"Ma'afkan Bapak waktu itu, Nak."
   "Ma'afkan Faizah juga, Pak. Karena waktu itu saya sempat membenci Bapak." kataku dihiasi air mata yang perlahan mengalir.
   Kuterima mawar putih itu lalu kuletakan di samping kursi kemudian aku memeluk Bapak berseragam itu. "Terima kasih, Pak, sudah mau mengantarkan mawar putih ke rumah susun Fai,"
   "Itu sudah menjadi tugas Bapak, Nak."
   "Bolehkah aku menjadi temanmu?" tanya anak yang bersama Bapak berseragam.
   Aku memandangi Emak dan Bapakku meminta persetujuan. "Bolehkah Dia berteman dengan Fai?"
   "Boleh." jawab Emak dan Bapakku hampir bersamaan sambil tersenyum.
   "Faizah." kataku sambil mengulurkan tangan kananku memperkenalkan diri.
   "Julehah." kata anak perempuan itu sambil tersenyum.
   Aku salut sama Bapak berseragam itu yang tidak lain bernama Budi Hartono, seorang Satpol PP. Menurut cerita beliau, setelah aku dibawa Bapakku ke rumah susun ini beliau sempat menghentikan mobil yang akan menggusur rumahku, menyelamatkan mawar putih milikku dan membawanya ke rumah beliau. Anak beliau ternyata juga menyukai mawar putihku. Tapi karena tidak mengetahui caranya merawat, akhirnya beliau mencari keberadaanku dan bertemu denganku di rumah susun ini.
   Seperti yang dikatakan Bapakku untuk mengambil hikmah dari kejadian penggusuran rumah dua hari yang lalu. Dan hikmahnya adalah aku mempunyai teman baru, Julehah. Dan aku bisa melakukan amanahku kembali, merawat mawar putih pemberian Bang Badrun.