"Pokoknya, Lebaran tahun ini tidak ada Silaturahmi." Tegasnya.
       "Mungkin nanti atau besok giliran mereka datang ke rumah bapak." ucapku.
       "Tidak tahu.Bisa iya, bisa tidak."
Suasana sempat hening. Kami mengelilingi lapangan tanpa keluar sebait kalimat pun. Aku enggan memulai pertanyaan karena raut kekecewaan terlihat jelas di wajah Pak Iwan.
       "Sejak mereka menikah, anak-anak saya semakin jauh dengan saya. Setiap kali berkunjung ke kediaman saya, mereka tidak pernah betah berlama-lama. Alasan mereka suami nyuruh pulang. Atau istri nyuruh pulang." Imbuhnya.
Aku kembali tertegun mendengarnya.
       "Padahal, kalau sudah ketemu sama cucu-cucuku rasanya hati saya bahagia sekali. Tapi, untuk bertemu mereka saja saya harus memohon-mohon. Tapi, jarang terwujud."
Kami menghentikan langkah karena tanpa terasa ada 8 atau 10 putrana kami berjalan. Kami duduk di tempat duduk yang ada kanopinya. Matahari pagi mulai menampakkan silaunya. Sambil meneguh air mineral yang dibawanya, Pak Iwan kembali melanjutkan obrolan.
       "Anak-anak saya sangat takut pada pasangannya. Anak perempuan saya takut sama suaminya. Sebaliknya, anak laki-laki saya takut sama istrinya. Saya juga heran kenapa bisa begitu?"
       "Tapi, hubungan bapak dengan anak-anak baik,kan?"
       "Ya, sebelum menikah baik-baik saja. Setelah menikah seperti ada jarak yang mereka ciptakan."