lagi ibu pulang. Dia bisa khawatir kalau mendapati aku tak ada di rumah.
*****
9 Juli 2006
11:26
Hari ini aku datang lebih cepat, siapa tahu dia memang pulang sekolah lebih awal.
12:19
Gadis itu belum muncul.
13:27
“Astaga, tiga menit lagi?” Aku terperanjat melihat jarum di jam tangan. Harus mengayuh dengan cepat, agar tidak terlambat sampai di rumah.
*****
10 Juli 2006
12:15
“Tidak biasanya.” Aku melihat sekitar, dan tidak menemukannya.
*****
11 Juli 2006
13:45
“Kemana dia?” Mataku mencari-cari sepanjang jalanan yang biasanya. “Ah, mungkin aku saja yang terlalu percaya diri.” Mendung makin kelam, sepertinya akan hujan deras. Aku segera berlari pulang.
*****
12 Juli 2006
11:30
“Tolong, izinkan aku keluar.” Rengekku pada ibu. “Sayang, lihat kondisimu. Istirahat saja di rumah.”
12:08
“Sudah jam segini saja.” Kutarik nafas dalam-dalam, mataku tidak lepas dari jam dinding itu.
—–
“Takut terlambat ya?” Kuberanikan diri menyapanya. Ia tampak sangat terkejut. “I-iy-iyaa.” Jawabnya dengan terbata-bata.
—–
Astaga! Gadis itu. Aku terperanjat, jantungku berdegup kencang. “Kamu mengenalku?” Aku coba bertanya dengan lebih tenang.
—–
Matilah aku, bagaimana ini. Apa yang harus kujadikan alasan. “Kamu yang biasanya duduk di belokan setelah sekolahan, kan?”
—–
Debar jantungku makin kencang. Jadi dia tahu aku memperhatikannya selama ini. “Oh, iya. Aku suka melihatmu sepulang sekolah’
—–
Deg, aku benar-benar salah tingkah. “Kenapa tidak pernah menyapa.” Aku tak percaya pertanyaan ini terlontar dari mulutku.
—–
“Aku takut, kau lihat sendiri kondisiku.” Ia menggeleng.
“Jadi menurutmu, aku tidak akan mau berteman denganmu karena ini?” Ia menghampiri dan merunduk di sebelah kursi rodaku.
—–
Ia tampak gugup, dan akupun begitu, pastinya. “Maafkan aku.” Bibirnya bergetar, ia hanya menunduk dan tidak melihat kepadaku.
“Dua hari belakangan, aku menunggumu. Ternyata kau tidak ada.”
—–
“Tiga hari yang lalu, aku menunggumu lama sekali. Sampai aku harus buru-buru pulang untuk jadwal minum obat. Tapi karena terlalu cepat mengayuh kursi roda, aku terjatuh.”
—–
“Aku melihatnya, kau tampak sangat terkejut setelah melihat jam tangan. Kemudian pergi dengan tergesa-gesa.”
“Jadi, maksudmu?”
“Iya, aku sengaja menghilang dua hari kemarin. Untuk memastikan apakah aku yang selalu kau tunggu”
—–
Aku merasa tak percaya dengan semua kata-katanya barusan. “Untunglah aku terjatuh hari itu dan dirawat di sini. Hingga kita bisa ketemu dan mengobrol di rumah sakit ini.”
—–
“Untung juga kemarin aku menunggumu lama, sampai kehujanan dan terkena demam.” Kulihat ia tersenyum, sangat teduh.
*****
4 Oktober 2011
05:09
Aku tersenyum setiap kali mengingat kejadian itu, meski lebih sering ingin menangis. Sebab kau pergi terlalu cepat.
“Tapi aku takkan menangis, agar kau tak ikut menangis. Aku merindukanmu, lelakiku yang bermata teduh. Damailah di sana, dengan kasih-Nya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H