Mohon tunggu...
Rizki Zakaria
Rizki Zakaria Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Identitas

6 Oktober 2011   04:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari terus menerus menyampaikan ribuan kalor-kalornya pada setiap manusia yang berlalu-lalang di atas planet bumi ini. Meskipun terkadang manusia mengolok-olok tentang keberadaan matahari sebagai sumber tata surya. Padahal sinergi yang diberikan Tuhan untuk mengajarkan sesuatu kepada makhluk-Nya agar senantiasa bersyukur dengan apa yang telah diberikan. Sebut saja bukit, gunung, tanah, sungai, lautan, samudera, pepohonan, padang, dan gurun. Itu semua adalah sekian banyak kekayaan alam yang diberikan Tuhan demi memakmurkan dan memberikan kasih sayang-Nya kepada makhluk yang ingin disebut manusia itu. Lagi-lagi Tuhan mengajarkan..

Catatan ini dibuat untuk mengargai karya agung Tuhanku

Alquran menerakan ayat-ayat agar makhluk tersebut bersujud dan menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Sang Pemilik.

/Ar-Rahman/

13

/“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”

“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”/

Panaslah, matahari siang ini, menguap juga pertanyaan rakyat pada pemimpinnya. Di sekitar halaman sebuah gedung tempatku berisitirahat sejenak dengan ditemnai kopi hitam pahit dan segelas susu coklat manis menemani siang ini. Ramai seklai pengunjung keluar masuk gedung bersejarah kota Bandung ini. Memang di ujung jalan sana aku lihat bekas gedung pembuat rotan yang sangat terkenal di zamannya, kini terlihat sangat kurang terurusi akibat zaman. Zaman sungguh kejam.

Tak lupa juga, obrolan seakan mengantarkan pada sebuah percakapan seru. Di atas bangku dari tembok yang dilapisi cat putih gading, disanalah aku duduk bersama seorang temanku. Seorang pemuda tampan yang tak ingin disebutkan namanya disetiap pembicaraan ataupun pernyataan. Aneh. Lalulah dialog pemuda tampan dimulai beberapa saat. Mukadimah pembicaraan menyodok tema tentang turun hujan.

“Oh, tentang alam” analisaku dalam hati.

Tapi entahlah. Tiba-tiba saja.

“Kapan hujan akan turun? “ tanyanya dingin.

“Panas! Bagaimana menurutmu?” sambungnya.

“Ya. Tetapi…”

“Tetapi apa?”

“Sebentar…”

“Coba saja saya bekerja menjadi seorang petugas pemadam kebakaran. Akan saya basahi mereka-mereka dengan air kesegaran. Atau, sebagai karyawan PDAM, maka akan saya tumpahkan air kesegaran pada mulut yang termangap-mangap di atas kegersangan pemerintah kota.”

“Kita tak bisa menjadi Tuhan” tegurku.

“Alasannya?”

“Sebagai makhluk, maka hal yang diperhatikan adalah…”

“Adalah apa?”

Lagi-lagi pernyataanku selalu saja ia potong. Kesal.

“Sebentar…”

“Sudahlah. Banyak yang harus saya lakukan. Rakyat ini butuh kesegaran. Salahsatunya dengan menunjuk dan mencalonkan saya sebagai anggota DPR. Maka pilihlah saya. Dengan itu kau akan selamat. Itu paripurna. AKu ingin seger menyapih pada keadaan.”

“Kamu gila?!”

“Tak ada yang gila, kita sama-sama mahasiswa. Kamu tidak semudah itu mencalonkan diri menjadi anggota DPR sebab DPR tak ada jaminan kesejahteraan.”

“Lalu?”

“Tak ada yang harus kita lakukan dahulu pada masyarakat. Nilai kita belum baik seluruhnya.”

“Omong kosong saja. Nilai bisa kita beli dengan dompet.”

“Memangnya dompetmu tebalnya berapa?”

“Mungkin setebal dompet simpanan para anggota DPR, maka dari itu ini paripurnaku”

“Hei, dimana kesadaranmu?”

“Saya tegaskan sekali lagi, Saya sadar 100 persen!”

“Kamu menjawab dan itu jawaban seorang tak sadar. Dengarkan itu!”

“Aaah, sialan!”

Akhirnya kedua pemuda mengakhiri percakapan dengan wajah yang memerah, Namun, mereka berada dalam situasi yang memanas. Aku menghadap dengan tatapan emosi sekaligus iba. Sebaliknya, kutatap wajahnya, terlihat sekali raut kekesalan dan wajah penuh emosi. Emosi kedua belah pihak mulai memuncak. Tanganku menggapai pundaknya berusaha menekuknya, tetapi tangannya berhasil menangkis dengan tangkisan ala pencak silat. Tak ada yang berani mengaku kalah, keduanya takluk pada nafsu masing-masing.

Akirnya perkelahian terhenti seketika setelah mendengar gertakan ringan dari sang penjaga museum. Aku dilerainya. Namun, urusan belum beres begitu saja. Maka dilanjutkan kembali.

“Hei aku tegaskan secara jelas. Apa yang kamu utarakan dari tadi hingga kini, sehingga menyebabkan semua ini terjadi disebabkan kamu yang keras kepala. Kamu pengkhianat.”

“Memang itulah kenyataannya. Aku ingin Tuhan melihat tindakanku. Bosan aku menunggu. Sebab Tuhan terlihat tak sanggup memberikan kesegaran pada mereka-mereka. Kesengsaraan menjadi buah bibir berita. Apa kamu juga menyadari itu. Apakah kamu tega melihat mereka termangu-mangu?”

“Wajar saja bila saya mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Tak ada yang salah. Salah apabila kamu menolak rencana dan gagasan ini. Kaulah pengkhianat sesungguhnya.” Kekehnya.

“Ada yang benar dari perkataanmu itu. Pertama, rakyat memang kesulitan akan kesejahteraan hidupnya. Kedua, niat dan semangatmu mengingatkanku pada pernyataan sang proklamator, Bung Karno, “Seribu orangtua hanya dapat bermimpi, tetapi satu orang pemuda dapat mengubah dunia”. Itu menjadi tolak ukur penilaianku pada pernyataan yang kau berikan. Akan tetapi, kekurangannya banyak sekali, yakni…”

“Sudahlah, memang itu kenyataannya kan. Aku bosan dengan jawaban darimu.”

“Tunggu, kita sudah berdebatakan hal ini. Tidak pantas apabila akhirnya seperti ini saja. Tidak ada hasilnya.”

“Kamu mengajak berkelahi lagi?”

“Bukan, ini pesanku. Kamu tak bernama. Identitasmu teritnggal di rahim ibumu. Sebaiknya kau cari dengan hati-hati. “

“Sampai jumpa!”

Aku meninggalkan tempat, setelah sebelumnya menghabiskan terlebih dahulu sisi-sisa susu yang ada. Tatapanku menggetarkan hatinya. Mungkin.

“Hah???”

Seketika panas berubah mendung. Lautan menyapu pantai dengan ganas, tangisan gunung pun menyebabkan tanah mengeringkan halamannya. LAngit-langit seakan mau runtuh, tetapi disini pengunjung mengangkat semangat mereka untuk mengangkat kembali langit-langit kehidupan mereka. Dampaknya masih dirasakan burung kondor yang berjalan melintasi tahun 2011.

Sudut terindah kota Bandung, 09 September 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun