Mohon tunggu...
Barondsay Saesaemawon
Barondsay Saesaemawon Mohon Tunggu... -

Adalah pelajar Kelas Menulis di Rumah Media Semarang yang belajar rambu-rambu dunia kepenulisan; cerpen, cerbung dan novel. "Kamu orangnya misterius." kalimat itu sering kuterima dari mereka yang belum mengenalku. Bagi orang yang sudah mengenalku akan mengatakan kepadaku, "Dasar, kamu orang aneh!" Dan aku benar-benar merasa menjadi Alien!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mawar Putih

14 April 2016   22:03 Diperbarui: 14 April 2016   22:08 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

      "Oh, iya. Kamu harus tega melakukan kayak gini." katanya sambil mengambil gunting dari bagian tempat kecil tas kemudian menggunting bagian batang yang sepertinya bekas ada bunga mekarnya.

      "Bang Badrun kok tahu cara merawat bunga? Lengkaaapp... banget?" tanyaku heran karena tidak biasanya anak laki-laki tahu cara merawat bunga. Ya, meski di sekolah juga diajarkan menanam berbagai bunga.

      "Abang diajari sama Kak Lina." jawab Bang Badrun. "Abang juga membantu Kak Lina. Kak Lina, punya banyak bunga mawar. Abang ingat, kamu nggak punya. Jadi ya... Bang Badrun kasih satu ke kamu. Jangan lupa dirawat, ya? Biar kamu bisa lihat mawar putih bermekaran."

      Ah, Bang Badrun... Apa aku masih bisa bertemu denganmu, sementara aku dan Bang Raihan sudah pindah rumah dan sekolah? Ya, sekarang aku tinggal di Rusunawa Bebek, blok F lantai 3 dan aku pindah ke sekolah SD Pinangsia 03 Pagi, kelas 5. Sedangkan Bang Raihan pindah ke sekolah SMP 22 Jembatan Batu, kelas 7.

      "Kamu belum bisa tidur, ya?" tanya Emakku yang terbangun tengah malam. "Kenapa, Fai? Apa karena kamar rumah susun ini?"

      Aku tidak menjawab pertanyaan Emakku bahwa aku tidak bisa tidur lagi malam ini. Bukan karena kamar rumah susun ini, melainkan karena kepikiran mawar putih itu. Dan kubiarkan mata ini lelah karena pikiranku.

      ***

      "Pak, bolehkah Fai hujan-hujanan?" izinku. Sebenarnya aku hanya ingin membedah bendungan air mata yang kubendung sejak dua hari yang lalu, sejak aku harus pergi meninggalkan kampung yang digusur dan aku tidak bisa membawa mawar putih pemberian Bang Badrun.

      Bapakku memperhatikanku kemudian tersenyum. "Boleh,"

      Aku berusaha tersenyum karena diizinkan untuk hujan-hujan. Kudekati bapakku dan setelah itu aku memeluk beliau. "Terima kasih, Pak."

      "Iya," jawab Bapakku yang menggetarkan hatiku. Air mataku mulai meluap. Rambut kepalaku dibelai beliau. "Yasudah, sana. Mumpung hujan baru turun, tapi sebentar saja, ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun