Kulepaskan pelukanku. "Iya, Pak." Aku langsung berlarian ke luar ruangan meninggalkan Bapakku yang sedang menikmati kopi.
   "Hati-hati, Fai!" pesan Bapakku ketika aku sudah di luar ruang tamu.
   "Mau kemana, Fai!?" itu suara Bang Raihan saat berpaspasan denganku di lantai 2 dan aku tidak menjawabnya.
   Ah, aku tidak tahu bagaimana caranya mengabarkan kepada Bang Badrun bahwa bunga pemberiannya tidak bisa kurawat lagi karena rumahku digusur. Akankah Bang Badrun marah? Ataukah akan memberiku mawar putih lagi?
   Bendungan air mataku pun bedah, mengalir deras sederas hujan siang ini. Ya, air mataku tersamarkan air hujan. Semua orang tidak akan mengetahui kalau aku sedang menangis. Ya, menangis karena aku sudah diberikan amanah merawat bunga mawar putih tapi tidak bisa kulakukan dengan seharusnya.
   Hujan belum reda dan semakin deras. Kuusap wajahku yang penuh air mata dan air hujan dengan kedua telapak tanganku. Kupejamkan kedua mataku dan mendongakan wajahku, lama. Ah...
   "Fai...!" itu suara Emakku, memanggilku untuk segera masuk ke rusun kemudian mandi dan aku menuruti.
   Hujan reda tepat setelah aku selesai mandi dan ganti pakaian. Dari dalam kamar aku bisa mendengar suara Emakku yang membukan pintu kemudian memanggil Bapakku, ada yang ingin bertemu beliau kata Emakku. Entah siapa. Tidak lama kemudian beliau malah memanggilku. Aku pun keluar dari kamar.
   Selain Emakku, Bapakku dan Bang Raihan, aku juga melihat seorang anak perempuan seumuran denganku dan Bapak berseragam. Mereka semua masih berdiri, memandangiku. Bukankah itu Bapak berseragam waktu itu...?
   "Nak Fai, ini mawar putih milikmu." kata Bapak berseragam itu dengan nada menyesalan sambil mengulurkan mawar putih. Benar, itu mawar putihku yang sekarang sudah mekar.
   Aku mendekati Bapak berseragam itu