Mohon tunggu...
Barondsay Saesaemawon
Barondsay Saesaemawon Mohon Tunggu... -

Adalah pelajar Kelas Menulis di Rumah Media Semarang yang belajar rambu-rambu dunia kepenulisan; cerpen, cerbung dan novel. "Kamu orangnya misterius." kalimat itu sering kuterima dari mereka yang belum mengenalku. Bagi orang yang sudah mengenalku akan mengatakan kepadaku, "Dasar, kamu orang aneh!" Dan aku benar-benar merasa menjadi Alien!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mawar Putih

14 April 2016   22:03 Diperbarui: 14 April 2016   22:08 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang berdo'a. Do'a-do'a itu keluar dari hati melalui ucapan, tiada terputus dan khusuk diiringi tangis serta air mata. Dan semua orang semakin erat menyatu dalam keteguhan dan ketabahan menghadapi hari ini -senin, 11 April 2016 di Pasar Ikan, Jakarta Utara.

Aku berhenti melangkah di belakang bapakku yang masih berjalan kaki ke jalan raya. Kemudian kuberanikan diri berjalan memutar arah menuju keramaian yang sudah kulewati, melewati orang-orang berseragam. Aku terus melangkah meski terasa berat menapaki jalan. Ini bukan karena isi dalam tas punggungku yang berisi buku dan peralatan sekolahku, mungkin ini karena aku tidak ingin meninggalkan rumahku. Benarkah?

Aku harus melewati lagi barisan gerobak yang biasanya untuk berjualan, termasuk gerobak bapakku untuk menjual mie ayam. Barisan gerobak itu sebenarnya bukan untuk menghalangi langkahku, melainkan untuk menghalangi orang-orang berseragam tadi. Nyata aku merasa dihalangi juga.

      Kakiku semakin berat kuangkat untuk berjalan ke rumahku. Kulihat orang-orang di sekitar, tetanggaku dan barisan orang-orang berseragam itu saling berhadapan, saling menghadang dan menghalangi. Di sudut sana ada beberapa mobil besar warna kuning dengan garuknya yang siap menggusur rumah-rumah di kampungku, termasuk rumah yang kutinggali.

      Ah, aku harus bisa ke rumahku sebelum hancur digusur mobil garuk itu. Beberapa orang bisa kulewati karena tubuhku masih kecil. Tapi ketika aku berusaha melewati bapak-bapak berseragam, aku tidak bisa.

      "Hehh... Nak, kamu tidak boleh ke sana. Bahaya!" kata Bapak berseragam kepadaku sambil menghadangku membuatku tidak bisa melangkah lagi.

      "Kenapa tidak boleh, Pak?" tanyaku berusaha melepaskan diri untuk melanjutkan niatku.

      "Sudahlah, Nak. Ikhlaskan saja!"

      "Saya mau mengambil dan membawa mawar putih milik saya, Pak." kataku sambil nunjuk pot bunga ukuran sedang. "Itu, Pak."

      Bapak berseragam itu tetap saja menghalangi langkahku. Dan aku terus berusaha bisa mengambil dan membawa bunga mawar putihku, tapi aku tidak bisa apa-apa lagi.

      "Fai...!"

      "Fai...! Faizah...!"

      Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku, itu bapakku dari belakang lumayan jauh sedang berusaha mendekatiku.

      "Ayo, kita harus pergi dari sini!" kata Bapakku mengingatkanku bahwa aku harus pergi meninggalkan rumahku.

      "Oh, ini Ayahnya?" kata Bapak berseragam memandangi Bapakku.

      "Iya. Saya Bapaknya." jawab Bapakku.

      "Ajak dia pergi dari sini, Pak."

      Sekarang Bapakku yang memgambil-alih, menahan dan menghalangi niatku. Aku berusaha menjelaskan niatku kepada Bapakku, tapi Bapakku malah membawaku menjauh dari keramaian. Mau tidak mau aku harus mengikuti Bapakku ke rumah susun.

      "Sudahlah, Fai, kejadian ini pasti ada hikmahnya." kata Bapakku berusaha tersenyum memandangiku yang sedang bersedih. "Ambil hikmahnya saja, ya,"

      ***

      Pagi ini aku mengajak Bapakku ke lokasi bekas kampungku, tapi beliau menyarankanku untuk melihatnya dari televisi saja. Aku menuruti saran itu, melihat layar televisi yang mengabarkan kondisi bekas kampungku. Ternyata tidak ada lagi bangunan rumah, semua hancur digusur kecuali satu banguna mushola.

      Bukan rumah yang digusur yang ingin aku ketahui kabarnya melainkan kabar mawar putih yang masih kuncup itu. Karena mawar putih itu pemberian dari  Bang Badrun, teman sekolah Abangku yang sering bermain ke rumahku. Ya, aku harus memanggilnya 'Abang' karena Dia satu kelas dengan Bang Raihan, kakakku.

      Mawar putih itu menjadi milikku sejak enam bulan yang lalu. Sore itu, Bang Raihan pulang sekolah bersama Bang Badrun yang sudah berpakaian bebas.

      "Fai, bunga ini dari Bang Badrun buat kamu." kata Bang Badrun sambil meletakan bunga yang ditanam di pot ukuran sedang ke ubin teras rumahku. "Kamu rawat, ya,"

      "Wahh... terima kasih, Bang Badrun." kataku senang. "Bunga apa namanya, Bang?"

      "Bunga mawar." jawab Bang Raihan. "Mawar putih tepatnya."

      "Faizah, kan tanya Bang Badrun, kenapa Bang Raihan yang jawab?"

      Bang Badrun tertawa. "Iya. Mawar putih, Fai."

      Sekarang Bang Raihan yang tertawa dengan nada mengejek.

      "Bagaimana cara merawatnya, Bang?"

      "Setiap pagi, kamu harus menjemurnya di bawah sinar matahari." Bang Badrun membuka tas punggungnya kemudian mengeluarkan isinya. "Selain itu kamu juga harus meberikan pupuk ini."

      "Pupuk kandang?" tanyaku ketika melihat plastik itu berisi pupuk kandang.

      "Iya. Atau pupuk buatan ini," Bang Badrun menunjukan plastik satunya yang ada tulisan tangan menggunakan spidol, NPK. "Cukup sepuluh sampai dua puluh butir saja. Sebulan sekali atau dua minggu sekali. Dicampur air juga nggak apa-apa, disiramkan pada pagi dan sore. Ingat, jangan terlalu sering karena akan kering kemudian akan mati."

      "Pupuk NPK itu... pupuk apa, Bang?"

      "Pupuk yang mengandung nitrogen, phosfor dan kalium." Bang Badrun menghela napas. "Nitrogen untuk pertumbuhan vegetatif terutama daun, phosfor untuk pertumbuhan akar dan tunas. Sedangkan kalium untuk pembungaan dan perbuahan."

      Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Bang Badrun.

      "Apa kamu mengerti, Fai?" ejek Bang Raihan kepadaku.

      "Fai mengertilah, Bang..."

      Bang Badrun tertawa lagi. "Semprotkan obat ini juga,"

      "Obat apa itu, Bang?"

      "Obat fungisida. Semprotkan sebulan sekali atau dua minggu sekali saja. Dan jangan lupa cabut rumput yang ada di sekitar mawar putihnya."

      "Oh, begitu..." aku mengerti penjelasan Bang Badrun. "Ada lagi, Bang?"

      "Apa lagi, ya," Bang Badrun mengingat sesuatu.

      Aku dan Bang Raihan diam memperhatikan Bang Badrun.

      "Oh, iya. Kamu harus tega melakukan kayak gini." katanya sambil mengambil gunting dari bagian tempat kecil tas kemudian menggunting bagian batang yang sepertinya bekas ada bunga mekarnya.

      "Bang Badrun kok tahu cara merawat bunga? Lengkaaapp... banget?" tanyaku heran karena tidak biasanya anak laki-laki tahu cara merawat bunga. Ya, meski di sekolah juga diajarkan menanam berbagai bunga.

      "Abang diajari sama Kak Lina." jawab Bang Badrun. "Abang juga membantu Kak Lina. Kak Lina, punya banyak bunga mawar. Abang ingat, kamu nggak punya. Jadi ya... Bang Badrun kasih satu ke kamu. Jangan lupa dirawat, ya? Biar kamu bisa lihat mawar putih bermekaran."

      Ah, Bang Badrun... Apa aku masih bisa bertemu denganmu, sementara aku dan Bang Raihan sudah pindah rumah dan sekolah? Ya, sekarang aku tinggal di Rusunawa Bebek, blok F lantai 3 dan aku pindah ke sekolah SD Pinangsia 03 Pagi, kelas 5. Sedangkan Bang Raihan pindah ke sekolah SMP 22 Jembatan Batu, kelas 7.

      "Kamu belum bisa tidur, ya?" tanya Emakku yang terbangun tengah malam. "Kenapa, Fai? Apa karena kamar rumah susun ini?"

      Aku tidak menjawab pertanyaan Emakku bahwa aku tidak bisa tidur lagi malam ini. Bukan karena kamar rumah susun ini, melainkan karena kepikiran mawar putih itu. Dan kubiarkan mata ini lelah karena pikiranku.

      ***

      "Pak, bolehkah Fai hujan-hujanan?" izinku. Sebenarnya aku hanya ingin membedah bendungan air mata yang kubendung sejak dua hari yang lalu, sejak aku harus pergi meninggalkan kampung yang digusur dan aku tidak bisa membawa mawar putih pemberian Bang Badrun.

      Bapakku memperhatikanku kemudian tersenyum. "Boleh,"

      Aku berusaha tersenyum karena diizinkan untuk hujan-hujan. Kudekati bapakku dan setelah itu aku memeluk beliau. "Terima kasih, Pak."

      "Iya," jawab Bapakku yang menggetarkan hatiku. Air mataku mulai meluap. Rambut kepalaku dibelai beliau. "Yasudah, sana. Mumpung hujan baru turun, tapi sebentar saja, ya?"

      Kulepaskan pelukanku. "Iya, Pak." Aku langsung berlarian ke luar ruangan meninggalkan Bapakku yang sedang menikmati kopi.

      "Hati-hati, Fai!" pesan Bapakku ketika aku sudah di luar ruang tamu.

      "Mau kemana, Fai!?" itu suara Bang Raihan saat berpaspasan denganku di lantai 2 dan aku tidak menjawabnya.

      Ah, aku tidak tahu bagaimana caranya mengabarkan kepada Bang Badrun bahwa bunga pemberiannya tidak bisa kurawat lagi karena rumahku digusur. Akankah Bang Badrun marah? Ataukah akan memberiku mawar putih lagi?

      Bendungan air mataku pun bedah, mengalir deras sederas hujan siang ini. Ya, air mataku tersamarkan air hujan. Semua orang tidak akan mengetahui kalau aku sedang menangis. Ya, menangis karena aku sudah diberikan amanah merawat bunga mawar putih tapi tidak bisa kulakukan dengan seharusnya.

      Hujan belum reda dan semakin deras. Kuusap wajahku yang penuh air mata dan air hujan dengan kedua telapak tanganku. Kupejamkan kedua mataku dan mendongakan wajahku, lama. Ah...

      "Fai...!" itu suara Emakku, memanggilku untuk segera masuk ke rusun kemudian mandi dan aku menuruti.

      Hujan reda tepat setelah aku selesai mandi dan ganti pakaian. Dari dalam kamar aku bisa mendengar suara Emakku yang membukan pintu kemudian memanggil Bapakku, ada yang ingin bertemu beliau kata Emakku. Entah siapa. Tidak lama kemudian beliau malah memanggilku. Aku pun keluar dari kamar.

      Selain Emakku, Bapakku dan Bang Raihan, aku juga melihat seorang anak perempuan seumuran denganku dan Bapak berseragam. Mereka semua masih berdiri, memandangiku. Bukankah itu Bapak berseragam waktu itu...?

      "Nak Fai, ini mawar putih milikmu." kata Bapak berseragam itu dengan nada menyesalan sambil mengulurkan mawar putih. Benar, itu mawar putihku yang sekarang sudah mekar.

      Aku mendekati Bapak berseragam itu

      "Ma'afkan Bapak waktu itu, Nak."

      "Ma'afkan Faizah juga, Pak. Karena waktu itu saya sempat membenci Bapak." kataku dihiasi air mata yang perlahan mengalir.

      Kuterima mawar putih itu lalu kuletakan di samping kursi kemudian aku memeluk Bapak berseragam itu. "Terima kasih, Pak, sudah mau mengantarkan mawar putih ke rumah susun Fai,"

      "Itu sudah menjadi tugas Bapak, Nak."

      "Bolehkah aku menjadi temanmu?" tanya anak yang bersama Bapak berseragam.

      Aku memandangi Emak dan Bapakku meminta persetujuan. "Bolehkah Dia berteman dengan Fai?"

      "Boleh." jawab Emak dan Bapakku hampir bersamaan sambil tersenyum.

      "Faizah." kataku sambil mengulurkan tangan kananku memperkenalkan diri.

      "Julehah." kata anak perempuan itu sambil tersenyum.

      Aku salut sama Bapak berseragam itu yang tidak lain bernama Budi Hartono, seorang Satpol PP. Menurut cerita beliau, setelah aku dibawa Bapakku ke rumah susun ini beliau sempat menghentikan mobil yang akan menggusur rumahku, menyelamatkan mawar putih milikku dan membawanya ke rumah beliau. Anak beliau ternyata juga menyukai mawar putihku. Tapi karena tidak mengetahui caranya merawat, akhirnya beliau mencari keberadaanku dan bertemu denganku di rumah susun ini.

      Seperti yang dikatakan Bapakku untuk mengambil hikmah dari kejadian penggusuran rumah dua hari yang lalu. Dan hikmahnya adalah aku mempunyai teman baru, Julehah. Dan aku bisa melakukan amanahku kembali, merawat mawar putih pemberian Bang Badrun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun