Mohon tunggu...
Basir SH
Basir SH Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Pasca UNMA BANTEN

Saya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana pada Perguruan Tinggi Universtitas Matlaul Anwar Banten

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keadilan menurut Perspektif Jaksa dan Hakim dalam Pengawasan Masyarakat

5 Juli 2024   14:22 Diperbarui: 5 Juli 2024   14:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KEADILAN MENURUT PERSPEKTIF JAKSA DAN HAKIM DALAM PENGAWASAN MASYARAKAT 

Disusun oleh : Basir, S.H.

Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum UNMA BANTEN

Dalam Tugas Ujian Akhir Semester II

Mata kuliah : Kekuasaan Kehakiman dan Kelembagaan Negara

Dosen Pengampu : Dr Ibnu Mazjah, S.H., M.H.

Abstrak

Keadilan merupakan suatu hal yang bersifat semu, keadilan memiliki jangkauan yang sangat luas tidak terikat dari satu perspektif belaka, namun keadilan memiliki arti kemanfaatan yang begitu mendalam atas apa yang menjadi suatu putusan atau penentu untuk dinyatakan adil, baik secara pandangan ilmu hukum berdasarkan regulasi aturan yang sudah ada atau keadilan yang mengikuti hati nurani dan rasa prikemanusiaan seseorang yang sejatinya terlahir dan ada pada setiap manusia untuk menilai rasa keadilan. Jaksa sebagai institusi negara yang memiliki peran untuk mewujudkan rasa keadilan bagi Masyarakat sudah tentu dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak terlepas dari keilmuan hukum sebagai landasan terutama yang telah tertuang dalam regulasi aturan yang sudah ada, akan tetapi disaat bertentangan dengan keadilan yang lahir dari hati nurani Hakim yang juga sebagai lembaga negara yang memiliki peran untuk mewujudkan keadilan, maka persepektif manakah yang lebih diutamakan antara suatu aturan dengan kondisi dan situasi yang semestinya tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam suatu putusan demi mewujudkan rasa keadilan yang hakiki. Metodologi yang digunakan adalah penelitian hukum normative atau dengan analisis pendekatan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jaksa sebagai penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak terlepas dari aturan perundang-undangan dan juga aturan yang telah ditetapkan dalam intitusi internal Jaksa yang mesti ditaati dan dijalankan, akan tetapi hakim dalam memutus suatu perkara harus melihat daripada tuntutan jaksa untuk menentukan pantas atau tidaknya suatu hukuman terhadap seseorang yang telah dituntut oleh jaksa penuntut umum dan melahirkan rasa keadilan yang menurut keyakinan hakim sudah benar. Karena keadilan tidak saja ada dan terbaca dalam teks perundang-undangan, akan tetapi ada juga keadilan hukum yang diyakini oleh Masyarakat. Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa keadilan wajib ditegakkan kendatipun tidak ada dalam ketentuan normative serta bagaimana hakim juga dapat menggali dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang ada dalam Masyarakat.

Abstract

Justice is something that is artificial in nature, justice has a very wide reach and is not bound by just one perspective, but justice has a very deep sense of usefulness regarding what becomes a decision or determinant to be declared fair, both from the perspective of legal science based on existing regulations. there already exists or justice that follows a person's conscience and sense of humanity which is actually born and exists in every human being to assess a sense of justice. Prosecutors as state institutions have a role in realizing a sense of justice for the community, of course in carrying out their functions and duties they cannot be separated from legal knowledge as a basis, especially those contained in existing regulations, but when they conflict with justice that is born from the judge's conscience which is also a state institution that has a role in realizing justice, then which perspective takes precedence between a rule and conditions and situations that should not allow it to be applied in a decision in order to realize a true sense of justice. The methodology used is normative legal research or a literature analysis approach. The results of the research show that the Prosecutor as a law enforcer in carrying out his duties cannot be separated from statutory regulations and also the rules that have been established in the Prosecutor's internal institution which must be obeyed and implemented, however, in deciding a case, the judge must look at the prosecutor's demands to determine whether they are appropriate or not. whether or not a sentence is imposed on someone who has been prosecuted by the public prosecutor and creates a sense of justice that the judge believes is correct. Because justice not only exists and can be read in the text of legislation, but there is also legal justice that is believed by society. In Article 16 paragraph (1) of Law no. 4 of 2004 and Article 5 paragraph (1) of Law no. 48 of 2009 states that justice must be upheld even though it is not contained in normative provisions and how judges can also explore and understand the values and sense of justice that exist in society.

 

  • Latar Belakang

Penegakan hukum di pengadilan dalam proses persidangan memiliki dua metode yang pertama adalah persidangan dengan pemeriksaan secara tertutup dan ditutup untuk umum dan persidangan dengan pemeriksaan terbuka dan dibuka untuk umum. Teruntuk persidangan dengan pemeriksaan secara terbuka dan dibuka untuk umum maka proses persidangan tidak terlepas dari pengamatan dan pengawasan masyarakat yang bisa mengikuti proses persidangan sampai berkhirnya persidangan dan melahirkan suatu putusan hakim dalam persidangan.

Pemeriksaan perkara dalam persidangan yang dapat disaksikan oleh masyarakat sudah tentu akan melahirkan sudut pandang tersendiri dari berbagai kalangan masyarakat yang dapat mempengaruhi proses persidangan tentunya terhadap Jaksa sebagai penuntut umum dan Hakim sebagai pengadil untuk mewujudkan keadilan yang semestinya. Masyarakat hadir sebagai pengontrol dan monitoring para penegak hukum yang sedang memeriksa di persidangan untuk dapat menilai dan menentukan rasa keadilan benar-benar terwujud dan dipandang pantas untuk dapat meyakinkan masyarakat bahwa para penegak hukum benar-benar memahami perwujudan keadilan yang dapat dibenarkan.

 Perspektif Jaksa sebagai Penuntut umum dalam persidangan tentunya tidak dapat terlepas dari teks perundang-undangan yang berlaku serta daripada aturan internal institusi yang harus ditaati oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum dalam persidangan. Hakim sebagai penentu akan suatu putusan dalam persidangan di Pengadilan tentunya juga tidak terlepas dari kewajiban dan kemandirian hakim yang merdeka dan dapat memutuskan suatu perkara menurut kayakinannya. Maka apabila terdapat perbedaan persepektif antara Jaksa dan Hakim dalam mewujudkan keadilan atas suatu perkara maka dimanakah letak keadilan yang sebenarnya.

Dalam beberapa kasus yang terjadi dalam persidangan yang telah disaksikan oleh masyarakat, salah satunya adalah perkara pemeriksaan perkara pembunuhan Brigadir J oleh salah satu pelaku yang bernama Richard Elizer yang telah ditetapkan sebagai Terdakwa dalam persidangan menuai pro dan kontra dengan adanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang dinilai tidak adil oleh masyarakat dengan tuntutan 12 tahun penjara, namun hakim memutus jauh dari dua pertiga tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan pidana 1 tahun enam bulan penjara, dan mengharuskan Jaksa untuk melakukan upaya hukum banding sebagaimana aturan internal jaksa yang mesti ditaaati, namun Jaksa juga harus menghadapi keadilan dalam persepektif masyakarakat, maka dari persepektif manakah sejatinya keadilan itu berada.

  • Makna Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum dari masyarakat tersebut.[1]

 

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama.Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.[2]

 

Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa didunia dan prinsip-prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).[3]

 

Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak. Guna mewujudkan suatu keadilan harus mengetahui apa arti keadilan itu seutuhnya. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang setidaknya mendekati, dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.

 

Pendapat Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikiran pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.[4]

 

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara dua pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang luas tidak hanya sebatas perjanjian dua pihak yang sedang mengadakan kontrak bisnis, sewa-menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian disini juga perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa, peraturan perundang- undangan yang tidak memihak pada satu pihak saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.[5]

 

Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi -- keadilan toleransi.[6]

 

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya. Pound sendiri mengatakan, bahwa ia sendiri senang melihat "semakin meluasnya pengakuan dan pemuasan terhadap kebutuhan, tuntutan atau keinginan-keinginan manusia melalui pengendalian sosial; semakin meluas dan efektifnya jaminan terhadap kepentingan sosial; suatu usaha untuk menghapuskan pemborosan yang terus-menerus dan semakin efektif dan menghindari perbenturan antara manusia dalam menikmati sumber-sumber daya, singkatnya social engineering semakin efektif".[7]

 

Masalah keadilan merupakan persoalan yang rumit yang dapat dijumpai disetiap masyarakat. Hukum memiliki dua tugas utama yakni mencapai suatu kepastian hukum dan mencapai keadilan bagi semua masyarakat. Diantara sekian banyaknya pemikiran dan konsep keadilan, salah satu konsep keadilan yang cukup relevan adalah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Roscoe Pound, yang selanjutnya diketahui dengan keadilan sosiologis; keadilan yang didasarkan pada kebiasaan, budaya, pola perilaku dan hubungan antar manusia dalam masyarakat.[8]

 

Keadilan hukum bagi masyarakat tidak sekedar keadilan yang bersifat formal-prosedural, keadilan yang didasarkan pada aturan- aturan normatif yang rigidyang jauh dari moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan formal-prosedural adalah keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tetapi keadilan kualitatifyang didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusiaan dan mampu mermberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi masyarakat.[9]

 

Masalah kepatuhan (compliance) terhadap hukum bukan merupakan persoalan baru dalam hukum dan ilmu hukum, namun bagaimana hal tersebut dipelajari berubah-ubah sesuai dengan kualitas penelitian yang dilakukan terhadap masalah tersebut. Sosiologi hukum memasuki masalah kepatuhan hukum dengan melakukan penelitian empirik, seperti dilakukan oleh "The Chicago Study" dan studi-studi "KOL" (Knowledge and Opinion about Law). Sosiologi hukum tidak dapat membiarkan hukum bekerja dengan menyuruh, melarang, membuat ancaman sanksi dan sebagainya, tanpa mengamati sekalian sisi yang terlibat dalam bekerjanya hukum tersebut. Di sisi lain, sosiologi juga mempertanyakan mengapa rakyat harus patuh, dari mana negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa, apakah rakyat tidak boleh menolak serta faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kepatuhan. Semua penyelidikan tersebut dilakukan untuk memperoleh penjelasan mengenai kepatuhan hukum dalam letak (setting) sosiologisnya.[10] 

 

Paksaan (cercion, threat) merupakan ciri hukum yang menonjol, tetapi penggunaannya menjadi semakin kuat dan sistematis sejak kehadiran dari negara modern. Kekuasaan timbul dalam masyarakat sebagai fungsi dari kehidupan yang teratur. Untuk adanya hal tersebut dibutuhkan paksaan menuju terciptanya suatu pola perilaku (conformity) dengan menghukum perilaku yang menyimpang. [11]

 

 

  • Tugas dan Wewenang Jaksa

 

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, menentukan Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Hal ini memberikan pengertian bahwa kewenangan penuntutan ada pada lembaga Kejaksaan.

 

Pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

 

Di dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa :

  • Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  • Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Ketentuan di atas memberi pengertian bahwa penuntut umum harus seorang Jaksa. Dan tugas Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 13 KUHAP bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Setelah berlakunya KUHAP, fungsi penuntutan dan penyidikan diberikan kepada instansi yang berbeda. Untuk penuntutan diserahkan kepada instansi kejaksaan, sedangkan untuk penyidikan menjadi wewenang POLRI sebagai penyidik utama. Namun berdasarkan Pasal 30 ayat (1) d Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

 

  • Tugas dan Wewenang Hakim

Hakim ialah pejabat negara yang diberi kewenangan oleh undangundang untuk melaksanakan sebagian kekuasaan kehakiman (penanganan perkara) untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 demi terwujudnya negara hukum Republik Indonesia.[12]

 

Hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman mempunyai tugas dan wewenang yang diembannya. Tugas dan wewenang Hakim secara umum adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim dalam menerima perkara bersifat pasif atau menunggu sampai ada perkara yang diajukan kepadanya tanpa mencari atau mengejar perkara tersebut. Tugas hakim tidak berhenti sampai menjatuhkan putusan saja akan tetapi menyelesaikan hingga pada pelaksanaannya. Pada perkara perdata, hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan yang ada sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan dan biaya ringan (Pasal 2 ayat 4 UU Nomor 48 Tahun 2009).[13]

 

Hakim sebagai homo yuridicus dalam memutus suatu perkara wajib merujuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan dan sumbersumber hukum lainnya karena berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa fungsi dari peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila sehingga Hakim selaku pejabat pemegang kekuasaan kehakiman mempunyai dua fungsi yaitu menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.[14]

 

Hakim dalam memutus suatu perkara mempunyai sifat merdeka atau mandiri dari intervensi pihak manapun baik kekuasaan eksekutif, legislative atau masyarakat (pers). Kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka menjamin terwujudnya peradilan yang jujur dan adil sehingga memenuhi kepastian hukum di masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.[15]

 

Menurut Antonius Sudirman, dalam memutus suatu perkara hakim harus didahului dengan ucapan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya adalah dalam memutus perkara seorang hakim selain bersandar pada Undang-Undang juga tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi menguntungkan diri sendiri, memberi kepuasaan penguasa, menguntungkan kaum powerfull (secara politik dan ekonomi) atau demi menjaga kepastian hukum semata.[16]

 

Dengan demikian tugas dan kewenangan hakim adalah sebagai berikut :

 

  • Tugas pokok dibidang peradilan (yudisial)
  • Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
  • Mengadili menurut hukum dengan tidak medeskriminasi orang.
  • Membantu para pencari keadilan dan berusaha dengan sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
  • Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak jelas atau kurang jelas.
  • Tugas yuridis hakim adalah memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang persoalan hukum kepada lembaga negara apabila diminta.
  • Tugas akademis hakim adalah hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dimasyarakat.

 

Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya akan melakukan beberapa tindakan yaitu:

 

  • Mengkonstatir.
  • Tindakan hakim untuk mengakui dan membenarkan bahwa telah terjadi suatu peristiwa sehingga pencari keadilan datang ke persidangan dengan cara membuktikan peristiwa tersebut secara konkret.
  • Mengkualifikasi.
  • Tindakan hakim untuk menemukan hukum terhadap peristiwa yang dianggap benar--benar terjadi dan menerapkan peraturan hukumnya.
  • Mengkonstituir.
  • Tindakan hakim untuk menerapkan hukumnya dan memberikan keadilan kepada pencari keadilan dengan mengambil kesimpulan dari adanya peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam memberikan putusan harus memperhatikan secara profesional dan proposional keadilan, kepastian hukum dan kemanfatannya sesuai kebenaran dan keadilan.

 

 

 

  • Perspektif Keadilan

 

Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, tidak dapat dipastikan hanya dengan satu sudut pandang atau satu perspektif dalam menilai perwujudan dari suatu keadilan. Keadilan yang dapat diakatakan sebenarnya terletak apabila dapat dirasakan kebermanfaatannya dan dapat diterima oleh yang mengalami keadilan itu sendiri. Tolak ukur keadilan sudah tentu berada pada si penerima keadilan itu sendiri, maka tidak dapat dipaksakan siapapun untuk menerima suatu keadilan apabila kebermanfaatan dari keadilan tersebut tidak dapat diterima atau ditolaknya.

 

Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang sebagai bagian daripada penegak hukum dalam mewujudkan rasa keadilan. Salah satu tugas dan wewenang jaksa ialah mengajukan suatu perkara pidana di muka persidangan sebagai penuntut umum untuk diperiksa dan diadili oleh hakim sebagai penentu daripada perwujudan keadilan yang tidak terlepas dari tujuan keadilan itu sendiri.

 

Jaksa sebagai institusi penegak hukum yang telah diamanatkan oleh undang-undang dalam menangani suatu perkara di dalam maupun di luar persidangan tentu tidak terlapas dari konteks regulasi yang ada daripada suatu aturan yang telah ditetapkan. Selayaknya dalam konsep ketatanegaraan  jaksa berperan sebagai pelaksana undang-undang atau eksekutif yang dapat menjalankan tugas dan wewenangnya untuk mewujudkan rasa keadilan yang diharapkan masyarakat, khususnya dalam penuntutan tindak pidana atau mengajukan hukuman kepada hakim yang mengadili di muka persidangan atas prilaku-prilaku masyarakat yang telah melanggar aturan tindak pidana dan dapat mengancam keamanan dan ketertiban sosial di masyarakat.

 

Selain daripada pelaksana undang-undang Jaksa juga memiliki kewenangan selayaknya berada dalam kelembagaan eksekutif sebagai pejabat fungsional, dalam arti tugas dan wewenang Jaksa tidak terlepas daripada pelaksana aturan hukum yang telah ditetapkan, akan tetapi jaksa dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penuntut umum memiliki kemerdekaan dan kemandirian yang berkaitan dengan kekuasaan kahakiman selayaknya berada dalam kelembagaan yudikatif. Dalam Konsiderans huruf b pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945. Untuk tugas dan wewenang jaksa telah diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

 

Jaksa dalam istilah lain disebut juga sebagai Pengacara Negara, maka demi kepentingan kedaulatan rakyat, negara memberikan wewenang terhadap fungsional jaksa untuk mewakili rakyat dalam penertiban masyarakat atas prilaku-prilaku yang menyimpang atas perbuatan tindak pidana dengan ancaman hukuman yang sesuai dengan ketetapan yang telah diatur dalam perundang-undangan.  Akan tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang menilai apabila terjadi perbuatan yang menyimpang atas tindak pidana yang terjadi di masyarakat harus mendapatkan hukuman yang begitu berat terhadap pelakunya atau justru sebaliknya apabila perbuatan tersebut dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat dalam berkelanjutan.

 

Dengan demikian, maka Jaksa harus mempertimbangkan secara benar atas perbuatan seseorang yang hendak mendapatkan hukuman pidana dengan melihat kebenaran secara materil bukan hanya melihat dari segi formilnya saja, karena tuntutan jaksa di dalam persidangan dapat mempengaruhi pertimbangan putusan hakim atas berat atau ringannya seseorang yang akan dijatuhi hukuman pidana.

 

Apabila dalam tuntutan jaksa dinilai tidak seimbang dengan perbuatan pelaku tindak pidana, tentu pasti akan menuai pro dan kontra di dalam Masyarakat. Banyaknya pandangan negative yang terjadi dari Masyarakat terhadap jaksa sebagai penegak hukum dalam mewujudkan keadilan, meskipun dalam perspektif jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penuntut umum di persidangan sudah sesuai dengan aturan. Akan tetapi kemerdekaan dan kemandirian jaksa dapat digunakan untuk melihat lebih mendalam suatu perkara dari sisi kebenaran materilnya, tidak hanya kebenaran formil atas pelaku tindak pidana yang diajukannya.

 

Tidak terhenti pada peran jaksa sebagai penuntut umum, keadilan untuk Masyarakat masih terdapat harapan yang lebih besar yaitu dengan adanya tugas dan wewenang hakim sebagai penentu dalam persidangan yang memeriksa dan mengadili dan memutus setiap orang atau terdakwa sebagai pelaku tindak pidana yang telah diajukan oleh jaksa penuntut umum beserta dengan tuntutan hukumannya.

 

Hakim dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakiman wajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009. Arti kebebasan dan kemandirian hakim adalah hakim dapat memutus suatu perkara berdasarkan keyakinannya yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun termasuk oleh jaksa sebagai penuntut umum. Maka hakim yang dijuluki sebagai wakil tuhan di dunia merupakan harapan Masyarakat untuk dapat terwujudnya rasa keadilan di dalam persidangan.

 

Selayaknya perumpamaan tuhan yang memiliki kekuasaan di dunia, hakim dapat menghukum seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dilarang atau justru sebaliknya hakim dapat membebaskan seseorang dari segala hukuman yang harus diterima oleh seseorang. Ditangan kekuasaan hakim seseorang dapat memohon atas berat atau ringannya hukuman yang harus diterima akibat perbuatannya, maka dengan demikian hakim perlu menggali lebih mendalam pada setiap perkara yang diperiksa dan diadilinya dari berbagai aspek kehidupan, baik dari normatifnya hukum, sosiologis, filosofis, religi, emosional, dan finansial yang menjadi pertimbangan untuk membuka kebenaran formil dan kebenaran materil secara terang benderang sebelum memutuskan suatu perkara.

 

Apabila dengan pertimbangan dan keyakinannya hakim menilai tuntutan jaksa terlalu ringan atas perbuatan tindak pidana seseorang yang dianggap berat maka hakim dapat memutus perkara lebih tinggi diatas tuntutan jaksa penuntut umum dan apabila dengan pertimbangan dan keyakinannya hakim menilai tuntutan jaksa terlalu berat atas perbuatan tindak pidana seseorang yang dianggap dapat dipertimbangkan dari beberapa aspek kehidupan dan kebenaran, maka hakim dapat memutus perkara lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum, begitu juga apabila dengan pertimbangan dan keyakinannya hakim menilai suatu perkara baik dari kebenaran formil dan kebenaran materil terdapat dasar untuk membebaskan seseorang maka hakim dapat memutus untuk membebaskan seseorang dari segala tuntutan jaksa penuntut umum.

 

 

 

  • Kesimpulan

 

Keadilan sejatinya tidak terlepas daripada peran-peran para penegak hukum diantaranya Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara. Keadilan yang dianggap semu atau abstrak tidak dapat ditafsirkan dan dimaknai secara tekstual, dikarenakan aturan yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam mewujudkan keadilan tidak seutuhnya menjadi barometer atau tolak ukur dapat terwujudnya suatu keadilan yang hakiki. Keadilan terkadang dapat ditempuh dan diperoleh diluar daripada aturan yang telah ditetapkan selama konsep keadilan tersebut dapat diterima dan dirasakan kebermanfaatannya. Dari beberapa persepektif keadilan menurut sudut pandangnya masing-masing, maka proses pencarian keadilan akan terus berlangsung dan tidak akan terhenti pada tidik dimana seseorang yang sedang mencari keadilan tidak dapat menerima keadilan tersebut menurut perspektifnya yang lain. Akan tetapi keadilan akan diarasa cukup apabila dapat diterima dan terdapat kebermanfaatanya untuk terwujudnya suatu kepastian hukum.

 

 

 

Daftar Pustaka

 

  • Undang-Undang Dasar 1945
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
  • Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

 

Firman Floranta Adonara, "Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi" 2015.

 

Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2015.

 

M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Ctk. Kedua, Kencana, Jakarta, 2014.

 

Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim Jakarta Timur: Sinar Grafika Offset, 2021.

 

Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Ctk. Kedua, Kencana, Jakarta, 2017.

 

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014.

 

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Ctk. Kedua, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

 

Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2014.

 

Umar Solehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang, 2021.

 

Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun