Hari kedua Lebaran suasana di komplek tempat tinggalku masih tampak lengah dan sepi. Hampir semua penghuni komplek memilih mudik di Hari Raya berkumpul bersama sanak saudara. Sebagai Nonis, aku dan beberapa warga seolah menjadi penjaga "gawang" di komplek bersama beberapa security.
Untuk membunuh kejenuhan di pagi hari, aku memilih pergi ke stadion untuk berolahraga. Sudah 3 hari tidak berolahraga badan rasanya "nagih" untuk di olah. Targetnya pengen lari 10K saja  persiapan ikut Half Marathon (HM) di solo,  akhir bulan April nanti.
       Tiba di stadion suasana masih tampak lengah. Hanya ada beberapa orang yang sedang berolaharaga. Ada yang berjalan kaki juga ada yang berlari. Aku langsung menebak kalau mereka sama seperti aku yang tidak merayakan Lebaran. Karena sering bertemu di stadion, tegur sapa kerap terjadi. Pagi itu, aku menegur dan bersalaman antar sesama penggiat olahraga. Ternyata ada juga yang merayakan Lebaran tapi sudah berolahraga. Mungkin kebanyakan makan lontong dan opor ayam sehingga pengen langsung membakar lemak yang sudah kadung masuk ke lambung.
Kemudian, Aku melihat seorang pria yang usianya sudah sekitar 70 tahunan. Dia berjalan kaki sambil menggerak-gerakkan tangannya. Aku mengenal pria tersebut. Meski sudah bergelar "kakek" tapi pria tersebut tetap menjaga kebugaran tubuhnya. Penampilannya pun menggambarkan seperti apa bapak tersebut ketika masih muda dan sebelum pension. Aku memanggilnya Pak Iwan. Karena sering bertemu di Stadion, kami sering ngobrol-ngobrol usai berolahraga. Mebahas apa saja. Terutama soal tips menjaga kesehatan agar bisa merasakan usia 70-an. Banyak ilmu yang aku dapat dari Pak Iwan agar bisa tetap "waras" di usia senja.
       "Selamat Lebaran,Pak. Maaf lahir batin," sapaku smabil memberi salam. Pak Iwan menyambut dengan senyum khasnya. "Maaf lahir batin juga,ya."
       "Kok sudah olahraga saja,Pak? Kan masih suasana Lebaran," tanyaku.
       "Iya. Ketimbang bengong di Apartemen. Mending kesini sambil olahraga."
Sempat muncul dalam benakku tentang suasana Lebaran dikediamannya. Tapi, ada rasa sungkan mengutarakannya.
       "Mau membakar lemak-lemak Opor dan Lontong ya,Pak?" candaku.
       "Ah, bisa aja Mas Very. Lagian di rumah nggak ada rendang dan opor. Cuma roti dan biscuit saja." Balasnya.
Aku bertanya dalam hati, bukan kah opor, lontong, rendang dan pasukannya menjadi ciri khas di suasana Lebaran? Kenapa menu-menu wajib itu tidak terhidang di rumah bapak ini?"
       "Lebaran kali ini tanpa ada silaturahmi," kata Pak Iwan.
       "Maksudnya gimana,Pak?"
Obrolan ini berlangsung sambil kami berjalan kaki mengelilingi lapangan. Awalnya pengen berlari sejauh 10K, akhirnya aku urungkan karena mendapat cerita yang jauh lebih menarik ketimbang lari. Naluri penulisku berkobar-kobar ketika mendapat bahan untuk diolah menjadi sebuah cerita.
Aku baru ingat kalau Pak Iwan tinggal seorang diri di Apartmennya. Sejak istrinya meninggal belasan tahun lalu, Pak Iwan memilih menduda ketimbang menikah lagi. Alasannya karena usianya sudah terlalu senja untuk memikirkan pernikahan. Apalagi anak-anaknya juga sudah besar-besar dan sudah berumah tangga. 3 anak Pak iwan berporfesi sebagai dokter (2 cewek, 1 cowok). Ada dokter kulit, dokter gigi dan Dokter Umum karena belum mengambil spesialis.
Sejak menikah, anak-anaknya tinggal di rumah mereka masing-masing. Rumah tersebut pun hadiah dari seorang Ayah untuk anak-anaknya. Jadi ketiga anaknya serta pasangan hidupnya  tingga terima beres soal rumah. Dan, sejak anak-anaknya menikah, Pak Iwan nyaris kesepian tidak punya teman di rumah. Â
Meski anak-anaknya pernah menganjurkan agar ayahnya menikah lagi. Tapi, Pak Iwan memilih untuk rehat di dunia nikah menikah. Hanya ada pembantu yang bertugas membersihkan tempat tinggalnya sekaligus memasakkannya makanan jika dia kepingin makanan khusus. Jika tidak, Pak iwan lebih sering pesan go food sesuai seleranya. Selesai bekerja sang pembantu pun pulang ke rumahnya. Keesokan paginya akan datang kembali bekerja.
       "Anak-anak dan cucu-cucu saya tidak ada yang datang ke rumah saya. "kata Pak Iwan. "Mungkin mereka lagi berkunjung  ke rumah mertua mereka masing-masing, sehingga mengabaikan saya." Lanjutnya dengan nada lirih.
Aku sempat tertegun mendengar ucapannya. "Tapi, mereka sudah mengucapkan Selamat Lebaran kan, pak? Â Via telpon atau pesan singkat." Tanyaku.
       "Belum."
Aku terdiam.
       "Pokoknya, Lebaran tahun ini tidak ada Silaturahmi." Tegasnya.
       "Mungkin nanti atau besok giliran mereka datang ke rumah bapak." ucapku.
       "Tidak tahu.Bisa iya, bisa tidak."
Suasana sempat hening. Kami mengelilingi lapangan tanpa keluar sebait kalimat pun. Aku enggan memulai pertanyaan karena raut kekecewaan terlihat jelas di wajah Pak Iwan.
       "Sejak mereka menikah, anak-anak saya semakin jauh dengan saya. Setiap kali berkunjung ke kediaman saya, mereka tidak pernah betah berlama-lama. Alasan mereka suami nyuruh pulang. Atau istri nyuruh pulang." Imbuhnya.
Aku kembali tertegun mendengarnya.
       "Padahal, kalau sudah ketemu sama cucu-cucuku rasanya hati saya bahagia sekali. Tapi, untuk bertemu mereka saja saya harus memohon-mohon. Tapi, jarang terwujud."
Kami menghentikan langkah karena tanpa terasa ada 8 atau 10 putrana kami berjalan. Kami duduk di tempat duduk yang ada kanopinya. Matahari pagi mulai menampakkan silaunya. Sambil meneguh air mineral yang dibawanya, Pak Iwan kembali melanjutkan obrolan.
       "Anak-anak saya sangat takut pada pasangannya. Anak perempuan saya takut sama suaminya. Sebaliknya, anak laki-laki saya takut sama istrinya. Saya juga heran kenapa bisa begitu?"
       "Tapi, hubungan bapak dengan anak-anak baik,kan?"
       "Ya, sebelum menikah baik-baik saja. Setelah menikah seperti ada jarak yang mereka ciptakan."
       Pak Iwan sebenarnya bukan orang sembarangan. Dulu, dia pernah bekerja di beberapa perusahaan asing. Sering bertugas ke luar negeri. Bahkan, beliau pernah menjabat sebagai direktur disalah satu perusahaan BUMN. Tapi, semenjak pensiun, kharismanya sebagai seorang pejabat sekana ikut luntur dimakan usia.
       "Apa pun jabatan kita dimasa kita aktif bekerja tidak akan menjamin hari tua kita bahagia." Imbuhnya. "Karena, kebahagiaan sesungguhnya bukan soal materi. Bagi saya, kebahagiaan yang saya impikan adalah, bisa berkumpul bersama anak dan cucu-cucu saya di sisa umur saya."
Tatapan mata Pak Iwan menerawang jauh. Sejauh harapannya yang masih belum tergapainya.
       "Mungkin ini karma yang saya tabur dulu,ya?"
       "Maksud bapak?"
       "Dulu, sewaktu saya masih aktif bekerja, nyaris saya tidak punya waktu untuk mereka.. Mereka tumbuh dan besar hanya dirawat dan dibesarkan istri saya. Kasih saying penuh dicurahkan istri saya. Tugas saya mencari nafkah." Katanya lagi sambil menarik nafas dalam-dalam.
       "Meski saya tidak punya waktu untuk mereka, tapi saya bertanggung jawab untuk masa depan mereka. Pendidikan mereka. Bahkan sampai meraih gelar dokter dan melanjutkan ke spesialis pun saya yang menjamin semuanya."
       "Bapak sudah menjadi ayah yang baik untuk anak-anak bapak." Kataku sok bijaksana.
       "Tapi, ternyata menjadi ayah yang baik saja tidak cukup. Mereka mungkin tidak mendapatkan figur ayah ketika mereka beranjak remaja dan dewasa. Sehingga ketika istri saya meninggal terasa kecanggungan antara mereka dan saya."
       "Canggung gimana, pak?"
       "Kami jarang berkomunikasi. Kalau saya pulang kerja mereka langsung masuk ke kamar masing-masing. Kalau bicara hanya seperlunya saja. Saya merasakan kecanggungan itu sejak istri saya tidak ada dan sampai sekarang."
.........
Hening.
       "Mungkin mereka tidak membutuhkan saya. Meski saya sangat menyayangi mereka serta menantu dan cucu-cucu saya. Tapi, tidak apa. Ini sudah suratan hidup saya yang mengalami kesepian dihari tua saya." Pungkas Pak Iwan sambil berdiri dan pamit pulang.
       Aku hanya tertegun. Mencoba mencerna semua cerita yang baru saja disampaikan pak Iwan. Cukup terhenyuk ketika kesepian yang mendalam yang setiap hari dijalani oleh seorang mantan pejabat dimasa kejayaannya. Benar kata beliau, harta dan kekayaan tidak menjamin kebahagiaan di hari tua.
Semoga, anak-anak Pak Iwan memiliki waktu untuk bertukar bahagia bersama ayah mereka yang tinggal sebatang kara. Ya, di sisa umurnya yang dirindukannya adalah kumpul bersama anak-anak  dan cucu-cucunya. Sesederhana itu. Tapi sulit digapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H