"Fai...! Faizah...!"
   Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku, itu bapakku dari belakang lumayan jauh sedang berusaha mendekatiku.
   "Ayo, kita harus pergi dari sini!" kata Bapakku mengingatkanku bahwa aku harus pergi meninggalkan rumahku.
   "Oh, ini Ayahnya?" kata Bapak berseragam memandangi Bapakku.
   "Iya. Saya Bapaknya." jawab Bapakku.
   "Ajak dia pergi dari sini, Pak."
   Sekarang Bapakku yang memgambil-alih, menahan dan menghalangi niatku. Aku berusaha menjelaskan niatku kepada Bapakku, tapi Bapakku malah membawaku menjauh dari keramaian. Mau tidak mau aku harus mengikuti Bapakku ke rumah susun.
   "Sudahlah, Fai, kejadian ini pasti ada hikmahnya." kata Bapakku berusaha tersenyum memandangiku yang sedang bersedih. "Ambil hikmahnya saja, ya,"
   ***
   Pagi ini aku mengajak Bapakku ke lokasi bekas kampungku, tapi beliau menyarankanku untuk melihatnya dari televisi saja. Aku menuruti saran itu, melihat layar televisi yang mengabarkan kondisi bekas kampungku. Ternyata tidak ada lagi bangunan rumah, semua hancur digusur kecuali satu banguna mushola.
   Bukan rumah yang digusur yang ingin aku ketahui kabarnya melainkan kabar mawar putih yang masih kuncup itu. Karena mawar putih itu pemberian dari  Bang Badrun, teman sekolah Abangku yang sering bermain ke rumahku. Ya, aku harus memanggilnya 'Abang' karena Dia satu kelas dengan Bang Raihan, kakakku.