Pak Iwan sebenarnya bukan orang sembarangan. Dulu, dia pernah bekerja di beberapa perusahaan asing. Sering bertugas ke luar negeri. Bahkan, beliau pernah menjabat sebagai direktur disalah satu perusahaan BUMN. Tapi, semenjak pensiun, kharismanya sebagai seorang pejabat sekana ikut luntur dimakan usia.
       "Apa pun jabatan kita dimasa kita aktif bekerja tidak akan menjamin hari tua kita bahagia." Imbuhnya. "Karena, kebahagiaan sesungguhnya bukan soal materi. Bagi saya, kebahagiaan yang saya impikan adalah, bisa berkumpul bersama anak dan cucu-cucu saya di sisa umur saya."
Tatapan mata Pak Iwan menerawang jauh. Sejauh harapannya yang masih belum tergapainya.
       "Mungkin ini karma yang saya tabur dulu,ya?"
       "Maksud bapak?"
       "Dulu, sewaktu saya masih aktif bekerja, nyaris saya tidak punya waktu untuk mereka.. Mereka tumbuh dan besar hanya dirawat dan dibesarkan istri saya. Kasih saying penuh dicurahkan istri saya. Tugas saya mencari nafkah." Katanya lagi sambil menarik nafas dalam-dalam.
       "Meski saya tidak punya waktu untuk mereka, tapi saya bertanggung jawab untuk masa depan mereka. Pendidikan mereka. Bahkan sampai meraih gelar dokter dan melanjutkan ke spesialis pun saya yang menjamin semuanya."
       "Bapak sudah menjadi ayah yang baik untuk anak-anak bapak." Kataku sok bijaksana.
       "Tapi, ternyata menjadi ayah yang baik saja tidak cukup. Mereka mungkin tidak mendapatkan figur ayah ketika mereka beranjak remaja dan dewasa. Sehingga ketika istri saya meninggal terasa kecanggungan antara mereka dan saya."
       "Canggung gimana, pak?"
       "Kami jarang berkomunikasi. Kalau saya pulang kerja mereka langsung masuk ke kamar masing-masing. Kalau bicara hanya seperlunya saja. Saya merasakan kecanggungan itu sejak istri saya tidak ada dan sampai sekarang."