Apa kabar September? Apa kabar musim? Sekedar kisah saat hari tanpa hujan.
Setiap musim akan selalu membawaku pada sketsa masa lalu, di mana ada kisah diantara aku dan ibu, aku dan saudara-saudaraku, aku dan teman-temanku, juga aku dan diriku sendiri. Potret yang selalu abadi dalam kepalaku.
Baik ketika hujan deras atau saat kemarau menyengat.
1/ Aku, Juwet, dan Kekhawatiran Ibu
Ketika marahari bersahabat dwngan bumi, buah -buahan mulai memberikan hasil. Di pekarangam ada kedondong, mangga, juga juwet. Hanya di rumah kami ada pohon juwet.
Pohon yang bisa menjulang tinggi dengan cara menggunakan sabit atau pisau yang ditalikan pada galah, kami bisa mengambil buahnya.
Kala itu kami belum tahu manfaat baik di balik buah juet yang kini mulai langka. Semilir angin kemarau masih baru kami rasakan.
Aku, ibu dan saudaraku ingin menikmati buah juwet saat libur tanggal merah. Sebuah glangse (bekas wadah beras) kupegang dengan saudaraku untuk menangkap buah juwet yang akan luruh ketika diambil ibu dengan galah.
Kami saling mendongak melihat ke arah buah juwet yang disabit.
Gleduk! Kepalaku spontan menunduk, sakit kutahan. Ibuku gemetar sambil memeluk kepalaku erat. Darah mengucur dari dahi sebelah kiri. Ah ternyata bukan buah juwet yang jatuh, tapi sabitnya menimpa keningku.
Luka sepanjang 2 cm menggores di kening kiri. Aku tak ingin ibu semakin khawatir, air mata dan rasa sakit kutahan. Aku bilang tidak apa-apa, kasih obat merah dan plester nanti sembuh.
Kasihan ibu, selama berhari-hari terlihat cemas, untung luka itu segera kering dan pulih setelah dibawa ke pak mantri.
2/ Tanah Merekah, Tanah Kenangan
Kalian tak akan percaya bila tanah di halaman merekah lebar, kaki kecilku bisa masuk seolah terjepit. Semua yang melihat pasti heran dan ketakutan.
Sungguh kemarau yang panjang yang pernah terjadi di daerahku. Sumur, sungai mengering. Hanya ketika pagi sumur kami berisi, saat itulah ember-ember dan gentong dipenuhi untuk persediaan hingga malam hari. Siang sedikit air sumur telah ludes.
Rumput yang menghijau bak permadani di halaman makin hari mulai mengering dan mati. Sawah takbisa ditanam padi, air sungai mengering. Petani menanam kedelai agar tanah sawah tidak sepi dan penghasilan tak terhenti.
Melihat demikian maka pemuka agama segera mengajak warga untuk melakukan solat meminta hujan (istiqo). Solat dilakukan berjamaah di lapangan. Segala syukur dipanjatkan satu bulan kemudian turunlah hujan.
Yang aku tahu kala itu setiap musim selalu kunikmati, mungkin karena aku bukan petani atau nelayan. Meski aku bukan mereka terkadang ikut merasakan. Karena musim juga mempengaruhi hasil panen dan tangkap ikan. Keresahan kurang air dan gagal panen selalu kudengar.
Yang paling membuat gemas ketika musim duren tiba. Aku hanya bisa melihat sampah kulit durian dan aromanya saja berserakan di tepi jalan raya, bekas makan orang kaya yang ditinggal begitu saja. Sungguh terlalu.
3/ Daerah Satu dan Lainnya Akan BerbedaÂ
Kukira dua musim di Indonesia akan sama dari Sabang sampai Merauke. 6 bulan musim hujan, 6 bulan musim kemarau. Teorinya seperti itu. Ternyata tidak, dari cerita dan kisah teman, tiap daerah ternyata berbeda.
Suatu daerah ada yang musim penghujannya lebih lama dari kemarau, ada yang kemaraunya lebih lama. Ketika di daerahku kering ternyata di daerah temanku di Kalimantan dan beberapa wilayah Jawa atau Sumatera sudah hujan. Bahkan ada daerah yang hampir tiap hari diguyur air langit.Â
Kita semua juga tahu daerah mana saja yang lama kemaraunya hingga kekeringan melanda. Dulu pasti berita kekeringan ini menghiasi Berita Nasional. Warga dan pemerintah sudah berusaha mengatasi.
4/ Â Ada Manfaat Juga Bencana
Kalau dirasakan sebenarnya musim kemarau saat ini hanya sebentar, tidak ada 6 bulan, itu di Jawa. Tidak benar-benar kering. Selama musim kemarau masih ada beberapa kali guyuran hujan.
Ada yang ingin hujan ada yang ingin terang benderang, semua berhubungan dengan perekonomian. Alam hanya mengikuti siklus saja.
Sebenarnya siapa yang harus menyesuaikan? Kondisi alam atau manusianya?
Sebagai manusia pasti inginnya cuaca selalu cerah tapi tidak kekurangan air, begitu bukan?
Di sini hanya dua musim saja masih banyak yang belum bisa diatasi, bagaimana bila empat musim?
Jawaban saya pribadi, senang dong, bisa menikmati  musim-musim, jadi indah.Â
Tapi alam sudah mengatur dirinya untuk keseimbangan semesta. Mangkanya ada perbedaan musim di tiap tempat. Tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan musim, mengikuti, dan menyesuaikan (walau sebenarnya tak semudah itu).
Ketika kemarau ada kesempatan bermain layang-layang bagi anak-anak termasuk bocahku atau beberapa orang dewasa. Kesempatan membangun rumah seperti tetanggaku atau menyelesaikan proyek seperti temanku, dan sebagainya sebelum hujan menyapa.
Tak jarang kebakaran hutan juga terjadi. Di lereng gunung Arjuno dan Panderman sering terjadi kebakaran hutan. Entah akibat ulah manusia atau memang karena gesekan kayu atau ranting yang menyebabkan kebakaran.
Berhari-hari kebakaran hutan ini bisa terjadi saat kemarau, lebih-lebih ditambah dengan hembusan angin kencang, kebakaran akan makin cepat meluas.
Bila malam hari terlihat jelas titik apinya dari pelataran rumah.Â
Kebakaran hutan akan berdampak buruk ketika musim penghujan tiba. Pepohonan yang habis akan mempermudah air hujan menggelontor tanah di lereng gunung.Â
Yang di bawah harus siap-siap menerima kiriman air dan lumpur yang meluber, jalan raya pun bisa tergenang.Â
Cerita lain, ada bukit di sebelah timur rumah. Perbukitan yang disebut gunung mBaong, dekat Kebun Raya. Ketika berjalan-jalan di Kebun Raya yang mulai sepi (tidak seramai dulu), terlihat banyak puluhan kera. Heran juga, kenapa jadi ada kera liar.
Iseng sambil beli es di kedai dalam Kebun Raya kutanyakan tentang puluhan kera itu dari mana, ternyata mereka datang dari Gunung mBaong. Rupanya di sana sudah berkurang persediaan makanannya, alias kekeringan. Mereka datang ke Kebun Raya bukan untuk rekreasi tapi memetik buah-buahan yang ada di Kebun Raya atau menunggu diberi oleh pengunjung. Kasihan ya.
***
Begitulah warna musim. Kemarau dan hujan sama-sama dinanti, ada berjuta kisah dan kenangan dibalik kerontang dan guyuran airnya.
Setiap musim akan membawa rasa berbeda pada penikmatnya pada diri dan hati setiap insan.
Sebagai manusia biasa cuma bisa selalu berdoa agar alam ini tetap seimbang. Kadang harus ada yang dikorbankan untuk menjaga keseimbangan.
Aku selipkan sebuah puisi ya,
Musim.
Pagi tak lagi mengantarkan butiran embun, Hari ini berganti secabik mendung yang bergelayut di bilik lamun.Â
"Mungkinkah abadi?"
Tanyamu ditelan ragu. Dan aku yang tersesat bisu.
Pelukis menghentikan sayatan pada kanvas. Pelangi, hujan dan mentari telah terlepas. Keinginan, harapan dan kehangatan meleleh di balik awan. Dunia dalam gambaran serupa gurun Sahara.Â
Di atas mimbar pemuka agama menengadahkan tangan. Di negeri kering dan dahaga, apa yang lebih dibutuhkan dari cinta? "Datanglah musim kasih sayang," ia berseru, seraya menitikkan air mata. Â
Di palung laut terdalam, yang ada hanyalah kelam dan hitam. Musim tak mampu merayu alam. Hari pun tiada pernah tertuang, musim terlalu kelu membedakan rindu, cinta, atau sekadar kata ragu.Â
Aku masih duduk di selasar rindu dalam diam
Mencoba membenahi sketsa yang mulai usang
Sementara bulir embun mulai luruh di atas kelopak yang mulai meledung
Dalam setiap doa pada dini hari
Aku  cukup meminta
Agar hanya ada dua musim di hati
Mencintai dan menyayangiÂ
Ternyata setumpuk rindu masih belum bisa mengurai selarik ragu
Puisi karya (Zaldy Chan, Katedrarajawen, Indra Rahardan, Â Lintang Ayu D, swarna)
***
"Hari Tanpa Hujan"
Bila aku tak berbicara tentang hujan, bukan berarti hatiku sedang kemarau. Begitupun bila aku mengirimkan gambar tanah-tanah yang pecah, pepohonan yang ranggas, jangan kausimpulkan aku sedang menyembunyikan air mataÂ
Hujan, kemarau, hanya peralihan musim. Kita ada di dalamnya. Kita yang membuat ceritanyaÂ
Musim bukan hanya tentang seberapa kering bumi yang kita pijak
Musim bukan hanya tentang angin yang menerbangkan debu dan dedaunan
Juga bukan tentang keluh kesah petani di sawah
Kita tahu kemaraunya alam bagai kemaraunya jiwa, kala suatu pergi dan hilang sendiri
Kemudian hati. Ada perasaan yang tak terduga, takada terlintas dalam kepala, atau mungkin yang biasa-biasa saja
Bila hati pedih sejuta musim akan tersaji.
(Ayah Tuah dan Swarna)
Terima kasih sudah membaca tulisan panjang ini
Salam
04 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H